Bab 2

1374 Words
Pertemuan dengan Iza membuat pikiranku terusik. Bayang-bayang penampilannya terus saja menghantuiku. Di dalam relung hatiku yang paling dalam, ada sebuah rasa bersalah setelah meninggalkannya 5 tahun yang lalu. Kerja tak fokus, tidur tak nyenyak, sosok mantan istri benar-benar membawa perubahan besar hanya dalam sekali pertemuan. Setelah bertarung dengan perasaan dan logika, hari ini kuputuskan untuk mencari keberadaannya lagi. Aku harus menyelesaikan masalah 5 tahun yang lalu. Mencari tau alasan kenapa dia pergi dengan pria lain dengan membawa anakku dan kenapa dia tak pernah membawa sepersenpun dari hartaku. Padahal aku sengaja memberikan untuk mereka, agar aku merasa tenang dan tanggungjawabku selesai. Aku mendatangi tempat kemarin kami bertemu. Sengaja tak ingin mengendarai mobil. Aku hanya butuh berjalan kaki untuk mencari sosok yang telah mengganggu pikiranku dengan banyak pertanyaan yang tak mampu kuterka-terka. Menelusuri setiap jalan, mata menyapu segala arah tapi tak kunjung dapat kutemui. Matahari begitu terik, membakar kulitku hingga keringat keluar membuatku lelah. Kuputuskan untuk istirahat sejenak, tiba-tiba langkah kakiku terhenti saat melihat seorang gadis kecil yang tengah diejek oleh temannya. “Puput, gak punya ayah.” “Puput anak ayam. Lahir dari telur.” Aku mengerutkan alis, kenapa bisa anak-anak kecil itu meledeki temannya seperti itu. Sejenak, dadaku terasa nyeri. Teringat akan anakku. Apakah dia bernasib sama seperti gadis kecil ini? Kepalaku kembali berdenyut. “Puput punya ayah. Ayah di sulga,” celoteh gadis kecil itu membela diri. Suara cadel membuatku tersenyum gemas. “Mana kuburannya? Gak ada kan. Puput boong.” Kembali dua temannya mengejek lagi. “Ada,” teriak gadis kecil itu. “Puput boong.” Temannya langsung menarik boneka lusuh di tangan gadis kecil itu lalu melemparnya di tanah. “Ubay, Nino, Puput benci kalian,” teriak gadis itu, menangis sesenggukan. Aku melangkah mengambil boneka kotor itu lalu mendekatinya. “Ini punyamu! Tapi sudah kotor, mau dibeli yang baru?” Rasanya lidahku sangat kaku dalam menghibur anak kecil. Mungkin karena selama ini tidak ada anak kecil di sisiku, jadinya aku seperti mengobrol dengan orang dewasa. Dia diam mengambil bonekanya kembali. Menatap untuk beberapa saat lalu dia menoleh. “Makasih, Om.” Aku tersenyum. Bagaimana bisa dia begitu santun. Padahal aku belum memberikan apa-apa, tapi hanya hal sekecil ini sudah mengucapkan terima kasih padaku. Pasti dia memiliki ibu yang hebat hingga karakternya begitu baik. “Terima kasihnya nanti saja. Sekarang ikut Om beli yang baru yuk!” Dia menatapku keheranan. “Om bukan orang yang jahat.” Dia mengangguk, langsung aku gendong dan membawanya ke toko mainan yang berada tak jauh dari taman. “Pilih apapun yang kamu sukai! Om akan belikan untukmu.” Aku menuruninya. Membiarkan gadis kecil itu untuk memilih mainan yang dia suka. “Benelan, Om?” Aku mengangguk. Gadis kecil itu melompat kegirangan. Senyum bahagia mengikis kesedihan. Dia mengambil satu boneka barbie lalu menunjukkan padaku. “Ambil lagi!” “Ini cukup, Om. Kata bunda gak boleh lakus.” Kembali aku tersenyum mengusap rambutnya. Aku mengeluarkan uang dari saku, membayar boneka barbie yang dipilih. “Apa kamu lapar? Mau makan sama Om?” Dia menggeleng. “Bunda nanti jemput. Om makan dilumah bunda aja.” “Di mana rumahmu, biar Om antar?” Dia kembali menggeleng. “Gak tau. Lupa.” Aku mengerut alis. Bagaimana anak ini bisa tidak mengetahui rumahnya? Bukankah untuk anak seusia dia sudah bisa menghafal jalan pulang? “Ya sudah, kita tunggu di tempat tadi saja ya!” Dia mengangguk. Kembali aku menggendongnya membawa ke taman. Duduk di kursi panjang yang ada di sana. “Kita belum kenalan. Siapa namamu?” tanyaku menatap gadis kecil. Bajunya lusuh, terlihat dia dari keluarga yang kurang beruntung. “Puput!” Aku menoleh melihat seorang wanita paruh baya datang menghampiri kami. “Nini cari di mana-mana, ternyata kamu ada di sini. Hampir saja membuat Nini jantungan.” Wanita itu berjongkok mengusap wajah gadis kecil yang dipanggil Puput. Tersenyum lega. “Puput tadi beli balbi sama Om ini,” celoteh Puput memegang celana bahan yang kupakai. Aku tersenyum mengangguk pelan, sebagai bukti keramahanku. “Terima kasih, Pak. Kami harus pamit dulu.” “Loh, bunda mana?” “Bunda lagi banyak kerjaan, Sayang. Makanya Nini yang jemput. Sekarang pamit sama Om ini, kita pulang ya!” “Om, Puput pulang dulu ya! Besok kita ketemu lagi di sini. Makan-makannya besok aja ya!” Aku tersenyum menganggukkan kepala. “Iya.” Tanganku masih sempat mengelus kepalanya sebelum akhirnya kami benaran terpisah oleh lambaian tangan. Seketika aku mengelus dadaku, terasa desiran hangat di sana. Tak berhenti untuk tersenyum, aku seperti merasakan jatuh cinta. “Astaga, apa yang aku pikirkan. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada anak kecil itu?” Aku memijat pelipis menggeleng pelan. Kembali aku tatap punggung gadis kecil yang kian menjauh dari pelupuk mataku. “Apa jangan-jangan ini reaksi alamiah seorang ayah yang merindukan anaknya? … Ck! Iza, ke mana kamu membawa anakku?” Kualihkan fokus pada deringan ponsel yang membuat lamunanku buyar. Nama istriku muncul di layar ponsel, sebisa mungkin aku tersenyum untuk menyenangkannya. Saat ini, hanya dia satu-satunya perempuan yang paling aku cintai, bahkan aku rela melakukan apapun demi dia. “Mas, kamu kapan pulang?” Meskipun kesal saat ditanya kapan pulang, sedangkan kerjaanku masih belum selesai ditambah dengan pencarianku tentang keberadaan Iza masih belum membuahkan hasil. Bagaimana aku bisa memikirkan untuk segera balik ke Jakarta. “Minggu depan. Aku masih banyak kerjaan di sini.” “Katanya mau mempercepat. Tapi kenapa jadi minggu depan sih, Mas?” Dia mulai merajuk. Wajar bila aku harus pulang minggu depan. Bahkan mungkin sampai sebulan pun aku masih sanggup bertahan demi menemukan anakku. “Kamu tau kan, Sayang. Meskipun kerjaanku hanya seorang arsitek, tapi aku harus meninjau langsung lokasi pembangunannya. Aku tidak ingin kerjaanku ini malah membuat dampak buruk bagi lingkungan karena tidak melakukan survey langsung.” Aku berusaha menjelaskannya secara terperinci. Berharap dia dapat memahami dan tidak lagi terus menanyakan kapan aku pulang. Ini kali pertama aku pergi tanpa dia ikut serta. Dia mendadak flu dan batuk sehingga dokter menyarankan Rena untuk istirahat. “Tapi kamu tau kan, Mas. Aku lagi sakit, gak bisa jauh-jauh dari kamu.” “Kan ada mama di sana.” “Mas, berapa kali sih aku harus bilang ke kamu, aku itu gak akur sama mama. Mama itu banyak nuntut dari aku. Kita harus gimana lagi, inseminasi yang kita lakukan selalu saja gagal. Tunggu kamu balik ke sini kita akan lakukan program bayi tabung.” Aku memijat pelipis. Seorang nenek pasti menginginkan cucu. Apalagi aku anak semata wayang, mama selalu saja menuntutku agar segera memiliki keturunan tapi aku harus apa? Tuhan belum memberikan kesempatan pada Rena. Dari cara alami sampai bantuan dokter sudah dijalankan, tapi tetap saja gagal. Rena mengalami masalah pada rahim, terdapat kista yang membuat dia susah hamil. Meskipun sekarang sudah sembuh tapi tetap saja dia belum bisa hamil meskipun menggunakan cara inseminasi. Hanya program bayi tabung yang belum dijalankan. Selain itu, dari sejak keputusanku menikahi Rena, mama sama sekali tidak menunjukkan kehangatan seperti pada Iza. Rasanya begitu rumit, untung saja mama tidak mengetahui Iza tengah hamil saat itu, kalau tidak aku bisa-bisa disemprot dan dicoret dari daftar ahli waris. Kuhela napas yang terasa begitu berat ketika memikirkan anak. Tak sengaja sorotan mataku menangkap seorang perempuan yang tengah kucari di seberang jalan. “Iza.” “Mas.” “Sayang, nanti aku telpon lagi. Sekarang ada hal genting yang harus aku kerjakan,” pungkasku langsung menutup telpon. Buru-buru kumasukkan ponsel ke dalam saku seraya berlari mengejarnya. Kali ini kupastikan tidak akan membiarkan Iza kabur dariku lagi. “CK!” Aku berdesis. Sudah lelah berlarian dia malah pergi mengendarai motornya. “Pak, stop!” Aku melambaikan tangan saat ojek melintasi di depanku. “Ikuti motor itu!” titahku begitu aku duduk di belakang ojek. Aku terus mengamati Iza, berharap tak lagi menghilang dari pandanganku. Sungguh, untuk menangkapnya sangatlah sulit daripada mendesain gedung. “Pak, berhenti!” kataku begitu melihat Iza menghentikan motornya di depan laundry. Buru-buru aku mengeluarkan selembar uang berwarna merah lalu menyerahkan pada tukang ojek tanpa perlu mengembalikan kelebihannya. “Iza.” Tanganku langsung menangkap lengannya. “Mas.” Dia terkejut hendak menarik tangannya tapi semakin kencang genggaman tanganku. “Aku ingin bicara sama kamu.” “Berapa kali aku sudah katakan. Kita sudah selesai. Gak ada yang perlu dibicarakan lagi!” tegasnya menatapku tajam. “Belum. Di mana anakku?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD