Bakti Seorang Anak

1092 Words
Siang hari di tengah musim kemarau. Terik matahari seolah membuat fatamorgana semu di aspal jalan. Pedagang kaki lima keliling tak surut memotivasi diri untuk berjualan melewati tiap-tiap perumahan komplek. Mendengar bunyi khas pedagang siomay yang biasa lewat membuat Ita bergegas. Ia buru-buru membuka pintu. Diikuti si kembar Zera dan Zeno yang justru kesenangan melihat Ita berlari. "Om beliii!" pekik Ita. "Om beyiiiikk!" diikuti Zera dan Zeno kompak. Bagai pinang dibelah dua. Kelakuan ibu dan dua anak itu sontak menyita pejalan kaki yang lewat. "Kompak amat Bu," sahut Abang somay. "Hehe, namanya juga anaknya bang." "Somaynya mau campur atau gimana Bu?" "Beli sepuluh ribu campur ya Bang, tapi nggak usah pakai tahu sama telor," sahut Ita. "Mamaa, Zela mau adek baco yang telol aja," pekik Zera. "Zeno uga Maa." Karena suatu insiden membuat ragam kata tentang somay berubah jadi adek bakso. Jika diingat Zera dan Zeno sendiri yang menciptakan istilah itu. Waktu itu untuk pertama kali Zera dan Zeno ikut festival di dekat perumahan. Ada beberapa lomba yang ditawarkan untuk kategori batita. Zera dan Zeno berpartisipasi lomba senam sehat dan memenangkan hadiah. Di akhir acara semua peserta lomba diberi somay gratis. Mereka memandang heran dua pentol somay itu sebelum masuk ke mulut. Ita mendengar celotehan menggemaskan mereka yang bilang bahwa bentuknya kayak bakso tapi rasanya beda. Akhirnya mereka memutuskan menamai adek bakso pada makanan yang baru pertama kali mereka rasakan. "Dua lagi ya bang. Lima ribu yang telur aja nggak pakai bumbu," lanjut Ita. "Zela pakai umbu Maa." "Huhah sayang. Nanti sakit perut." "Hih! Pake umbu!" ucap kesal Zera. Kakinya dihentak-hentakan. "Anti huhah lho," sahut Zeno menenangi. "Bialin!" "Kalo huhah anti pupu-na encet lho." "Iya. Zera kan nggak bisa makan pedes. Nanti kalau udah mencret Zera di bawa ke rumah sakit terus ketemu sama Dokter Ningsih dan disuntik, mau?" jelas Ita, mengingat dulu ia langsung mencret seusai mengonsumsi somay gratis dari festival. Walau terus manyun tapi akhirnya Zera menyetujui. Penting bagi Ibu memberi tahu resiko dari segala tindakan anak. Salah satunya seperti ini. Jika makan pedas maka Zera akan mencret. Resikonya ketika mencret ia akan dibawa ke dokter. Cara ini melatih anak supaya bisa mengambil keputusan dengan baik. "Ita?" Suara familiar wanita memenuhi indra pendengaran. Ita menoleh dan mendapati Ria dan Haris, orangtuanya. Raut ceria Ita mengendur digantikan suasana suram. Harus diakui bahwa kedua orangtuanya lah yang membawa keadaan ini pada Ita tanpa boleh menolak. Menumbuhkan keykinan baru bahwa mereka hanyalah orangtua buruk yang menumbalkan anaknya. Ita buru-buru menyelesaikan urusan per-somay-an. Membawa orangtuanya masuk ke rumah. "Sayang... kalian mau nonton film Doraemon?" tanya Ita pada kedua anaknya yang tengah melahap somay. "Mauu," jawab kompak keduanya. "Oke, sekarang ikut Mama yuk." Mereka mengekor ketika Ita membawa keduanya ke kamar. Makan dan nonton TV dalam kamar jarang Ita ajarkan mengingat kebiasaan yang akan muncul setelahnya. Hal itu akan memunculkan kebiasaan dimana anak akan nyaman hanya di dalam kamar sehingga interaksi dunia luar berkurang. Namun, untuk kali ini. Ita ingin mereka tetap di kamar. Karena setiap kali orangtuanya datang. Ita kerap kali lepas kendali. Mengeluh dan melampiaskan segala tangis. Menjadi seorang Ibu mengajarkan Ita bahwa ia tidak boleh lemah di depan anak-anaknya yang masih kecil. Ita ingin orangtuanya sadar. Bahwa di sini anak mereka tengah menanggung beban sebab keegoisan yang mereka ciptakan. "Nak.... gimana keadaan mu?" tanya Ria lembut. "Apa Raga bicara sesuatu?" selidik Ita. Penasaran apakah orang itu sudah membeberkan segala yang didengarnya kemarin. "Jangan panggil suami mu dengan nama saja! Apa kami nggak mengajarkan mu cara menghargai?!" ucap ketus Haris. Dari dulu Papanya memang punya watak tegas dan berprinsip. "Pa...!" tegur Ria. "Nak, suami mu bilang kamu hamil. Makanya kami buru-buru ke sini. Waktu hamil si kembar kamu kan mabuk sampai perlu diinfus. Makanya Mama sama Papa--" "Aku baik-baik aja kok Ma. Mungkin waktu itu karena hamil anak pertama. Sekarang kalian nggak perlu khawatir lagi. Aku bisa ngurus diri ku sendiri." "Setelah lima tahun, apa kamu masih marah?" tanya Haris. "Papa selalu mengajarkan ku untuk jujur bukan? Iya! Aku masih marah! Tapi sebagai anak apa aku tega mengabaikan orangtua yang sudah membesarkan ku? Walaupun kesannya kalian hanya membesarkan ayam untuk dijual saat sudah besar. Tapi aku nggak setega itu!" "Aku pun sudah jadi orangtua. Tapi akan ku pastikan anak-anak ku nggak mengalami hal yang aku alami." "Maaf, sebagai orangtua kami sudah gagal. Maaf Nak...." sahut Ria, suaranya bergetar. Sungguh sesal terpatri jelas di kedua manik mereka. "Udahlah Ma. Mau disesali juga semuanya udah lewat. Beri aku waktu untuk terima keadaan ini. Anggap aja saat ini aku masih merajuk dan suatu saat bakal sembuh kayak biasanya." "Aku janji nggak akan menelantarkan kalian. Aku janji bakal temani di hari tua kalian. Karena bagaimana pun...." ucapan Ita terjeda. Bulir bening mulai berjatuhan, "karena bagaimana pun kalian orangtua ku." Ria sontak memeluk putrinya. Ikut terisak merasakan garis takdir yang sebegitu menguras rasa dan asa. ^^^^^^ Ita sedang memilah baju bepergian sebelum Zera berteriak memanggil. "Mamaaa! Maaa, Mamaa!" "Kenapa sayang? Kok teriak-teriak." "Ada Uti Ina," tunjuk Zera ke pintu. Kening Ita berkerut. Memastikan jarum jam di dinding mengarah pukul sembilan pagi. Masih ada satu jam lagi untuk menunaikan janji. Semalam Ita sudah minta tolong Bu Ina untuk menjaga Zera dan Zeno selagi Ita kontrol ke dokter kandungan. "Kenapa ya?" gumam Ita. Ia meninggalkan kamar untuk menemukan jawaban pasti. Di ruang tengah terlihat Bu Ina bersama Zeno sedang memainkan mobil-mobilan. Kehadiran Ita membuat Bu Ina berdiri. "Bu, masih jam 9 lho. Gasik banget," ucap Ita langsung ke inti. "Gini Mbak... aduh nggak enak saya udah janji malah kayak gini...." ucap Bu Ina sambil menggaruk tengkuk belakang. Sudah Ita duga pasti ada sesuatu. Seorang Bu Ina selalu datang tepat waktu. Begitupun setiap hari ia selalu datang pagi menunaikan tugas memasak. "Gimana Bu?" tanya Ita. "Gini Mbak, anak saya tadi malem pulang. Memang dari kemarin ngeluh sakit di kosan. Nah, tadi malem tiba-tiba dateng badannya panas. Saya mau ninggalin tapi si bapak juga lagi nggak enak badan. Kayaknya saya nggak bisa jagain si kembar hari ini Mbak." "Oh ya udah Bu. Nggak apa-apa. Biar mereka ikut aku aja." "Kalau diizinin, si kembar saya bawa ke rumah aja Mbak. Gimana?" tawar Bu Ina. "Nggak usah Bu. Nanti malah Ibu repot." "Tapi nanti Mbak Ita repot jagain mereka sendiri." "Nggak apa-apa Bu. Udah biasa kok." "Jadi nggak enak sama Mbaknya." "Hehe. Nggak apa-apa Bu beneran. Namanya sakit nggak ada yang bisa prediksi kapan datengnya." "Iya Mbak... ya udah Mbak. Saya minta maaf banget ya Mbak." "Iya Bu. Nggak apa-apa." Kemudian Bu Ina pamit pulang. Ita menatap dua bocah cilik yang sedang asik dengan mainannya. Helaan nafas terdengar berat. Sepertinya ia akan kerepotan hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD