1 - Ambisius yang Tidak Mengenal Sabar
Jarum jam panjang sudah nyaris setengah putaran sebelum tiba kembali ke tempatnya semula, tetapi Faira masih memasang wajah masam dengan pandangannya tidak pernah lepas dari layar ponsel. Ratusan foto yang ia ambil 27 menit lalu, nyaris tidak ada satu pun yang berhasil membuat bibir mungilnya membentuk senyum walau satu senti. Selalu saja, kerut-kerut kesal bermunculan di keningnya yang sudah dilapisi make up tebal. Sementara, perempuan lain yang menemani Faira dalam ruangan 4 × 4 ini tengah mempersiapkan diri.
Siap-siap didamprat oleh sahabatnya sejak dari SD itu.
“Ini seriusan? Satu pun hasilnya nggak ada yang bagus!” Tepat 30 menit sejak pertama kali Faira mengecek foto-fotonya sendiri, ia baru mengeluarkan tanggapan. Posisi duduknya yang semua bersandar malas pada sofa, kini tegak sempurna menghadap sang sahabat, Adina. “Ini, keputihan. Ini, kaku banget. Apaan, pose anak SD pun juga bisa. Ini apaan ... gaunnya malah jatuh kaku gitu. Ini, astaga, rambutnya kenapa nutupin muka, sih? Serius?” Gerutuan Faira baru terhenti ketika ponselnya dilemparkan ke atas meja bulat dari kaca di depannya.
“Ya ... gimana?” Adin, si gadis berambut pendek itu merotasi bola matanya. “Kamu kan masih baru. Masih latihan foto buat nerima endors. Lagian, followers-mu masih 1248 ekor. Sambilin banyak followers, sambilin latihan foto. Biar cepet jadi selebgram-nya.” Usulan Adin terdengar menarik, tetapi malah membuat si lawan bicara mengembuskan napas ke arah poninya.
“Aku nggak bisa sabar, Adin .... Aku mau cepet terkenalnya. Mau cepetan kaya ... jadi artis ....”
“Pamerin tali beha kalau gitu! Gampang!” Disebabkan usulan pertama yang baik nan lurus disepelekan, jadilah opini nyeleneh ini. Adin tampak santai saat mengutarakannya, berbeda dengan pihak sebelah yang langsung membulatkan pandangan. Disusul sebuah kain berwarna army mendarat di wajah Adin.
“Enak aja!” hardik Faira. “Orang yang terkenal karena sensasi, cuman terkenal sambalado doang. Pas panas aja. Kalau udah nggak panas, nggak terkenal lagi. Jadi, mereka bakalan bikin hal-hal panas terus biar tetep pansos. Aku mau terkenal selamanya ... tanpa drama murahan. Yang terkenal karena memilih yang lurus dan baik, bakalan abadi di puncak kejayaan!”
“Ye ... itu situ tau!” balas Adin. Dia lalu berdiri untuk memunguti beberapa gaun dan setelan yang digunakan Faira dalam berfoto tadi. Pakaian-pakaian sewaan ini harus segera dipulangkan, supaya bibi Adin tidak mematok harga tinggi.
Sementara sang sahabat sibuk merapikan kekacauan dari serpihan mimpi mereka, Faira malah bersandar malas setelah mengambil lagi ponselnya. Ia memilih i********:, lalu mengecek following-nya yang semua artis bercentang biru. Menekan 'mengikuti' sampai berubah 'diikuti' lalu menekannya lagi sehingga jadi 'mengikuti'.
Cara cepat menaikkan followers dengan instan!
Tapi, tetap saja lama. Setidaknya, butuh bulanan sebelum dia bisa mendapatkan minimal 10.000 pengikut. Sementara, Faira ingin cepat!
Seandainya dia dari keluarga kaya ....
Gadis itu mengabaikan ponselnya, memandang ke langit-langit ruangan yang bercat abu-abu, dengan senyuman penuh harap.
Indahnya .... Ketika sebuah tayangan dari pikirannya tampak nyata membentuk video seperti bioskop di dinding.
Seandainya dari keluarga kaya ....
Faira menggeleng kasar. Mungkin dia memang tidak terlahir kaya, tetapi dia bertekad memulai keluarga kayanya dari diri sendiri. Kedua orang tua yang masing-masing bekerja sebagai buruh tani, dan pekerja pabrik, sama sekali tidak akan membantu impian Faira segera terwujud.
Maka, inilah jalan yang ia pilih.
Tabungan dari SMA ia belikan sebuah smartphone dengan kualitas kamera terbaik. Mengikuti zaman, Faira ingin mendapatkan penghasilan juga dari benda pipih ini. Namun, sungguh. Jiwa muda gadis berusia 20 tahunan itu sangat tidak sabaran.
Khayalan Faira terpaksa terhenti ketika suara ketukan pintu terdengar tiga kali secara teratur. Ia segera turun dari sofa, dan bergerak cepat ke arah pintu. Tidak, bukan untuk memeriksa tamu. Hanya untuk membekap mulut Adin yang akan membukakan pintu.
“Sst! Jangan bukain! Aku males kalau ada tamu. Biarin mereka ngira nggak ada orang di rumah!” bisik Faira setelah menjauh 10 meter dari pintu.
Namun, jumlah ketukan semakin bertambah. Faira tetap mempertahankan bekapannya, sampai suara entakan sepatu terdengar menjauh. Mulut Adin dilepaskannya, lalu duduk di atas sofa.
“Ih, nggak sopan banget sama tamu!” ujar Adin, lalu lanjut membereskan semua kain-kain berwarna yang menjadi background acara pemotretan abal-abal ini.
“Males beberes, Adin. Seriusan. Lagian, paling perlunya sama Ayah-Ibu, bukan sama aku,” balas Faira. Ia kembali memeriksa layar ponselnya, disusul embusan napas panjang.
Kok susah, ya?
*
Makan malam ini berlangsung hambar untuk Faira. Kegalauannya akibat kegagalan kegiatan pemotretan tadi menjadi salah satu penyebabnya. Sehingga, separuh waktu makan malam, ia habiskan hanya untuk menghancurkan sayuran di piringnya.
Dari SMP, Faira sangat terobsesi dengan para artis dan selebriti. Maka dari itu, ia mulai kegiatan menjaga pola makannya sejak dini. Agar saat remaja, dia tidak terlalu banyak memiliki masalah kulit. Tidak perlu menjadi orang kaya untuk memenuhi pola makan sehatnya. Karena nyaris di sekitaran Faira, ada banyak sayuran dan buah gratis—tinggal minta ke tetangga.
“Tadi di rumah, ada yang nyariin Ayah, nggak, Fai?” tanya Rizal, ayah Faira, yang memecah keheningan acara makan malam.
Faira yang semula tertunduk lesu, seketika menengadah. Teringat pada tamu tadi sore, yang ia sengaja tidak bukakan pintu.
“Ada, Yah. Tapi, belum sempet aku bukain, eh udah pergi tamunya.” Karena terlalu payah berbohong pada kedua orang tuanya, maka Faira hanya bisa memelesetkan jawaban.
“Yah ... sayang banget kalau gitu,” balas Rizal. “Dia mau ngeliat kamu, Fai. Ayah tadi banyak kerjaan di sawah, jadi nggak bisa ketemu langsung.”
“Emang siapa, Yah?” Hanya sekadar basi-basi, Faira bertanya. Dia sepenuhnya tidak tertarik pada kenalan ayahnya yang sudah berumur.
“Temen lama, waktu SMP. Percaya nggak, kamu sama Ibu, kalau kamu udah Ayah jodohin sejak Ayah masih SMP?”
“Loh?” Faira menaikkan intonasi suaranya. Ketika menoleh pada sang ibu yang duduk berseberangan dengannya, Maya—ibu Faira—juga menunjukkan ekspresi terkejut. “Kok main jodoh-jodohin, sih, Yah? Aku ini masih muda. Mimpi aku masih panjang. Nikah muda? Nggak, deh! Apalagi, dijodohin sejak Ayah SMP? Aku bahkan belum jadi benih, Yah!”
Bukannya tersinggung, Rizal malah terkekeh ringan atas respons anak tunggalnya. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil gelas. Sebelum menjawab, ia meminum air beberapa tegukan. Tepat setelah gelas kembali ke tempatnya, Rizal menatap sang istri dan anaknya secara bergantian.
“Iya, kok. Ayah nggak maksain. Tapi, ya ... sayang aja sih. Soalnya, kebetulan banget, dia ternyata punya anak tunggal juga, cowok. Udah 25 tahun. Kebetulan aja gitu, jadi Ayah kepikiran buat ketemuin kamu sama beliau, dan anaknya.”
“Nggak ada! Nggak ada!” balas Faira cepat. Ia menyendok makanan, dan segera memasukkan ke mulut untuk ia kunyah empat kali, lalu menelannya. Lanjut sendokan selanjutnya. Faira hanya ingin segera meninggalkan meja makan dengan cepat.
“Iya deh, nanti Ayah bilangin ke Anton Pramono, kalau anakku nggak bisa melahirkan penerus Monovers Group.”
Eh?
Faira segera mendongak lagi. “AYAH SERIUSAN TEMENAN SAMA ANTON PRAMONO?” Bahkan, keterkejutan berhasil membutakan gadis itu dari segala sopan santun. “Kalau jadi mantunya mah, gasskeun!”
Andai-andai yang Faira pikirkan tadi sore, bisa jadi kenyataan!
Rizal tersenyum.
*