Enam
Di sebelah utara tribun, di mana sekumpulan orang dari pedalaman yang dulu pernah membuat sejarah keributan, terdapat seorang laki-laki tuas melangkah diam-diam ke baris teratas dan duduk seorang diri. Dia terlalu jelas untuk dapat dikenali, serta yang jelas dia terlihat ingin sendirian. Dia memandang sekeliling lapangan, dan tidak lama setelah sekian putaran matanya, dia lantas tenggelam dalam lamunannya sendiri.
Waktu mulai memunculkan seorang pelari yang mulai perlahan melintasi di jalur running track, berlawanan dengan arah jarum jam. Memang pada saat itu sudah tiba waktunya para pelari dan pejalan kaki berkeliaran di lapangan itu untuk beberapa putaran. Dulu Maggie tak pernah mengizinkan ada running track di lapangan itu. Namun setelah dirinya dipecat, muncul sebuah inisiatif untuk membuka jalur itu bagi mereka yang mau membayar untuk pembuatannya. Setelah jalur itu dibuat, biasanya petugas perawatan berkeliaran di sana sambil mengawasi untuk memastikan tak ada siapapaun yang berani menginjak rumput Maggie Field. Mustahil bisa terjadi.
“Di mana Fred?” tanya Nicki. Entah dia memiliki kesan apa dari cerita Denis sebelumnya hingga dia menundukkan kepalanya dengan tatapan kosong di kilatan matanya.
“Dia masih ada di Wembley, mencari peruntungan dengan gitar kesayangannya dan lirik-lirik lagu payah yang dibuatnya. Alih-alih mengejar mimpinya di kota yang dianggapnya lebih menghargai musik ketimbang London.”
“Hem… Dan Eden?”
“Dia di sini, dia mendapatkan pekerjaan kecil-kecilan di kantor pos. Dia dan Jane mempunyai tiga anak. Jane menjadi guru di sebuah sekolahan, dia masih semanis dulu, tidak berubah. Mereka pergi ke gereja lima kali dalam seminggu.”
“Eden masih tetap tersenyum?”
“Always. Every time.”
“Chris?”
“Masih di sini juga. Kita sama-sama tahu, dia dulu yang paling mampu mengendalikan karier pendidikan dan olahraga. Sekarang dia mengajar kimia di gedung tepat di sebelah sana itu..,” kata Denis sambil menunjuk ke arah sudut gedung yang dimaksud. “Dia tak pernah absen satu pertandingan pun.”
“Apa kau dulu pernah mengambil pelajaran kimia?”
Dengan cepat, tatapan mata Denis beralih lagi ke Nicki. “Tidak pernah.”
“Aku pernah sekali. Suatu waktu, aku mendapatkan A dan tak pernah membuka satu buku kimia lagi.”
“Tidak. Kau tak perlu susah-susah melakukan itu. Kau dulu jagoan London. Bahkan sampai seluruh Inggris.”
“Lalu Josse, dia masih ada di penjara?”
“Ya, dipastikan dirinya akan mendekam di sana dalam waktu yang sangat lama.”
“Di mana?”
“Ada di Greenwich. Aku sesekali bertemu dengan ibunya dan tak pernah lupa menanyakan soal dirinya. Terkadang aku merasa bersalah sebab ibunya selalu menangis setiap aku bertanya hal itu padanya.”
“Apa dia tahu soal keadaan Maggie?” tanya Nicki yang sedari tadi orientasi pertanyaannya selalu sama—yang sedang dipercakapkan adalah tentang orang lain, tapi seolah isi pikirannya adalah selalu berisi James Maggie.
Denis hanya mengedikkan bahu dan menggeleng, dan ada sedikit jeda di antara percakapan mereka saat pandangan mereka tertuju pada seorang laki-laki tua yang bersusah payah menapaki jalur lari. Dia diikuti oleh tiga orang gadis muda bertubuh besar, ketiganya lebih banyak energi untuk sekadar bercakap-cakap daripada untuk berjalan.
“Apa kau pernah mengetahui fakta mengapa Jose memilih bergabung dengan Warrior?” tanya Nicki.
“Tidak tahu pasti. Ada desas-desus yang mengatakan karena persoalan uang, tapi sejauh ini Jose belum pernah mau mengatakannya.”
“Kau ingat reaksi Maggie?”
“Ya, kalau tidak salah, dia sangat ingin membunuh Jose. Pikirku, Maggie telah berjanji pada perekrut dari Golden Spurs.”
“Maggie termasuk orang yang selalu ingin memenuhi janjinya. Dia mau aku di Teiko.”
“Kau memang sudah semestinya ke sana.”
“Sudah terlambat untuk membicarakan itu lagi.”
“Mengapa kau memutuskan bergabung dengan Mifa?”
“Aku lebih suka aspek manager dan pelatih mereka.”
“Tak ada yang suka dengan komponen itu di sana. Apa alasanmu sebenarnya?”
“Kau sungguh mau tahu?”
“Hem, setelah lima belas tahun lamanya, aku sungguh ingin tahu itu.”
“Lima puluh ribu dolar, tunai.”
Denis mendesis. “Tidak mungkin.”
“Sungguh. Teiko memberikan tawaran empat puluh, sedang Golden Spurs memberikan tawaran tiga puluh lima, ada beberapa tawaran lain yang cuma bersedia membayar dua puluh lima.”
Laki-laki tua tadi sudah menepi ke garis batas running track. Hanya tersisa beberapa orang yang berjalan perlahan sambil menikmati musik melalui headset bluetooth mereka.
“Kau sama sekali tak pernah memberitahuku soal itu.”
“Aku sengaja tak pernah memberitahukan apapun soal ini. Bukan cuma kau, pada siapapun aku menutup informasi soal ini. Itu benar-benar sebuah bisnis yang kotor.”
“Kau bebar-benar mendapat lima puluh ribu dolar tunai dari Mifa?” tanya Denis mencoba untuk meyakinkan dirinya sekali lagi.
“Lima ratus lembar seratusan dolar, dimasukkan dalam sebuah tas kanvas berwarna merah polos dan ditaruh di bagasi mobilku tanpa sepengetahuanku ketika aku sedang asyik menonton film dengan Jack. Besok paginya, aku sepakat untuk bergabung dengan Mifa.”
“Apakah orang tuamu juga tahu soal itu?”
“Kau sudah gila? Ayahku pasti langsung menghubungi NCA.”
“Terus, kenapa kau terima tawarannya?”
“Hei, setiap sekolah pasti menawarkan uang tunai, Denis, kau jangan naif. Itu sudah lazim. Itu bagian dari permainan.”
Reaksi Denis seolah-olah memperlihatkan dirinya tidak terima disebut naif. “Aku tidak naif, aku cuma kaget saja mendengarnya.”
“Mengapa? Toh, lagi pula aku bisa saja gabung dengan mereka tanpa memperoleh sepeser pun kalau aku mau, atau lebih memilih mengambil uangnya. Dengan uang sebesar lima puluh ribu dolar bagi seorang bocah berumur delapan belas tahun itu rasanya seperti menunaikan impian memenangkan lotre.”
“Tapi, sekalipun begitu…”
“Kau seperti tak tahu saja. Setiap agen perekrut selalu menawarkan uang tunai, Denis. Tak ada satu perkecualian pun. Aku mengira itu cuma bagian dari bisnis saja.”
“Lalu gimana caramu menyembunyikan semua uang itu?”
“Banyak bank yang aku dirikan secara tiba-tiba seketika uang itu tiba. Aku menaruhnya di sana-sini. Ketika aku sampai di Mifa, aku mempunyai mobil baru yang kubeli secara tunai. Tidak terasa, semua uang itu ludes dalam waktu singkat.”
“Bagaimana bisa… Orang tuamu tak curiga?”
“Tentu saja. Tapi aku ada di college dan sengaja menjauh dari rumah, seberapa mereka curiga pun, mereka tak bisa mengikuti segela sesuatunya.”
“Kau tak menabung uang itu sedikit pun?”
“Mengapa harus menyimpan jika kau ada dalam daftar gaji?”
“Maksudmu? Daftar gaji apa?”
Nicki agak menggeser tubuhnya sedikit dan mengukir senyum jail di bibirnya.
“Kau jangan sok-sokan pintar di depanmu, sialan,” ketus Denis.
“Terasa aneh juga kalau sebagian besar dari kita belum pernah bertanding di Divisi Tiga.”
“Ingat Piala FA di tahun pertamaku di college?”
“Tentu saja aku ingat. Semua orang di sini menonton itu.” Nada suara Denis terkesan agak sebal.
“Waktu itu secara sengaja, aku diturunkan di babak kedua. Pertandingan masih seri. Sangat sengit. Penonton bersorak semakin kencang ketika pemain baru dimasukkan, artinya ada perubahan strategi. Aku memutuskan untuk tidak menginjak area pertahanan timku sama sekali. Aku fokus menyerang. Memberikan umpan silang, menggiring dan melewati lawan. Kemunculanku di lapangan mengubah alur pertandingan, aku menekankan umpan satu-dua sentuhan, tidak perlu lama-lama menggiring bola. Pertandingan sudah mencapai menit akhir. Aku memberikan umpan terobosan dan membuat penyerangku berhadapan satu lawan satu dengan kiper lawan. Aku memenangkannya. Sebuah pertandingan yang berkesan. Bersamaan dengan itu, seorang bintang baru dilahirkan, aku mahasiswa baru terhebat di pelosok kota, dan bla, bla, bla. Dan ketika aku kembali ke sekolah, sebuah paket kecil sedang menunggu di kotak posku. Isinya lima puluh ribu dolar, tunai. Ada sepucuk surat yang pesannya cuma mengatakan: ‘Permainan yang luar biasa. Pertahankanlah.’ Surat itu anonym. Pesannya sangat jelas—teruskan tren kemenangan pertandingan dan uangnya akan terus datang. Oleh karena itu aku tak tertarik untuk menabung sepeser pun.”