Tujuh

1217 Words
Tujuh Pickup Leo dicat kombinasi warna yang tidak jelas. Antara warna emas dan merah. Rodanya kemilau keperakan dan jendelanya hitam pekat. “Itu orangnya,” seru Denis ketika truk itu berhenti di dekat gerbang. “Truk model apa itu?” “Aku yakin itu barang curian.” Penampilan Leo sendiri sudah berubah: berbalut jaket kulit khas pengebom Perang Dunia II, dengan bawahan celana panjang hitam dan sepatu bot hitam. Berat badannya tak menyusut sedikit pun, pun tak bertambah, sepertinya, dan masih terlihat seperti seorang pemain bertahan yang identik dengan gaya jalan ketika mengitari lapangan. Gaya jalannya khas gaya jalan pemain Red Circle Lambeth, terkesan sombong dan nyaris mencitrakan aura menantang siapa saja untuk beradu omongan kasar. Leo masih mampu merebut bola, menjatuhkan lawan, dan membuat seseorang cedera. Namun dia dengan tercenung berdiri menatap tengah lapangan, entah kenangan apa yang dia tangkap, mungkin membayangkan sosok dirinya sendiri bertahun-tahun silam, sambil mendengarkan raungan Maggie padanya. Aku yakin, mencoba menghindari kenangan apa yang sudah dia lalui dengan Maggie adalah sesuatu yang rumit sekali. Apa yang sedang dilihat dan didengar oleh Leo sehingga menghentikan pijakan kakinya di garis putih luar, mungkin sesuatu yang masih ada hubungannya dengan masa lalunya sebagai pemain. Kemudian dia menaiki tangga tribun dengan kedua tangan dijejalkan ke dalam saku jaket. Staminanya terlihat merosot tajam, dilihat dari napasnya yang tersengal-sengal ketika dia sampai di tempat Nicki. Dia memeluk erat partner gelandangnya itu dan menanyakan secara tubi-tubi ke mana saja rekannya itu selama lima belas tahun terakhir. Sapaan dilemparkan, di dalamnya ada hinaan-hinaan, tapi semuanya dibalas. Begitu banyak yang tertinggal di antara mereka, sampai tak satu pun di antara mereka berdua yang mau memulainya. Mereka duduk bertiga sejajar sambil melihat sosok yang sama, di mana para pelari sedang terengah-engah di jalur running track. Leo diam, dan ketika dia mulai bicara, suaranya nyaris terdengar seperti bisikan. “Jadi, saat ini di mana kau tinggal?” “Kawasan Cambridge.” “Dan pekerjaanmu?” “Jual beli properti tanah.” “Kau sudah berkeluarga?” “Ini semacam interogasi?” “Anggap saja begitu.” “Aku sudah bercerai. Dan kau?” “Hem, aku yakin suatu saat aku bisa mempunyai banyak anak, mungkin hanya saja aku tidak tahu apa pun soal mereka saat ini. Lagipula aku juga tidak pernah menikah. Apa kau di sana menghasilkan banyak uang?” “Lumayanlah. Aku tidak ada dalam daftar forbes.” Leo terkekeh, humor yang masih sama dengan Nicki dulu. “Mungkin kau bisa menemukan namaku terdaftar di sana tahun depan.” “Bisnis seperti apa?” tanya Nicki, sambil melirik kaki Denis, sementara Denis pun juga menangkap lirikan sekilas itu. “Suku cadang otomotif,” jawab Leo. Ada jeda cukup lama di sela percakapan mereka. “Aku sempat mampir di kediaman Maggie tadi siang. Miss Pratiwi dan para gadis yang lain ada di sana. Ada beberapa cucu dan tetangga. Seperti biasa, rumahnya penuh sekali orang. Semuanya duduk di mana-mana, mereka semua sama: menunggu Maggie meninggal.” “Dan kau bertemu langsung dengannya?” tanya Denis mencoba memastikan. “Tidak,” jawab Leo datar. “Kata Miss Pratiwi, dia ada di bagian belakang rumahnya, dengan seorang perawat. Dia bilang, Maggie tak mau ditemui siapa pun menjelang hari-hari terakhirnya. Dia bilang, dia tinggal tengkorak.” Bayangan sosok James Maggie yang terbujur kaku di ranjang yang gelap hanya dengan seorang perawat menyambar benak mereka. Membekukan percakapan di antara mereka bertiga untuk waktu yang lama. Sampai tiba karier pelatihnya berakhir, Maggie tetap dengan kaus dan celana pendeknya, dan tidak pernah setengah-setengah dalam hal mendemonstrasikan gaya bermainnya yang benar. Maggie sangat menikmati di mana para pemainnya tersiksa saat latihan. Tapi kau mengerti yang aku maksud dalam arti ‘menikmati’ di sini. Maggie adalah sosok yang tidak sabar dengan perkembangan pesat para pemainnya. Maggie adalah sosok yang identik berkata kasar, selain Leo. Sesi latihan tidak terasa mencair sebelum dia mengucapkan satu kalimat pembuka yang kasar: “B*ngs*t kau, Leo! Ambil kembali bolanya, kalau salah umpan lagi, kau akan pulang besok!”. Pembiasaan terhadap sikap tersebut sangat diperlukan. Mereka bertahun-tahun ikut dalam gaya pelatihannya dan membuahkan hasil permainan yang luar biasa. Setiap pemain Red Circle Lambeth mengerti suasana hati Maggie dan selalu terbiasa dengan itu. Apa alasan yang membuatnya meminta seluruh pemainnya berkumpul di titik tendangan sudut kalau tidak karena kesalahan satu hingga dua orang yang bermain tidak serius. Ya, signal berkumpul di titik tendangan sudut itu adalah signal yang paling ditakuti oleh seluruh pemain. Terasa lebih baik apabila tetap di dalam lapangan dan latihan shuttle run. Ada kejadian menarik yang masih bisa dihitung jumlahnya selama 34 tahun dia menjabat sebagai pelatih kepala. Dia pernah dua kali terlibat pertikaian dengan seorang pemarah yang sudah mengundurkan diri dari tim dan berupaya mencari masalah terhadap dirinya dan juga pada tim. Pertikaian yang kedua ialah pukulan yang tanpa alasan yang jelas mendarat di wajah Andrea Nicki. Benar-benar sulit diterima kalau laki-laki tua itu saat ini hanya bisa terbaring di ranjangnya dan terengah-engah menghela napasnya sambil menunggu ajal. “Dulu aku pernah ke Filipina,” ujar Leo. Suaranya pelan, agak serak. “Aku bekerja di sana. Menjaga toilet bagi para perwira, sambil terus memaki setiap menit tugas itu, dan kala itu aku tak pernah lagi melihatmu bermain di college.” “Kau tidak melewatkan begitu banyak,” ucap Nicki. “Pada suatu hari aku mendengar bahwa kau menjadi seorang pemain yang hebat, setelah itu kau mengalami cedera.” “Ya, aku sempat menjalani rentetan pertandingan yang menyenangkan.” “Dia menjadi pemain nasional minggu ini di tahun keduanya dia di college,” sergah Denis. “Dia memberikan satu assist yang berharga saat menghadapi Rangers.” “Kalau tidak salah, lututmu?” tanya Leo. “Ya, lutut.” “Gimana ceritanya?” “Waktu itu memang sangat sengit pertandingannya. Mereka punya banyak pemain bagus. Tapi gaya permainannya berbeda. Mereka cenderung individual. Tim kami mengandalkan permainan umpan dari kaki ke kaki. Kau juga sudah tahu gayaku memimpin permainan…” “Ya, teruskan…” “Kala itu tim kami sudah mencetak gol, dan akulah yang memotori serangan dan memberikan satu umpan yang kemudian dikonversi menjadi gol itu. Sepuluh menit tersisa sebelum peluit akhir babak kedua pertandingan. Kami memainkan operan pendek, satu-dua sentuhan. Tidak berniat menambah gol, dengan maksud untuk menghemat stamina. Sulit mencuri bola dari tim kami, mereka terlihat semakin geram. Saat aku diberi umpan pendek, tiba-tiba ada satu orang menyergap lututku dari belakang. Selesai sudah. Aku tahu kalau orang itu memang tak berniat mencuri bola. Tapi mencuri karierku.” Ligamen lutut Leo pernah robek pada sebuah pertandingan musim semi, namun dia berhasil sembuh. Dia lumayan tahu perihal masalah lutut. “Pembedahan dan segala macamnya?” tanya Leo. “Sudah diupayakan, empat kali,” kata Nicki sambil menunjukkan empat jemarinya. “Ligamennya robek total, tempurung lutut hancur.” “Pemain itu memang sengaja mengincar lututnya saat pergerakan Nicki agak sedikit berkurang karena mengira tempo permainan Rangers yang menurun,” ucap Denis. “Ya, aku memang mengira kalau Rangers sudah menurunkan tempo permainannya. Pergeseran antar pemain mereka sudah tidak rapi.” “Mereka menayangkannya lusinan kali di televisi. Salah seorang penyiar terbilang cukup punya nyali karena menyebut kejadian itu sebagai kekerasan tak beralasan. Mereka Golden Spurs, apa yang dapat aku katakan?” “Pasti menyakitkan sekali.” “Memang.” “Dia digotong pergi dengan ambulans, dan orang-orang menangis di jalan-jalan Lambeth.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD