11 - Bolos bersama Calon Mertua

1522 Words
Malam ini, Faira baru saja merasakan satu kelegaan: lolos dari ancaman menegangkan Steve, tetapi segera setelah ia turun dari motor Akmal, gadis itu mendapat masalah baru. Kedatangan sang ayah dengan gestur berkacak pinggang, seolah bersiap memberikan petuah panjang-lebar. "Mal!" Faira menyentuh pundak Akmal sebelum si tetangga sempat menjalankan motor. "Iyain semua apa yang aku bilang, oke?" "Apa?" Akmal yang diseret-seret secara paksa malam ini terlihat jelas kebingungannya, tetapi segera ia menunjukkan senyum hangat ketika melihat keberadaan Rizal. "Selamat malam, Om." Bahkan, demi sebuah kesopanan, Akmal turun dari motornya untuk berdiri di samping Faira. "Kok Faira pulang sama kamu, Akmal?" tanya Rizal. Tatap lembutnya mengarah sebentar pada tetangganya itu, lalu beralih tajam ketika melirik putri tunggalnya. "Steve itu temenan sama Akmal, Yah, jadi Steve minta tolong ke Akmal buat antar aku pulang," ucap Faira lirih. "Ayah nggak tanya kamu, Fai." Rizal menolak mentah-mentah jawaban putrinya, lalu berpindah pada Akmal yang disenggol pelan oleh Faira. "Iya, Om," kata Akmal. Rizal mengangkat sebelah alisnya, tampak bingung kentara. "Apanya yang iya?" "Iya ... saya temenan sama seven itu." Akmal menunjukkan senyumnya yang begitu meyakinkan, tetapi Rizal tampak merotasi bola mata, dan Faira hanya bisa meringis. "Kamu jangan ajarin anak sebaik Akmal buat bohong, Faira. Sana, masuk!" pinta Rizal, tanpa bisa diganggu-gugat lagi. Faira tampak masam, sedikit bercampur khawatir mengenai alasan apa yang bisa ia gunakan untuk menjawab semua interogasi sang ayah sebentar lagi. "Terima kasih, Nak Akmal, sudah jemput Faira. Maaf merepotkan, ya," kata Rizal segan. "Om sama kayak siapa aja. Saya juga udah terbiasa direpotin Faira kok, jadi nggak papa." Mendengar jawaban Akmal, Faira yang akan menaiki teras seketika menoleh. Tatapnya penasaran pada si penolong tadi, lalu perlahan keningnya memunculkan kerutan tidak suka, ketika Faira merasa bahwa pemuda itu sepertinya memang sengaja salah menyebut nama 'Steve' untuk membuat Faira dalam kondisi terjebak seperti ini. Masuk rumah, Faira berniat langsung ke kamarnya, tetapi Maya sudah datang menghadang. Gadis itu memasang wajah memelas, tetapi ibunya sama sekali tidak terpengaruh. "Bicara dulu sama Ayah, baru Ibu izinin kamu masuk." Ketidakberuntungan sedang berpihak pada Faira, karena di rumah ini tidak ada lagi satu pun yang bisa membantunya lepas dari ancaman kemarahan sang ayah. Melihat bagaimana kukuhnya sang ibu mendukung Rizal, Faira merasa percuma saja memikirkan perlawanan sekarang ini. Gadis itu akhirnya memilih duduk di sofa, setelah menjatuhkan tasnya atas meja. Rizal datang tidak lama kemudian, duduk penuh wibawa tepat di hadapan putrinya yang tidak berani menatap balik. Selama beberapa saat, mereka hanya saling diam, hingga embusan napas panjang dari Rizal mengawali obrolan pria senja itu. "Kenapa Ayah sekarang menyesal cerita masalah perjodohan itu, ya, Fai?" tanya Rizal, seolah bermonolog. "Ayah tadi udah bicara sama Anton, perjodohan kalian akan dibatalkan. Setelah tahu bagaimana karakter Steve, Ayah nggak bisa berhenti cemas, Fai. Apalagi kamu ... kamu mulai melawan Ayah demi ikut sama Steve. Dia jelas bukan calon suami yang baik buat kamu." "Jangan langsung dibatalin, Yah." Faira memelas. Ia sudah lumayan berjuang, dan rasanya sayang pada apa yang terjadi malam ini jika Rizal langsung memutus harapan Faira begitu saja. "Aku udah sepakat sama Om Anton buat bantu ubah Steve jadi lebih baik." "Memang kamu Tuhan yang bisa ubah sifat orang begitu saja?" balas Rizal telak. "Ini baru ... berapa hari sejak Ayah kenalin kamu sama keluarga Anton? Tapi kamu sudah banyak membantah ucapan Ayah. Jangan-jangan, bukan Steve yang bakalan berubah jadi lebih baik, malah kamu yang berubah jadi semakin buruk, Fai!" "Ayah ... nggak lah. Aku bisa kendaliin diri sendiri." "Serius? Tapi kenapa kamu tiba-tiba berubah pembangkang sekarang ini?" "Aku melawan juga karena aku nggak mau usaha aku kemarin sia-sia, Yah. Ayah nggak tau gimana susahnya aku buat deket sama Steve, terus Ayah seenaknya bilang batalin perjodohan. Jelas aku kesel lah. Ini kayak aku udah belajar sampe tengah malam, terus besoknya malah nggak jadi ujian. Bikin capek, Yah." "Biarin sia-sia. Asal kamu nggak jadi terjerumus ke kehidupan liar kayak Steve. Ayah besok mau ketemu sama Anton buat bahas ini." "Yah ...." Faira kian memelas ketika Rizal mulai meninggalkan sofa. "Masuk kamar, tidur!" pinta Rizal terakhir kali sebelum berlalu dari ruang tamu. Faira tidak bisa menyanggah ayahnya lagi. Terpaksa memasuki kamar, lalu membanting tubuhnya ke kasur. Dalam posisi telentang, gadis itu mulai memikirkan cara agar perjodohan ini tidak batal. Karena dengan pernikahan ini ... hidupnya akan terjamin. Tetapi, bagaimana? Faira menyipitkan mata, saat mulai menyambung-nyambungkan rencana apa saja yang bisa ia coba, hingga gadis itu menarik sebuah kesimpulan. Anton ... masih bisa dibujuk. Faira tersenyum. * Ponsel Faira hampir tidak pernah diam sejak dua puluh menit lalu, tetapi si pemilik tampak tidak peduli. Bahkan ketika ia merasa sudah muak dengan panggilan dari sahabat baiknya, Faira malah membuat ponselnya dalam mode senyap. Jemarinya mengetuk meja yang di atasnya sudah terisi segelas minuman—tampak menunggu. Sesekali melirik jam di pergelangan tangan, kemudian menyesap minumannya. Ini sudah terbilang lama dari waktu perjanjiannya bersama Anton, tetapi calon mertua Faira itu belum juga menunjukkan diri. Gadis itu hanya tidak ingin usahanya untuk bolos kuliah hari ini menjadi sia-sia karena ketidakhadiran pria itu. Terpaksa Faira melakukan ini, karena takut jika Rizal yang lebih dulu menemui Anton. Ia harus meyakinkan calon mertuanya lebih dulu, baru membiarkan ayahnya bertemu dengan Anton. Namun, hingga hampir setengah jam berlalu, pria yang ditunggu belum muncul juga. Minuman Faira bahkan tersisa setengah. Ia mulai khawatir, takut semua ini sia-sia. Beruntungnya, ketakutan Faira tidak sempat terjadi ketika melihat kedatangan Anton. Gadis itu segera berdiri dari kursinya, untuk menyambut kedatangan pria tersebut dengan tangan terulur untuk bersalaman. "Maaf terlambat. Kamu sudah lama nunggunya, Faira?" tanya Anton, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Faira. "Nggak juga kok, Om." Faira tersenyum selembut mungkin, agar pria di depannya itu tetap merasa nyaman. "Kamu mau makan sesuatu? Sudah sarapan?" Anton bertanya lebih lanjut, tanpa menunggu jawaban Faira lebih dulu, ia sudah memanggil pelayan restoran untuk datang. "Kamu mau pesan apa?" "Nggak usah, Om. Tadi udah sarapan di rumah, kok." "Beneran?" Faira mengangguk mantap, sehingga Anton hanya memesan kopi ketika pelayan tadi datang. "Jadi, kamu mau ajak saya ketemu ini ... untuk membahas mengenai keputusan ayah kamu kemarin, atau mau berikan informasi mengenai Tyler?" "Dua-duanya, Om." "Oke ... akan saya dengarkan." Faira terlebih dahulu menceritakan mengenai kebiasaan balapan Tyler, tanpa membahas mengenai apa yang calon suaminya itu lakukan kemarin malam. Ia didengarkan dengan saksama oleh Anton, sembari pria itu menyesap kopi yang telah diantar oleh pelayan. "Saya yakin banget, Om, Tyler ini masih bisa berubah kok. Dia baik ... banget sama saya, walaupun ya gitu. Tapi beneran sumpah deh, Om, Tyler bisa aku ubah. Kemarin Tyler udah mulai nerima kehadiran aku," kata Faira setelah menutup penjelasannya. "Bagus kalau menurut kamu Tyler masih punya peluang buat jadi orang baik," kata Anton mengambil kesimpulan. "Nah, masalahnya, Om, Ayah ini tegas banget mau halangi aku ketemu sama Tyler, Om. Padahal, aku butuh waktu buat ubah Tyler jadi lebih baik. Kemarin-kemarin kita udah dekat, tapi ... Ayah malah batasin. Takutnya, perjuangan aku kemarin-kemarin malah berakhir sia-sia." "Tapi, yang Ayah kamu katakan memang benar. Ayah kamu sudah jelaskan alasannya, dan saya maklumi. Saya pastinya juga mengkhawatirkan anak saya bergabung dengan lingkungan buruk, dan Ayah kamu sudah sewajarnya melarang kamu dekat dengan Tyler." "Nggak bakalan, Om, serius deh. Aku bisa jaga diri sendiri. Percaya sama Faira. Kalau misal suatu hari nanti aku beneran mulai berubah, Om sama Ayah bisa pisahin aku sama Tyler secara paksa. Beneran deh." Faira memohon dengan tatap memelas, memicu senyum tipis Anton terbit. "Oke. Tapi, gimana sama ayah kamu?" "Om nanti bilang aja kalau Om bakalan pisahin aku sama Tyler. Kalau Om sendiri yang bilang, pasti Ayah percaya. Nanti aku bisa urusin Tyler diem-diem." "Masalahnya, saya hampir nggak pernah bisa bohong sama Rizal, Faira." "Ah, sekali aja, Om. Ini kan demi Tyler juga. Nggak lama, kok, serius." Lawan bicara Faira tampak mengembuskan napas gusar, lalu mengangguk pelan. "Oke." Anton menyetujui dengan berat hati. "Saya ternyata lebih tidak bisa menolak permintaan kamu daripada berbohong ke Rizal." Senyuman Faira merekah sempurna. Pikiran Faira seketika membayangkan bagaimana kisah romansanya nanti bersama Steve. Ia sepertinya akan memperbanyak buku mengenai bad boy, agar tahu bagaimana cara gadis polos di n****+-n****+ meluluhkan seseorang seperti Tyler. Untuk saat ini, Faira tampak begitu optimis, hingga senyumnya hampir tidak pernah pudar. "Kamu ... bolos kuliah, Faira?" tanya Anton tiba-tiba, yang segera membuat gadis itu langsung menghilangkan senyum. "I—iya, Om, soalnya itu ... takutnya Om ketemu duluan sama Ayah, dan langsung setuju gitu aja kalau aku menjauh dari Tyler," jawab Faira dengan nada lesu, agar pria ini kasihan sehingga tidak mengatakan hal ini pada Rizal. "Kebetulan, saya juga sepertinya sudah terlambat ikut meeting hari ini," kata Anton ketika melihat jam di pergelangan tangannya. Mendengar itu, mata Faira langsung membulat sempurna dengan raut bersalah tercetak jelas di wajahnya. "Astaga, maaf, Om. Maaf. Ah, aku lupa Om pasti sibuk banget. Maafin aku, Om," kata Faira penuh penyesalan. "Nggak papa," jawab Anton ringan. "Lagian, ada yang gantiin kok. Nggak usah khawatir." Dengan berat, Faira mengangguki ucapan pria itu meski ia masih belum bisa memudarkan penyesalannya. "Jadi, karena kita sama-sama bolos ... bagaimana kalau lanjut saja bolosnya? Mau ke mall, Faira?" Tawaran Anton membuat gadis itu mengerjap perlahan. Lalu, senyumnya mulai muncul, ketika kepalanya perlahan mengangguk mengiyakan permintaan calon mertuanya itu. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD