Satu-Hari Selasa
-HARI SELASA-
Jalan ke Maggie Field membentang di samping sekolah, melewati aula usang yang biasa dipakai tempat perkumpulan anak band sekolah dan di dekatnya ada lapangan tenis, menembus terowongan tajam yang merupakan dua baris pohon apel yang saling berjarak sekitar lima meter. Pohon apel itu sasaran utama orang-orang Maggie Field. Dia ditanam dan dibayar pendukung fanatik, lalu menyasar bukit pendek menuju dataran rendah yang kurang tampak karena tertutup aspal. Aspal yang cukup luas itu bisa menampung kurang lebih sekitar seribu mobil. Arus jalan sekitaran Maggie Field berakhir di depan gerbang raksasa yang tersusun dari batu-bata dan jeruji besi yang memberitahukan kehadiran Maggie Field. Dan di balik gerbang raksasa tersebut ada pagar rantai yang mengitari lahan “suci”, yang disebut Maggie Field—salah satu tempat yang dikeramatkan di Lambeth, salah satu borough London di bagian selatan London. Rutinitas Jumat malam, warga kota Lambeth setia menunggu gerbang raksasa itu dibuka, kemudian mereka beradu cepat untuk mendapatkan satu bangku penonton di mana tempat-tempat tersebut mempunyai filosofi dan diklaim atas dasar mitos, mungkin bagi mereka itu bukan lagi mitos, tetapi mitos yang direalitaskan, kemudian ada ritual sebelum pertandingan yang menggegerkan selanjutnya terjadi.
Lahan hitam beraspal di sekeliling Maggie Field sudah penuh sesak oleh pengunjung lokal meski mereka harus menunggu satu jam untuk dimulainya pertandingan. Hal itu menyebabkan setiap kendaraan yang lalu-lalang di area sekolah terpaksa tergusur ke jalan-jalan berpasir dan berjejal ke lorong-lorong. Sementara, pendukung tim lawan juga mengalami saat-saat yang berat di Lambeth, namun ada yang jauh lebih berat dari itu: pengalaman bertandang ke Maggie Field oleh tim lawan.
Andrea Nicki mengendarai mobilnya palan-pelan menuju jalan ke Maggie Field, kecepatannya mengendarainya seperti seorang yang baru belajar memakai mobil, dia tahu itu karena dia sudah bertahun-tahun tidak kembali ke jalanan ini, pelan-pelan karena di samping jalan dia bisa menjangkau lampu-lampu lapangan yang mencuatkan kembali kenangan yang menderu, dan dia tahu bahwa ingatan-ingatan itu akan menggerayangi pikirannya. Ia menyusuri jalan melewati pohon apel, yang warna buahnya tampak begitu ranum dan cerah dengan dedaunan khas musim gugur. Batang-batang pohon itu di masa kejayaan Nicki berukuran setebal satu kaki, sementara sekarang ruas-ruas atau cabang pohon itu menjalar sampai di atasnya dan dedaunan meranggas bagai salju menyelimuti jalan menuju Meggie Field.
Ketika itu, pada sore hari di bulan Agustus, angin menderu ribut. Dia menghentikan mobilnya di samping gerbang dan melihat lapangan. Semua organisme di sekitarnya terasa lebih lambat sekarang. Isi kepala digerayangi bayangan dan telinga dipenuhi gemuruh suara dari kehidupan yang lain. Dulu, ketika dia masih aktif bermain di sana, lapangan itu masih belum bernama; atau memang tidak perlu memiliki nama. Setiap warga Lambeth mengenal lapangan itu hanya bernama “lapangan”. “Pagi-pagi sekali, anak-anak sudah ada di lapangan,” kata mereka saat sedang di kedai pusat kota. “Tepatnya jadi jam berapa kita harus membersihkan lapangan?”tanya mereka di Trystin Club. “Maggie bilang, kita memerlukan beberapa bangku tamu baru di lapangan nanti,” tegas mereka dalam sebuah pertemuan dengan para pendukung fanatik. “Maggie berjanji akan mengalahkan mereka di lapangan itu nanti malam.”
Tidak ada satu hektar bahkan satu petak pun yang lebih suci selain dari lapangan itu di Lambeth; bahkan tempat pemakaman sekalipun.
Setelah Maggie pergi, mereka memberikan lapangan itu sebuah nama sesuai namanya sebagai kenangan atas dirinya. Memang benar, waktu itu Nicki sudah lama meninggalkan Lambeth tanpa mempunyai asumsi untuk kembali.
Pertanyaan tentang kenapa dia sekarang kembali menginjak jalanan Maggie Field, jawabannya tidak begitu jelas. Namun tanpa terpikirkan olehnya sendiri, bahwa kejadian ini suatu hari memang akan tiba. Hari di mana dia akan terpanggil kembali. Dulu dia sudah mengira bahwa Meggie akan meninggal, dan benar saja akan ada pemakaman di mana ratusan mantan pemain berdempetan mengiringi kepergiannya, ramai-ramai memakai baju merah khas Red Circle, sebagai representasi duka cita atas kepergian sang legenda Red Circle yang mereka cintai sekaligus benci. Tetapi dia berkomitmen bahwa dia tidak akan pernah kembali ke lapangan itu selama Maggie belum mati.
Dari jauh, di balik tribun yang yang digunakan untuk menonton pertandingan resmi, terdapat dua lapangan yang khusus digunakan untuk latihan, satu disertai lampu-lampu di setiap sudutnya. Lapangan satunya lagi tidak, tapi kualitas rumputnya jauh lebih bagus. Tidak ada selain sekolah ini yang memiliki kemewahan seperti ini. Juga kalau diteliti lebih luas lagi, tidak ada masyarakat yang begitu mencintai sepak bola daerahnya selain Lambeth. Nicki kembali bisa menaungi hangatnya saat-saat bermain. Nyaringnya peluit pelatih dan deruan napas-napas pemain beradu ketika tim Red Circle terbaru sedang bersiap-siap menghadapi Jumat malam. Dia berjalan melewati gerbang raksasa itu dan mengarungi jalur running track yang terbuat dari pecahan batu bara merah atau gravel.
Rumput-rumput dipotong rapi. Hanya dengan melihatnya dari jauh, lapangan itu sudah mampu menarik perhatian para pemain untuk secepatnya bisa bermain di atasnya. Sementara rerumputan yang agak panjang berkumpul di area belakang gawang. Itu tidak menjadi masalah sebab bukan termasuk area permainan. Tapi rumput yang ada di setiap sudut seolah-olah melindungi bendera corner. Rumput itu agak panjang, dari jarak sepuluh meter melihatnya pun sudah bisa ditebak kalau rumput itu sedikit merepotkan pemain yang nantinya melakukan tendangan pojok. Nicki memperhatikan rumput-rumput itu dengan teliti, sedikit mengingatkan dia ketika melihat rumput yang ada di setiap pojok, bahwa dulu di mana masa jayanya lusinan sukarelawan berkumpul setiap Kamis sore dan mengarungi lapangan itu dengan penggaruk kebun yang siap memotong setiap helai rumput yang sudah kepanjangan.
Namun, masa jaya itu telah berlalu. Masa kejayaan itu berlalu bersamaan dengan kepergian Maggie. Sekarang permainan sepak bola orang-orang Lambeth dimainkan oleh mereka yang fana, dan kota itu telah kehilangan keangkuhannya.