Leia pun senang melihat ada pria yang sengaja mendekatinya. Thomas lumayan tampan, tubuhnya atletis, rahangnya tegas, hidung mancung. Bibirnya juga seksi, merah dan berisi.
"Thomas, apa kau ingin jalan dengannya?" tanya Leia.
"Ya, aku ingin, tapi temanmu pasti menolaknya," jawab Thomas.
"Haha, enggak! Dia pasti mau." Leia melirik Amanda, "Benar kan Amanda? Kau mau pergi bersama Thomas?" tanyanya.
"Leia." Amanda kurang setuju pada arahan sahabatnya, "Aku pulang saja," rajuknya kemudian pergi.
Leia meminta Thomas untuk mengejarnya dan pria itu tersenyum simpul lalu menuruti ucapannya.
Amanda jalan dengan posisi pandangan menunduk, perlahan kaki Thomas dilihatnya ada di sisi kanan. Amanda menoleh, alisnya spontan mengerut dan membuang tatapannya ke depan.
"Kenapa kau ikuti aku?" tanyanya.
"Karena aku ingin."
Amanda menghentikan langkahnya. "Aku bukan perempuan yang bisa buat kau senang, bila jalan bersamaku kau akan dapat hujatan."
"Aku tidak peduli," jawab dengan senyuman.
Amanda menatapnya sejenak lalu pergi lagi. Cahaya hijau itu tetap ada di keningnya, mumpung kondisi mereka dekat, Amanda ingin memegangnya.
"Boleh aku pegang keningmu?" tanyanya.
"Silakan, memangnya kau lihat apa di sini?" tanya Thomas sambil memegang keningnya sendiri.
Amanda mengarahkan jarinya ke bagian tengah antara alis kiri dan kanan. Cahaya itu bagaikan keluar dari jendela transparan, saat dia menutup lubangnya maka tidak ada lagi terlihat silaunya.
Thomas bingung, tidak paham maksud Amanda menyentuh keningnya dengan wajah yang cukup menegangkan. Amanda segera menurunkan jarinya lagi.
"Maaf."
"Ya, jangan sungkan. Memangnya ada apa di keningku?" tanya pria tersebut.
Amanda tak akan mengatakannya. "Serangga," jawabnya berbohong.
"Haha," sahut Thomas geli.
Amanda tersenyum kaku, masih tidak bisa dijelaskan secara nyata sumber cahaya itu. Amanda coba bertanya pada seseorang, di tengah perjalanan dirinya belok ke sebuah toko penjual minuman.
Thomas kehilangan jejak beberapa langkah dan tertawa sendiri menyadari pergerakan Amanda secara tiba-tiba belok ke toko itu. Thomas pun menghampirinya.
"Mba, mau tanya -" kata Amanda menoleh pada Thomas setelah pesanannya selesai.
"Ya, apa itu?"
"Apa Mba melihat cahaya hijau di kening pria itu?" tanya Amanda.
"Pria mana?"
"Itu yang pake jaket biru."
Wanita itu menemukan sosok yang dimaksud. Dia tidak menemukan apa-apa, menggeleng cepat pada Amanda.
"Oh, oke terima kasih banyak!"
"Sama-sama."
Amanda membawa minumannya lalu menghampiri Thomas. Dia memberikan satu untuknya.
"Aku haus," ucap Amanda.
"Astaga! Maaf, aku tidak peka. Harusnya kita duduk dulu dan minum."
Amanda tersenyum miring, "Santai aja, aku lagi tidak ingin duduk."
Amanda mencoba melarikan diri, tapi yang herannya Thomas selalu bisa menemukannya. Sampai Amanda kaget karena bertemu lagi dengan pria itu di lorong gelap.
"Kau jangan suka pergi ke tempat seperti ini, berbahaya!" ujarnya menarik tangan Amanda dan keluar dari lorong itu dengan cepat.
"Apa kau tidak memberiku kesempatan sendiri" tanya Amanda.
"Tidak bisa, kita pergi bersama dan harus pulang bersama," sahut Thomas.
"Hei, kau yang mengikutiku!" erang Amanda.
Thomas kaget mendengar nadanya yang mulai meningkat, merasa wanita di hadapannya mulai marah.
"Kau keberatan aku ikuti?" tanyanya.
"Ya, aku keberatan." Amanda menjawabnya ketus.
"Baiklah." Thomas mundur, mempersilakan Amanda jalan sendirian.
Wanita itu pun melangkah, tidak menghiraukan pria yang baru dikenalnya, tetapi sudah merasa sok akrab.
Amanda naik bus ke sebuah wilayah yang terkenal dengan toko buku terlengkap di Umea, gadis itu turun di halte kemudian menelusuri beberapa blok hingga tiba ke sebuah toko buku berlantai 2.
Harusnya dia tiba lebih cepat sebelum malam tiba, tapi karena adanya Thomas - kini langit sudah menghitam. Angin pun terasa kencang. Amanda langsung bertanya pada penjaganya posisi rak buku kesenian. Wanita itu menunjuk ke arah kanan. Amanda segera mencari buku yang dimaksudnya. Setelah ditemukan beberapa menit kemudian Amanda segera membayarnya ke kasir.
"Terima kasih!" ucapnya.
"Ya, sama-sama! Hati-hati pulangnya, banyak preman nakal di sekitar sini."
Teguran itu menjadikan Amanda was-was. Pandangannya meluas ke segala arah, angin berhembus sangat kencang, langit pun memerah.
Amanda mengeratkan resleting jaket ditubuhnya, mengurangi dinginnya suhu yang menusuk kulitnya. Sedikit menggigil, bibirnya pun mulai membiru.
Perjalan menuju simpang untuk mendapatkan bus masih jauh, sekitar 300 meter lagi. Amanda melihat jam ditangan kirinya, sudah menunjukkan pukul 8 malam. Tidak terasa berlalu secepat itu.
Ponselnya berdering, Amanda merogoh benda di kantungnya lalu melihat layarnya. Frengky menghubunginya.
"Halo, Ayah!"
"Kau di mana?"
"Aku baru selesai membeli buku."
"Siapa temanmu?"
"Tidak ada, aku sudah dalam perjalanan pulang."
"Oke, kalau terjadi sesuatu kau harus hubungi Ayah."
"Ya, Ayah!"
Frengky memutus panggilan, memantau keberadaan anaknya melalui aplikasi pelacak. Pria itu akan segera tau posisinya saat ini. Frengky langsung bergerak untuk menjemput putrinya. Jarak dia sangat jauh, Amanda pergi hingga ke Centrala Stan.
Amanda menyimpan lagi ponselnya di dalam tas, suasana sangat sepi. Dari kaca ruko yang memantulkan bayangan ke sekitar, Amanda melihat ada 3 orang pria di belakangnya. Spontan denyut jantungnya berdegup kencang, teringat akan ucapan wanita di toko buku tadi.
"Hati-hati pulangnya, banyak preman nakal di sekitar sini."
Amanda mempercepat langkahnya, tiga pria di belakang memang punya niat jahat padanya. Sebilah senjata tajam sudah dikeluarkan, salah satunya merogoh saku celana dan mengeluarkan sapu tangan yang sudah mengandung obat bius. Sementara yang satu lagi akan bergerak menghadangnya.
Amanda menelan ludah, lututnya terasa lemas karena membayangkan dirinya dalam bahaya.
"Hei, Nona!" panggil salah satu dari mereka yang menggunakan kaus kuning.
Amanda menghiraukannya, langkahnya makin cepat dan perlahan berlari.
"Sial! dia membaca gerakan kita, buruan! sebelum dia melaporkan kita," kata pria lain berbaju hitam.
Segera dikejarnya gadis itu dan membekap mulut Amanda. Suara erangan keluar, tidak bisa melengking dan didengar orang lain, sebab tertutupi kain yang cukup tebal.
Amanda terus meronta, mereka membawanya paksa ke sebuah jalan kecil yang gelap. Amanda mulai kehilangan fokus penglihatannya, bius di sapu tangan bekerja ke sistem saraf pusatnya, menumbangkan kesadaran dan akhirnya pingsan.
Pria-pria itu merogoh semua benda berharga di tas dan sakunya. Salah satu dari mereka gagal fokus ketika melihat tubuh mulus Amanda hingga tak mampu menahan diri dan ingin menikmatinya.
"Ben, kita harus pergi!"
"Sebentar saja, kalian tunggu di depan!" pintanya.
Dua pria itu pun meninggalkannya, begitu berbalik mereka berhadapan dengan seorang pria bertubuh kekar. Matanya berubah menjadi cahaya biru lalu memukul mereka satu persatu hingga pingsan. Merebut kembali semua barang berharga yang diambil dari Amanda.
Ben, pria yang sudah hampir membuka baju Amanda pun terkena hantaman tangannya yang sangat kuat. Bunyi patahan rahangnya terdengar, membuat ngilu dan sudah bisa dibayangkan bahwa wajahnya hancur, sama seperti nasib dua temannya yang tak sadarkan diri karena mendapat pukulan di bagian jantung. Tulang rusuk mereka patah dan menyebabkan robeknya otot pelindung organ utama pengedar darah itu. Ketiga pria itu kritis, nafasnya satu-satu berembus dan tubuhnya menggeletar.