Faira menatap intens pada buku saku berukuran lima senti persegi yang ada di tangannya. Buku ini dibuat khusus oleh Adin, sebagai bentuk dukungannya atas usaha Faira untuk mendapatkan Steve. Di dalam buku sudah terdapat beberapa kiat, rumus, tips, tutorial, dan larangan yang harus Faira aplikasikan dalam hidupnya selama berada di dekat Steve. Menurut perkiraan si manusia cerdas itu, Faira bisa mendapatkan perhatian Steve hanya kurang dari dua pekan.
“Kamu yakin ini berhasil? Aku harus ... cuek? Jual mahal? Yang ada, aku malah makin jauh dari Steve, Din,” ucap Faira usai membaca beberapa larangan yang ditulis oleh Adin.
“Yakin 1000%. Aku walau nggak pernah pacaran gini, aku tahu banget gimana caranya naklukkin cowok, soalnya aku suka ngamati beberapa hal, dan mempelajari beginian. Pokoknya, kamu bisa potong rambutku kayak cowok, kalau beneran gagal!”
“Eh, serius kamu?” Mendengar taruhan Adin, Faira langsung bersemangat.
“Serius. Tapi ... dengan catatan! Kamu harus ngikutin isi buku itu 100%, jangan dinego, jangan dikurang-kurangin, jangan dilebih-lebihin. Itu aku kumpulin isinya sejak aku nge-gebet ketua OSIS kita dulu pas SMA.”
“Tapi kamu nggak bisa dapetin si ketos, tuh!” Faira menghardik. Antusiasnya sontak menurun mendengar penjelasan Adin tadi. Sahabatnya ini selalu gagal memulai hubungan, bagaimana mungkin bisa membuat rumus untuk mendapatkan cinta dari seorang Tyler Steve Pramono! Halu!
“Ya karena aku jual resepnya itu sama si Nila. Kamu lihat sendiri, gimana si Nila berhasil bikin si ketos klepek-klepek, padahal, dulunya nggak ada yang mau deket sama tuh cewek udik!”
“Anjir! Kamu jual cinta pertama kamu?”
Adin tanpa merasa bersalah mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Dulunya rada nyesel, cuman kalau dipikir-pikir sekarang, kalau aku ngejar cinta monyet dulu, aku bakalan susah fokus buat belajar. Aku dimarahin Mama. Sementara, sayang aja gitu sama pengamatan aku kalau dibuang gitu aja. Jadi, mumpung si Nila ini mau beli mahal, ya udah. Untung dua kali aku; cepat move on sehingga bisa fokus belajar, plus bisa kebeli HP. Lagian, kalau aku nerusin ngejar, aku nggak suka. Aku nggak nyaman sama diri aku yang aku buat-buat. Aku harus ini-itu secara terpaksa. Bukan aku banget. Jadi, ya ... begitu.”
“Anjir. Pemikiran kamu emang yang paling beda, Din!” Faira tertawa takjub atas penjelasan Adin.
“Aku kasih itu ke kamu, karena tahu, kamu pasti bakalan lakuin segala macam cara buat dapatkan hati si Steve. Jadi ya ... silakan jadi karakter lain di diri kamu demi uang dan cowok. Cuman, pastinya ada efek samping. Kamu bakalan susah nyaman di awal,” lanjut Adin, yang mengirimkan sinyal serius untuk Faira.
“Oke, deh. Nanti aku pelajarin.” Faira memasukkan buku itu ke dalam saku kemejanya. Hampir bersamaan, sebuah motor merah juga telah terparkir di depan rumah. Faira melambaikan tangannya pada Adin yang masih menunggu depan teras seorang diri.
Faira naik dengan mudah ke atas motor Darren. Kali ini, mengenakan celana pendek setengah paha, serta kemeja kotak-kotak warna cokelat lengan panjang. Rambutnya digelung asal, agar terlihat tidak peduli pada penampilan. Yang dengan itu, Faira akan dinilai sebagai gadis cantik alami, yang tidak pernah mau ribet dengan segala keperluan perempuan pada umumnya.
Itu semua saran dari Adin. Sahabatnya itu terus menekankan suatu karakter tidak acuh, dingin, menyendiri; untuk diri Faira. Karena Adin melihat bagaimana angkuh dan dinginnya Steve, Faira juga harus bisa mengimbangi karakter pria itu.
Setibanya di base camp, Faira langsung turun dari motor Darren. Dagunya sedikit diangkat ketika ia menilik sekitar, untuk menunjukkan sisi angkuh yang tidak tersentuh.
“Lo kenapa kelihatan beda hari ini?” tanya Darren, usai menyusul Faira berdiri di teras rumah minimalis persegi. “Rada beda sama yang kemarin.”
“Perasaan kamu aja,” jawab Faira tidak acuh. Ia menatap Darren untuk memberinya isyarat masuk lebih dulu, sehingga Faira bisa mengekor di belakang tubuhnya. Gadis itu memejam kuat, ketika perasaan memberontak muncul dalam dirinya. Tadi itu, balasannya terdengar sangat tidak sopan! Namun, Faira tidak bisa memutar waktu. Ia harus tetap melanjutkan perannya. Segera, ekspresi Faira kembali diubah ke mode dingin.
Seperti saran dari Adin, Faira memilih duduk di sebuah kursi besi yang menyendiri. Bersandar pada dinding, sembari memperhatikan enam manusia di sini. Ada dua perempuan di sini, termasuk Faira. Perempuan berpakaian serba hitam itu duduk di seberang Steve, dengan dirangkul oleh pria lain. Kemungkinan pacarnya, tetapi mata perempuan itu hampir tidak pernah lepas dari tubuh Steve. Sementara yang ditatap, malah tidak peduli. Sibuk bermain game online di ponselnya.
“Lo udah persiapan, Dar? Gue nggak suka anak buah gue ada yang kalah,” ucap Steve, masih di sela-sela kegiatan bermainnya.
Faira takjub untuk satu hal ini. Jika orang-orang akan berteriak selama bermain game online, memaki, menyebut semua jenis binatang—Steve tidak seperti itu. Bahkan, pria itu memasang wajah datar ketika matanya terus fokus pada layar ponsel. Jemari pria itu begitu lincah bergerak di atas layar.
“Udah. Gue jamin nggak bakalan kalah,” ucap Darren penuh keyakinan. Namun, ketika matanya bersinggungan dengan Faira, pria itu terlihat jelas sangat khawatir.
Lupakan sejenak karakter dingin yang berusaha ia bangun, Faira tersenyum sebentar pada Darren, dengan mata memejam, seolah meyakinkannya untuk tetap tenang.
Darren menghela napas panjang. Ia tampak sedikit lebih tenang sekarang.
“Ini bocah ... ngapain ke sini lagi?”
Pertanyaan dari Steve langsung membuat semua orang kembali fokus padanya. Pria itu entah berbicara dengan siapa, karena tatapnya hanya tertuju pada layar ponsel. Kemudian, ketika melirik Faira tepat pada bola mata gadis itu, semuanya kini beralih pada Faira yang menunjukkan gelagat gugup. Ia menghindari tatapan semua orang dengan menunduk, memilin ujung kemejanya.
Persetan dengan karakter percaya diri yang Adin ingin Faira tampilkan. Faira seperti sedang dilahap hidup-hidup sekarang.
“Dia jadi penyorak gue nanti, Steve. Nggak masalah, ’kan?” Darren segera menjawab, untuk mengendalikan suasana.
“Kalau dia mata-mata lawan?” Steve menyanggah dengan nada tegas.
“Dia polos kayak gini, mana tau jadi mata-mata, Steve.”
“Mata-mata bukan mata-mata namanya kalau dia nunjukkin dirinya secara jelas lagi ngamati kita. Gue nggak mau tau! Nih cewek satu, atau siapa pun, yang nggak ada urusannya di sini, usir! Beban! Nambah-nambahin ongkos buat beliin dia kursi, gelas baru, piring baru, dan nambah kerepotan baru.”
“Lo tenang aja. Biar apa pun yang Faira perluin, nanti gue yang beliin. Lo nggak perlu keluar modal apa pun,” ucap Darren. Ia memberi isyarat agar Faira segera membuat pernyataan diri, agar bisa meyakinkan Darren.
Namun, gadis itu kelu untuk angkat suara. Tatap sekilas Steve tadi, sudah berhasil melumpuhkan syaraf Faira hingga tidak tahu harus memberikan respon apa.
“A—aku beneran bukan mata-mata siapa pun.” Faira berusaha memberikan bantahan. Namun, segera ia menggigit ujung lidahnya ketika mengetahui bahwa dirinya baru saja berbohong. Di sini, Faira berniat untuk memberikan lebih banyak informasi pada Anton.
“Gue nggak bisa percaya. Besok, gue nggak mau tau. Bawa data-data dia ke gue!” Steve memberikan titah mutlak, ditandai dengan dimatikannya ponsel yang ada di tangan, menunjukkan keseriusan pria itu. “Malam ini terlalu penting buat Darren, dan gue nggak mau ada orang asing yang ngerusak klub gue. Jadi, nih cewek ....” Steve menggantung ucapannya sebentar, sembari menatap intens pada Faira. “Ikut gue.”
Faira langsung meneguk ludahnya secara kasar.
*