Malaikat Tak Bersayap
Tina memandang datar pada sosok di depannya. Rambut lepek, kulit tidak terawat dan kantung mata tebal itu rupanya cukup membuatnya menghela napas berkali-kali.
Sejak kapan sahabatnya ini tidak pandai mengurus diri? Seingatnya saat SMA dulu ia paling rajin mengajaknya pergi perawatan.
"Ta, besok ke salon yuk," ujar Tina.
"Mana bisa. Gue udah punya dua buntut yang pasti minta pulang belum sampai sepuluh menit," dagu Ita menunjuk pada dua bocah sedang asik bermain di kolam bola warna-warni.
"Kalau ajak ke mall atau cafe anak kayak gini gue masih bisa tenang. Soalnya ada tempat main."
"Ya elah, gue ngajak ke salon buat me time. Lihat kantung mata lo. Panda aja bisa insecure."
Perempuan dua anak itu mengarahkan kamera handphone-nya untuk membenarkan perkataan sahabat SMA-nya. Memang benar!
Alih-alih mengeluh seperti zaman SMA dulu. Ita hanya menghela napas dan menaruh handphone-nya kembali. Seolah hal seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari.
"Kabar orang itu gimana?" tanya Tina menyelidik.
"Siapa?"
"Suami lo lah. Ya kali Pak Yanto tetangga sebelah," canda Tina.
"Hehe. Yah, kayak biasa. Sibuk dengan dunianya."
Tatapan Ita menyendu. Tak dapat dibohongi beban pikiran di raut wajahnya.
"Ta.... udahlah. Ada saat di mana lo harus nyerah. Dan sekarang saatnya!" gegas Tina menggebu.
"Kayaknya lo masih dendam sama dia ya? Padahal ini udah hampir lima tahun gue nikah," selidik Ita.
"Tck! Siapa yang nggak dendam. Dia ngambil kebebasan lo gitu aja. Asal lo tau Ta, orang yang melamar gadis SMA tepat di hari kelulusannya dinamakan p*****l! Nggak inget umur tuh orang!"
"Mending tanggung jawab! Mana yang katanya bakal jaga lo? Idih! Lo masih mau mempertahankan dia?"
"Hahaha. Lo kalau udah benci ke orang udah kayak mau ngutuk aja. Emang cuma Tina gue yang kayak gini," kekeh Ita.
Selepas terkekeh, ia memandang cup greentea di depannya. Lagi-lagi tatapannya menyendu. "Entahlah.... banyak hal yang udah gue korbankan sampai di titik ini. Ya, mungkin salah satunya kebebasan."
"Seberapa besar penyesalan yang gue punya. Gue tetap bersyukur masih punya dua pentolan yang cukup jadi alasan buat nggak cerai. Lagi pula, keluarga gue udah terlanjur bergantung sama dia. Papa nggak akan sanggup bayar biaya pinalti. Karena jaminan atas pernikahan gue sama dia nggak lain adalah investasi dalam jumlah besar."
"Gue nggak bisa memutuskan sepihak di saat semua tali mengarah ke gue. Lo ngerti kan?"
"I-iya sih. Tapi, suami lo itu sampah Ta! Sumpah! Ayah kayak dia nggak baik buat perkembangan si kembar Zera dan Zeno."
"Maksud gue.... udah sih lo kabur aja! Nggak perlu surat cerai. Sekali aja lo tinggalin orang yang buat lo jadi kayak sapi perah gini," ucap Tina kesal. Melihat sahabatnya terlilit segudang masalah batin.
"Gue akui dia memang sampah. Tapi, di depan anak-anak dia tetap jadi Ayah. Lo tau? Zera selalu nungguin Papanya pulang sampai ketiduran di ruang tamu. Gue nggak mau di masa depan Zera dan Zeno dibayang-bayangi kenangan pahit orangtuanya."
"Banyak kasus broken home yang nggak bisa kita duga secara nalar. Kalau harus pilih. Lebih baik gue bertahan dari pada anak gue yang hancur."
"Andai waktu bisa diputar. Gue bakal bawa kabur lo waktu kelulusan. Seenggaknya keluarga lo nggak jadi jual lo sama cowok nggak bertanggung jawab kayak dia!"
Ita tersenyum getir, perempuan dengan nama lengkap Hitagina Rakasiwi itu tidak berkomentar apapun. Ia hanya menyesap minuman greentea kesukaannya lalu kembali mengawasi dua anak di pojok sana.
"Ah Iya... emh, bentar lagi peringatannya Hesa. Lo... bisa dateng?" ujar Tina, ia sengaja bicara perlahan. Takut menyentil hati sahabatnya mengingat hubungan mereka dulu.
"Gue usahain ya," jawab Ita, lagi-lagi ia tidak berani menatap Tina. Mungkin itu salah satu bentuk penyesalannya terhadap Hesa dimasa lalu.
"Mamaa," suara tangisan mengalihkan fokus Ita, ia segera menghampiri kedua anaknya yang sedang bermain.
"Kenapa sayang?"
"Zela jatuh Ma. Tadi udah Zeno bilang jangan lali-lali," sahut Zeno, pelafalannya masih kurang jelas di beberapa huruf.
"Mana yang sakit sayang?"
Zera menunjuk bagian tumitnya masih dengan tangisan. Zeno berjongkok di depan lutut Zera kemudian meniupnya lembut, "sakit pelgi yaa, jangan buat Zela nangis yaa," ucap Zeno seolah mengajak ngobrol luka di tumit Zera sambil mengangguk-angguk.
"Ihh, anak lo gemes banget sih! Gue bawa pulang boleh nggak? Sehari aja," pinta Tina memohon.
"Makanya buat!" ketus Ita. Mana sudi meminjamkan anak berharganya.
"Nggak bisa. Nggak ada bapaknya tuh."
"Carilah. Tuh, abang waiters aja mampu. Cuma bikin anak doang kan?"
"Hus! Ngawur!" timpal Tina.
Ita terkekeh, sedetik kemudian mengusap pucuk kepala Zera yang masih sesenggukan. Bagaimana mungkin ia egois memikirkan kebahagiannya sendiri ketimbang masa depan dua pentolan hidupnya ini.
Cerai adalah hal terakhir dalam pilihan hidup Ita. Alasannya bukan orang lain tapi kedua anaknya.
"Makanya nikah, lo udah cukup umur buat nikah," ucap Ita memberi saran.
"Nanti aja lah. Masih pingin sendiri," sahut Tina. Ita mendengus kemudian beranjak menggendong Zera.
Ita melanjutkan obrolan santai dengan Tina di cafe anak sekaligus mengawasi kedua anaknya bermain.
Bagi Tina, Ita adalah sosok ibu yang tegar di tengah badai rumah tangga yang berulang kali menghantam dirinya. Membuat Tina kagum akan perubahan Ita dari yang awalnya manja menjadi dewasa.
"Ta, lo banyak berubah," gumam Tina lirih disertai senyuman.
"Ha?" sahut Ita tidak jelas.
"Nggak, nggak apa-apa kok."
"Hallo Zera, sama Onty yuk." Tina mengulurkan tangan. Rasanya sudah lama ia tidak menggendong Zera.
Tidak terasa waktu berjalan cepat. Matahari sudah perlahan kembali ke peraduan. Ita sembari menggendong Zera yang terlelap berpamitan dengan Tina.
"Hati-hati dijalan Ta," ucap Tina khawatir.
"Oke. Lo juga. Thanks ya udah bagi waktu ke gue. Yah, walaupun nggak bisa sebebas dulu sih."
"Idih! Kayak apa aja. Nggak usah sungkan kalau cuma minta ditemani ke tempat bermain anak. Gue pasti langsung OTW kalau lo yang minta."
Senyuman indah terukir di wajah Ita. Di mana ia bisa mendapatkan teman seperti Tina? Salah satu nikmat yang wajib ia syukuri.
"Zeno sayang, besok main lagi sama Onty ya," ucap Tina. Ia gemas dengan pipi gembul Zeno dan berulang kali menciumnya.
"Onty lumahnya dimana?"
"Alalaa, anak lo mau ngapelin gue Ta. Jangan-jangan gue jadi cinta pertama dia lagi. Omo! Ntar lo jadi mertua gue. Haha. Nggak kebayang! Nanti judulnya 'anak ku ternyata jodoh teman ku'."
"Tck, yang bener 'teman ku ternyata p*****l'. Udah ya, gocar gue udah di depan."
Setelah cipika-cipiki ala emak-emak masa kini. Ita menggandeng tangan Zeno dan mengajaknya keluar dengan Zera digendong.