Sesampainya di kampus, Amanda menceritakan masalah pria yang mengejar Nora kemarin pada dua sahabatnya. Leia dan Stuart kaget!
“Aku heran, kenapa ya akhir-akhir ini banyak kasus pembunuhan seperti diserang hewan?” tanya Stuart.
“Entah lah.” Amanda menaikkan bahunya.
Leia menanggapinya biasa saja, dia asyik dengan roti isi yang sedang dimakannya. Stuart mengambil paksa makanan itu dari tangannya lalu memakannya.
“Hei!” jerit Leia.
Amanda hanya bisa tertawa melihat tingkah mereka. Amanda melempar tatapannya ke kanan, dia melihat pria bertanda hijau itu di sekitarnya.
Amanda membandingkan kening pria lain yang ada di sana dan kening pria itu, tetap saja berbeda.
Merasa diperhatikan, pria yang ditatapnya menatap balik. Spontan Amanda mengalihkan pandangan dan tersenyum kaku pada temannya.
Pria itu pun melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan.
Leia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Taraaa, aku sudah mendaftarkan kau lomba!” katanya sambil bermain alis pada Stuart.
“Yeaaah!” Stuart senang melihatnya. Dia merampas kertas itu, membacanya dengan seksama.
“Leia! Kenapa kau daftarkan aku secepat itu? Aku belum minta izin pada ayah.”
“Oh, Amanda, ayolah! Waktunya sudah tidak banyak, jadwal pendaftaran sudah mau tutup. Aku menyelamatkanmu, harusnya kau berterima kasih padaku.”
Amanda tersenyum, memeluk sahabatnya dan mengucapkan terima kasih.
“Demi sahabat, aku akan melakukan apa pun!” ujar Leia.
Amanda terharu, matanya berlinang air dan menyekanya dengan cepat. Stuart senang bisa melihat mereka akur, perlahan semangat Amanda bisa didongkrak dengan keberanian Leia.
Mulai hari itu, Amanda akan pulang lebih lambat, biasa pukul 3 sudah tiba di rumah, tapi karena harus berlatih dia akan pulang pukul 5 sore.
Leia dan Stuart menemaninya berlatih, mencari ide musik apa yang akan dimainkannya. Namun, Amanda menolak ide itu karena ingin memainkan musik yang pernah diciptakannya ketika mengurung diri.
Stuart dan Leia ingin mendengar alunan merdu darinya. Amanda mulai menggerakkan jemari ke stud piano dihadapan mereka.
“Wah, aku merasakan kesedihan ketika mendengar nadanya,” bisik Leia.
“Mmh, jelas, kan dia sudah bilang diciptakan saat dia menyendiri.”
Leia mengangguk, itu artinya ketika perasaan Amanda sedang kacau, dia membuat kunci not musik ini.
Amanda sangat menghayati permainannya, memejamkan mata sesekali, menatap ke arah jendela dan tatapannya bagaikan menyiratkan harapan besar untuk dunia.
Harapan untuk menerima keadaannya yang berbeda. Harapan untuk dihargai dan ada sedikit rasa dendam menyeruak.
Amanda mengakhiri alunan itu dengan sangat baik. Leia bertepuk tangan kuat dan mengangguk yakin.
“Kau pasti menang!” katanya.
“Aku bukan ingin menang, tapi ingin diakui.”
Stuart merasa terharu, “Astaga! Kau buat aku jadi melow.”
“Hahaha, sudahlah! Ayo pulang, besok latihan lagi.” Leia mengajak mereka kembali ke rumah.
Hari sudah mendung, takut hujan di tengah jalan dan membuat pakaian mereka basah. Stuart tidak mengendarai mobil, jadi tidak ada jaminan selamat sampai rumah.
Amanda mendadak bersemangat ketika Frengky memberikan izin atas lomba yang diikutinya itu. Beberapa hari setelahnya, dia tetap latihan meski sahabatnya sedang sibuk dan tidak bisa menemaninya.
Amanda tidak patah semangat, dia latihan sendiri kemudian merombak sedikit nadanya untuk menambah sentuhan pendengar.
Ada pesan lain yang ingin disampaikannya. Pesan bahwa akan ada matahari setelah badai, cahaya terang di ujung lorong gelap.
Amanda menyisipkan makna ketiga sahabatnya di dalam alunan musik itu.
Nora menghubunginya, tetapi Amanda tidak mendengar panggilan tersebut. Sangking fokusnya bahkan Amanda tidak sadar kalau ada pria yang memandangnya sampai duduk di kursi, tepat di depannya. Saat Amanda membuka matanya, pria itu menjadi pandangan pertamanya.
Amanda terkejut, dia menghentikan jarinya dan menundukkan pandangan. Ketakutan mengetuk hatinya saat melihat pria bertanda di kening itu mendekat.
Amanda hendak mengambil tasnya, tetapi pria itu lebih dulu berdiri di dekat piano.
“Permainan yang bagus,” katanya menilai latihan yang dilakukan Amanda.
“Terima kasih,” jawabnya singkat.
Amanda sudah menggenggam tasnya, tetapi dia melihat sebuah tangan menjulur padanya. Gadis itu terhenyak dan menoleh ke atas.
“Kenalkan namaku, Thomas!”
Amanda menggigit kedua bibirnya, ragu akan perkenalan ini. Salamannya tidak disambut, Thomas pun tertawa ringan, menarik tangannya lagi.
“Tidak mengapa kalau kau tidak mau berkenalan denganku. Aku hanya lewat dan mendengar suara indah dari permainanmu,” lanjutnya.
Mendengar alasan tersebut, Amanda merasa senang. Dia tersenyum simpul padanya.
“Terima kasih, tapi masih harus aku perbaiki lagi di beberapa bagian,” sahutnya.
“Ya, kau benar. Ada not yang sedikit tidak berhubungan.”
Amanda terperangah, pria itu mengerti juga masalah musik.
Thomas tertawa ringan lagi, senyumnya sangat manis. Wajahnya yang tampan dengan rambut halus nan tipis di rahang, membuat Thomas sangat maskulin.
Amanda menyambut tawannya dengan senyuman lebar. “Aku Amanda.”
Akhirnya Thomas bisa tahu namanya. “Hai, Amanda! Nama yang bagus.”
“Terima kasih! jangan tatap mataku jika kau merasa risi.”
Thomas mengerutkan alis. “Memangnya matamu kenapa?” tanyanya.
Amanda tidak mungkin sengaja menunjukkannya. Mendadak dia gugup dan segera pergi, Thomas menarik tangannya hingga membuat Amanda menoleh secara paksa.
Thomas akhirnya bisa melihat sesuatu yang dikatakannya tadi.
Astaga, dia sangat cantik, meski matanya tidak sempurna.
Amanda terpaku memandangnya, melepas paksa tangannya dan segera pergi.
“Amanda!” panggilnya.
Gadis itu berhenti, tapi tidak menoleh.
“Senang berkenalan denganmu!” lanjutnya.
Amanda tersenyum tipis, lalu pergi.
Bagaimanapun juga mereka adalah dua orang asing. Amanda tidak terlalu leluasa menghadapi orang asing. Terlebih karena kondisi fisiknya.
Keesokan harinya, Thomas masih penasaran dengan wanita yang ditemuinya semalam. Dia memutuskan menunggu Amanda hingga selesai latihan. Pria itu berdiri di depan pintu ruangan aula. Amanda dan Leia terkejut, Thomas menyapa mereka ramah dengan senyuman.
"Hai, Amanda!" sapanya, "Hai!" lanjut pada Leia.
"Namaku Leia," sahut wanita itu.
"Ah, Leia, kenalkan namaku Thomas!"
"Kau dan Amanda-" ucap Leia terputus, sambil menunjuk ke arah pria dan sahabatnya itu.
Amanda menurunkan telunjuk Leia. "Aku tidak mengenalnya," ujarnya langsung mengajak Leia pergi.
Thomas tertawa kecil, perlahan mengerucut sampai senyumnya pun menghilang. "Susah ditaklukkan," bisiknya sendiri.
Leia tidak percaya, memaksa Amanda untuk bicara serta menjelaskan masalah Thomas. Amanda berhenti kemudian menatap wanita itu.
"Aku benar-benar tidak mengenalnya, dia datang saat aku latihan kemarin."
"Hanya kemarin?" tanyanya.
"Beberapa hari yang lalu juga aku pernah bertemu di bus."
"Nah, berarti kalian sudah saling kenal," ujar Leia.
"Tau bukan berarti kenal," sahutnya kesal.
"Lalu, kenapa kau panik? Mungkin dia mau berkenalan denganmu, berteman baik."
Amanda menggeleng. Thomas menyambar dari belakang, "Ya, kau benar! Aku ingin menjadi temannya, tetapi, Amanda menolaknya."