“Kamu bisa ngira-ngira, nggak, si Steve ini mau lakuin apa?” tanya Faira.
Gadis itu baru saja menceritakan apa yang terjadi tadi sore pada Adin. Sembari menunggu jawaban Adin, Faira tidak bisa tenang sedikit pun. Terus bolak-balik di depan lemari dengan gelisah. Kuku-kuku telunjuk kanannya terus ia gigiti guna mengurangi rasa khawatir, tetapi sama sekali tidak membantu. Pikiran Faira terlalu jauh berkelana.
Otak kotornya mulai memutar imajinasi, mengenai Steve yang mengurungnya di rumah mereka—hanya berdua, karena yang lainnya sedang menonton pertandingan Darren. Lalu, Steve akan terus menyudutkan Faira ke dinding. Pria panas itu akan menggunakan kedua tangannya mengurung Faira, sehingga gadis itu tidak bisa bergerak sama sekali, dan memang itu yang diinginkan oleh Faira.
Ketika Steve akan mendekatkan jarak mereka nantinya, Faira menyiapkan diri dengan memejam, membuka bibirnya ... dan sesuatu yang kasar menyakitkan mendarat di wajahnya. Membuat bayangan tadi menghilang seketika, tergantikan wajah Adin yang menatap geli padanya.
“Kamu lama-lama beneran gila, Fai. Serius beneran ini!” ucap Adin, tanpa segan terus menghardik. “Steve nggak bakalan lakuin sama yang kayak kamu pikirin saat ini. Nggak bakalan. Gue bakalan kasih jajanku ke kamu besok kalau beneran Steve m***m-m***m menggelikan kek di pikiran kamu itu.”
Raut Faira langsung masam mendengarkan prediksi Adin yang sangat jauh dari ekspektasinya. Ia duduk di pinggir tempat tidur di samping sahabatnya, mengambil tangan Adin untuk ia genggam, sembari menunjukkan raut memohon.
“Plis, Adin. Dengan segala prediksimu yang selalu jadi kenyataan, coba bilang ke aku, Steve bakalan ngapain?” ucap Faira penuh permohonan. Namun, dasarnya Adin, gadis itu sama sekali tidak mengindahkan ucapan Faira sedikit pun. Ia tetap santai menyantap camilannya, sembari mengangkat kedua bahunya tak acuh.
“Aku nggak bisa prediksi si Steve. Cuman, aku udah pastikan kalau dia nggak bakalan ehem-ehem sama kamu. Dia itu belok, Fai. Kalaupun suka, nggak bakalan secepat itu, bahkan walaupun kamu ngalahin bidadari cantiknya. Nggak bakalan mungkin,” jelas Adin sembari terus memasukkan kue-kue berbentuk bulat itu ke mulutnya. “Eh tapi, kalau misal rumor 'belok'nya itu ternyata hoax, dan memang malam ini dia mau ehem-ehem sama kamu, artinya, dia cuman lihat kamu sebagai salah satu boneka pemuasnya aja. Mendingan, kalau saran aku, kalau kemungkinan yang 4% ini terjadi, kamu harus kabur dan minta tolong, Fai. Pukul dia juga nggak masalah. Inget, harga diri tetap nomor satu, walaupun kamu sedikit matre!”
“Jadi, kamu yakin 96%, kalau Steve nggak bakalan ngapa-ngapain?”
“Setelah ngamati Steve, aku 96% yakin. Cuman ya ... dia cowok, dia berbatang. Terlalu bahaya buat kamu yang berlubang.”
Di balik kejeniusan Adin, selalu ... selalu saja ada kalimat yang memicu gerakan otomatis Faira untuk menghentikannya. Kali ini, Faira memilih mendorong kepala Adin ke depan, tidak terlalu keras tentunya karena tidak ingin kehilangan sahabatnya ini. Cukup untuk membuat Adin langsung melirik malas padanya.
“Kamu bisa nggak, sih, kalau ngasih masukan itu, yang baik-baik aja gitu loh? Kamu tuh, nyeleneh mulu ucapannya!” ujar Faira, dengan nada tegas yang dibuat-buat.
“Ye ... aku mendingan gini ceplas-ceplos, daripada situ, sok polos padahal otak kotor!” balas Adin.
Keduanya baru saja bersiap untuk baku hantam di tempat tidur, tetapi ketukan segera mencegah.
*
Malam berikutnya tiba. Kecemasan Faira semakin sulit terbendung, tetapi ia tidak bisa menolak. Seperti penyampaian Darren melalui pesan tadi, bahwa Steve sangat tidak suka ditolak. Jika berani, sama saja Faira memutuskan keluar dari klubnya, dan selesai. Darren tidak bisa bantu apa pun, dan Faira akan kesulitan mencari informasi dari pria itu.
Namun, apa yang akan dilakukan Steve masih tanda tanya. Tidak ada yang bisa menebak, bahkan Darren sekalipun.
Untuk itu, Adin membekali Faira dengan beberapa video pembelaan diri jika Steve berani berbuat macam-macam dengannya.
“Inget, ya, Fai. Ganteng boleh, kaya boleh—tapi keperawanan mesti dipertahankan hingga pernikahan! Jangan murahan, oke?” ucap Adin, sekali lagi memperingatkan. Terlihat sangat jelas, bahwa ia tidak mempercayai isi pikiran Faira sedikit pun.
“Iya ... iya.” Faira menjawab kesal.
Ketika dua suara klakson terdengar di depan rumahnya, Faira segera memperbaiki sweater lengan panjangnya, serta celana kulot panjang yang membalut kakinya. Super tertutup, apalagi di dalamnya, Adin sudah memilihkan beberapa susun pakaian. Sehingga kata Adin, jika Steve mau melakukan sesuatu yang buruk, pria itu pasti sudah kesal duluan dengan jumlah penutup tubuh Faira.
Namun, sebagai gantinya, Faira yang kesulitan bernapas dan bergerak. Ia tetap memaksakan diri berlari-lari kecil keluar dari kamarnya, karena Steve dikenal sebagai pria yang tidak suka menunggu.
Ketika sudah berdiri di teras rumah, Faira mendapati bahwa ayahnya tengah berdiri di samping motor Steve. Perasaan Faira langsung tidak enak. Ia semakin mempercepat larinya, hingga berdiri di samping Rizal.
“Ayah ngapain?” tanya Faira, setengah panik.
“Masuk ke dalam! Nggak boleh keluar malam-malam, apalagi sama cowok! Ayah nggak izinin!” Tanpa mendengarkan lebih lanjut, Rizal memberikan arahan penegasan untuk Faira. Ia memusatkan fokusnya untuk adu tatap dengan Steve yang sudah mengangkat kaca helm-nya, yang kemudian diputus oleh pemuda itu karena harus melirik Faira.
“Ikut, atau tidak pernah gabung sama sekali, Faira?” Steve menambah pilihan Faira, yang membuat gadis itu langsung kebingungan.
Ayah, atau calon masa depannya?
Faira menggenggam lembut punggung tangan ayahnya, untuk dicium bolak-balik sebelum ia disebut sebagai anak durhaka.
“Hari ini aja, Yah. Serius. Aku nggak bakalan kenapa-napa. Ayah nggak usah khawatir. Aku pulang jam sembilan, kok. Serius. Assalamualaikum, Yah.” Faira tidak memberikan kesempatan pada ayahnya untuk menolak. Segera mencium pipi kanan Rizal, lalu segera naik ke motor Steve.
“Faira Sarry ....” Rizal mulai menyebut nama lengkap putrinya, dengan nada ditekan, memberikan peringatan untuk Faira.
Namun, sekali lagi ... Faira tidak bisa memilih ayahnya kali ini. Matanya menyiratkan rasa bersalah kentara, dan penuh permohonan. Ia menguatkan pegangan di pundak Steve, dan motor segera melaju dengan kecepatan yang kelewat tinggi, sehingga Faira merasa ragu pada pegangannya sendiri. Ia merapatkan tubuh pada punggung Steve, memeluk pria itu sekuat mungkin untuk mengurangi ketakutannya. Bahkan, untuk sekadar membuka mata, Faira tidak bisa lagi. Ia bahkan tidak mampu meminta Steve untuk mengurangi kecepatannya.
Hingga, ketika motor mulai mengurangi kecepatannya, Faira baru membuka mata. Mereka sudah sampai di depan rumah tempat perkumpulan klub di bawah pimpinan Steve. Namun, kali ini sangat sepi. Faira ragu, tetapi ia tidak punya pilihan selain turun dari motor, disusul oleh Steve usai pria itu melepaskan helm-nya.
Di saat itu, Faira mendesis kesal dalam hati. Darren atau Steve, tidak ada yang memedulikan keselamatan Faira. Gadis anggun itu terpaksa harus menata rambutnya karena dihancurkan tatanannya oleh angin malam.
Steve berjalan lebih dahulu memasuki rumah, sementara Faira mengekori sembari memutar kembali beberapa memori perlawanan yang diajarkan Adin selama di rumah tadi.
Pukul, tendang, berbohong.
Pukul, tendang, berbohong.
Itu resep yang diajarkan Adin jika Steve—atau pria siapa pun—ingin berbuat macam-macam dengannya. Namun, setelah memasuki rumah Steve, ia disambut oleh suara bantingan kertas di atas meja. Gadis itu segera meremas tali tas selempangnya, lalu meneguk ludah secara kasar. Seketika, apa yang ia pikirkan langsung menguap. Faira berdiri di tempatnya, mematung. Menunggu seolah dirinya akan dieksekusi mati oleh pria itu.
Sementara Steve, dari tempatnya berdiri di dekat kursi samping meja utama, membelakangi Faira, tetapi tetap menoleh walau hanya separuh dari wajahnya yang terlihat. Begitu menakutkan, membuat Faira sangat ingin kabur dari tempat ini, tetapi ... ia tidak bisa. Kakinya membeku, dan ia tidak bisa menghindari pria itu ketika Steve berbalik sepenuhnya pada Faira.
Sialnya, rumah ini terletak di kawasan sepi, dipilih karena bagian jalannya dipakai untuk latihan balapan. Sehingga Faira akan sangat kesulitan lari dari pria yang terlihat seperti predator tersebut.
“Faira Sarry, lo nggak mau jelasin apa tujuan lo masuk ke sini?” tanya Steve, yang walau terdengar seperti pertanyaan umum, tetapi dari bagaimana pria itu mengutarakannya dengan suara dingin, tangan Faira sudah gemetar.
Ia ingin diam, tetapi tatap Steve sama sekali tidak mengizinkan. Pria itu menuntut, dan terlalu menakutkan untuk diabaikan.
“A—aku suka nonton ... balapan. Menurut aku ... kalian keren banget, makanya ... itu ... aku mau gabung, biar ... lebih ... itu ... hm ... bisa ... belajar juga ....” Faira memeras extra otak pas-pasannya demi menemukan jawaban basi itu.
“Tapi kata Darren, lo bahkan nggak tau, dan nggak mau belajar naik motor.” Steve menelengkan sedikit kepalanya, mencari celah kebohongan dari gadis yang berjarak dua setengah meter darinya itu. “Jangan bilang kalau lo cuman nge-fans segala macam, karena lo bisa nonton doang pertandingan tanpa gabung ke sini. Sekarang, jelasin alasan sebenar-benarnya kenapa lo ada di sini, pakai acara manfaatin Darren segala!”
Steve sangat tahu, bahwa Faira memanfaatkan anak buahnya. Berarti, pria itu juga bisa menebak dengan baik jika Faira berbohong atau tidak. Sekarang bagaimana? Faira harus menggigit bibir bawahnya dengan kuat untuk mencari ide-ide dalam memori otaknya, tetapi Faira lalu sadar. Ia terlalu banyak memanfaatkan Adin, hingga tidak pernah melatih otaknya yang kosong ini.
Sekarang, Faira terjebak. Hanya bisa menunduk untuk menghindari tatapan menakutkan dari Steve, sembari jemarinya terus memainkan tali tas selempangnya. Sesekali, Faira menoleh ke belakang, pada pintu yang belum sempat ia tutup. Ia mulai memperkirakan, berapa jauh jarak rumah penduduk dari sini? Ratusan meter, dan tentu Steve bisa mengejarnya dengan mudah hanya dengan berlari. Apalagi jika pria itu naik motor.
Jadi, bagaimana caranya untuk kabur dari situasi menyebalkan ini? Ah, seharusnya Faira mendengarkan saran dari ayahnya tadi! Sekarang, menyesal pun tidak berguna. Namun, ia tetap membuka tas selempangnya untuk mengeluarkan ponsel di sana.
Sayangnya, tangan gemetar Faira tidak bisa mempertahankan ponselnya dengan baik dalam genggaman. Karena Steve dengan mudah merebut benda itu, bahkan tidak sempat membuat Faira menyadari pergerakan Steve yang mendekat padanya.
Sepertinya, tindakan Faira tadi adalah kesalahan fatal. Karena sikap dingin Steve segera berubah menjadi amarah. Mata pria itu terlalu dekat padanya, sehingga Faira hanya bisa mengandalkan kakinya untuk mundur beberapa langkah demi menghindar. Bahkan, paru-parunya tidak bisa bekerja dengan baik sekarang ini. Berulang kali, gadis itu meneguk ludah secara kasar. Tangannya sudah dingin, dan kesulitan untuk membuat kepalan kuat, yang bisa dipakai untuk memukul pria di depannya ini.
Saran dari Adin untuk kabur sudah muncul di kepala Faira. Otaknya minta untuk mempraktekkan saran-saran, itu, tetapi ... sial! Faira bahkan tidak tahu caranya mengendalikan tubuhnya sekarang ini!
Hanya bisa terus mundur, sementara ia merasa bahwa pria di depannya tidak pernah menjauh. Ketika menunduk, Faira tahu bahwa Steve ternyata ikut maju setiap kali ia mundur.
Faira kembali menengadah ketika mendengar suara bantingan pintu di belakang tubuhnya. Ia semakin ketakutan, ketika wajah Steve membelakangi lampu, hingga Faira tidak bisa membaca ekspresi pria itu.
“J—jangan mendekat, Steve. A—aku ... aku bisa pukul kamu, loh!” ucap Faira, dengan suara gemetar. Ia menunjukkan kepalannya yang lemah di depan d**a, sehingga memancing tatap Steve mengarah ke sana.
Namun, pria itu malah mengeluarkan dengkusan geli. Seolah menguji Faira, Steve membawa kedua tangannya untuk bertemu dengan pintu, dan mengurung gadis itu.
Faira langsung memaki. Ini persis seperti apa yang ia pikirkan. Jadi, haruskah dia memejam untuk menyambut pria itu, atau ... memukul leher Steve, lalu menendang selangkangannya?
Faira masih sibuk memilih tindakan apa yang harus ia ambil, ketika pria itu memajukan wajahnya dengan cepat hingga Faira langsung membulatkan mata. Tangannya sontak menyilang di depan d**a, sebagai bentuk perlindungan diri. Steve mendengkus pelan, lalu semakin mendekatkan wajah, hingga Faira harus memejam kuat, dan merapatkan bibir.
“A—aku itu playgirl tau!” Faira berujar otomatis, ketika otaknya hanya memberi satu perlawanan terakhir dari saran Adin; berbohong. Karena ia bahkan tidak memiliki kekuatan, keberanian, dan keahlian lari lebih cepat dari Steve. “A—aku sering berhubungan sama laki-laki lain. Aku penyakitan. Kamu mau aku tularin HIV?”
Setelah mengatakan itu, Faira memberanikan dirinya membuka mata. Pria itu sudah menurunkan kedua tangannya dari samping kepala Faira, sehingga gadis itu setidaknya sudah bisa bernapas dengan baik sekarang.
Sepertinya, ancaman itu berhasil membuat Steve ketakutan. Jadi, Faira melanjutkan ancamannya, sembari menunjukkan tangan-tangannya yang seolah ingin mencakar.
“HIV mudah tertular loh, Steve .... Virus-virus jahat itu sulit dimatikan ... dan membuat penderitanya mati secara perlahan ... membuat penderitanya sangat tersiksa ... sampai-sampai si penderita dijauhi dari semua orang. Bayangkan, Steve ... di akhir hidup kamu yang penuh penderitaan itu, nggak ada satu pun yang ngerawat. Teman-teman kamu bakalan ambil rumah ini, menggantikan kamu, dan ... kamu hanya bisa menderita menunggu malaikat maut datang ... rrawwr ....” Faira menunjukkan gigi-gigi rapinya untuk memberikan ketakutan pada pria di depannya.
Steve tampak sangat ketakutan, tetapi mengetukkan ponsel Faira di kepala gadis itu. Tidak terlalu kuat, tetapi cukup untuk membuat gadis itu mendesis pelan.
“Wah, dongeng yang sangat menakutkan. Sekarang, pulang sendiri!” Steve meraih paksa tangan Faira untuk dihadapkan ke atas telapaknya, kemudian meletakkan ponsel di sana.
Setelah itu, Steve meninggalkan Faira seorang diri. Memilih duduk di salah satu kursi, untuk membuka-buka lembaran kertas di sana.
“Nggak dianterin?” tanya Faira dengan gerakan kakinya yang tidak bisa berhenti karena bingung.
Steve menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat. “Nggak. Lo siapa atur-atur gue?”
Faira mendesis. Keluar dari ruangan itu. Kemudian berhenti di depan pintu. Ia memiliki tiga kandidat untuk menjemput; ayahnya, Adin, atau Anton. Namun, ayahnya jelas akan langsung baku hantam dengan pemuda yang telah menculik putrinya. Adin, terlalu bahaya jika gadis itu datang ke sini. Sementara Anton? Steve akan langsung membenci Faira karena sudah menjadi mata-mata ayahnya.
Sekarang, siapa?
Faira mengecek ponselnya, menemukan notifikasi pesan dari tetangganya. Ah ya! Faira tahu harus merepotkan siapa lagi malam ini.
Akmal.
*