Tantrum

982 Words
Sebenarnya cukup berat membawa dua bocah yang sedang aktif-aktifnya ke tempat umum. Apalagi Ita was-was dengan kendaraan ramai berlalu lalang. Kecuali Bu Ina siapa lagi yang bisa Ita mintai tolong? Mamanya? Jarak rumah mereka cukup jauh. Sedangkan janji temu dengan dokter tinggal satu jam lagi. Tetangga? Komplek perumahan ini rata-rata individualis. Lagi pula Ita tidak nyaman tiba-tiba menitipkan si kembar. Lalu Raga? Pasti dia sibuk. Tapi, ada baiknya mencoba! Ita berniat men-dial nomor Raga. Layar dial tampak. Sambungan pun terdengar. "Hallo?" Diam membeku. Ita tidak menyangka Raga mengangkat panggilannya. Ini adalah momen langka! "Hallo?" "Ah.... hallo... emh, itu... aku mau cek up ke dokter. Kamu ada waktu-" "Tck!" Apa barusan itu suara decakan? Dia berdecak pada Ita yang bahkan belum selesai merampungkan kalimat? "Apa aku ganggu?" tanya Ita menggugurkan niat bertanya kelonggaran waktu Raga untuk menjaga Zera dan Zeno sebentar. "Nggak kok." "Hemm, ya udah.... aku cuma mau izin keluar. Zera sama Zeno ku bawa." "Iya," jawabnya singkat. "Raga...?" "Hm?" "Apa kamu pernah mencintai ku?" "Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu?" "Entahlah, cuma pingin tau aja." "Aku menikahi mu karena harus." "Oh gitu. Oke... udah ya, aku pergi dulu." Panggilan diakhiri bersamaan dengan itu Ita merobohkan diri ke sofa. "Karena harus? Dia benar-benar menjadikanku alat mencetak keturunan ternyata!" "Baji*gan!" gumam Ita. "Adingan?" Spontan Ita menoleh. Mendapati Zera menatap dengan mata bulatnya. "Sssst... rahasia, oke?" Dengan semangat Zera mengangguk. Kebiasaan yang Ita berikan, ketika Ita bilang 'rahasia' maka tidak boleh menyebarkan atau membahas topik itu lagi. Tujuannya tidak lain supaya anak-anak melupakan dengan sendirinya hal buruk yang tidak sengaja mereka dengar dari bibir orang asing maupun dirinya sendiri. Setelah menaiki gocar dan sampai tempat tujuan. Ita menunggu antrean di lobi. Kebetulan hari ini banyak yang datang. Nomor antrean Ita saja mencapai tiga puluh. Jika prediksinya benar mungkin ia akan menunggu sampai beberapa jam. "Ihh Abaaang!" pekik Zera. Wajahnya tampak marah. "Kenapa sayang?" sahut Ita. "Abang nakal Maa," tunjuk Zera. Ia beralih dari kursi tunggu dan memeluk Ita. "Zeno?" panggil Ita, "sini sayang." "Abang kenapa?" Zeno tampak muram. Bibir merah mungil itu menekuk ke bawah. "Nak?" Diam, Zeno enggan bicara. Susahnya Zeno memang berada di situ. Ketika dia kesal dia akan diam. Seolah tidak ada satu pun orang yang mampu membuka bibirnya. Berbeda dengan Zera yang selalu mengadu. Zeno lebih suka memendamnya sendiri. Ketika kebiasaan itu muncul Ita akan bersedekap tangan dan menatap manik Zeno tanpa berkedip. Lama kelamaan Zeno akan menangis kencang. Menumpahkan segala kekesalannya. Tak jarang ia tantrum memukul segala yang ada di sampingnya. See? Tipe yang seperti Zeno ini lah yang justru mengkhawatirkan. Tak sedikit pun ketenangan menghampiri Ita mengingat watak Zeno yang jika dihadapkan masalah ia memilih diam. Ita khawatir ketika Zeno dewasa ia akan melakukan hal irasional. Itulah sebabnya ia berusaha mengubah wataknya sedikit demi sedikit. Setidaknya jika kepada orang lain ia tidak bisa cerita maka di pundak Mamanya lah ia kembali. "Huaaaaaaa!!" "Hhaaa..." "Huuhuu. Huaaaa!" "Abang, hei... hei! Liat Mama!" "Huaaaa!!" "Zeno, liat mata Mama!" Nihil! Zeno masih meraung keras. Orang-orang di sekitar pun menengok ke sumber kegaduhan. Ita tidak bermaksud memancing kegaduhan. Zeno anak yang sensitif. Apalagi saat ini ia sedang kesal. Sehingga pergerakan sedikit saja mampu menyentil hatinya hingga salah paham mengira Ita sedang memarahinya. "Hallo...." sapa seorang laki-laki. Ia datang entah dari mana dan langsung menghibur Zeno yang tantrum. Awalnya Zeno menolak sampai memukuli laki-laki itu. Ita dibuat tidak enak. Namun, lama kelamaan tangis Zeno meredam. "Anu...." sela Ita seraya menghampiri laki-laki berpakaian petugas rumah sakit. "Makasih ya Mas. Maaf ngerepotin," lanjut Ita. "Santai aja Mbak. Saya udah biasa nangani anak rewel." "Oh gitu, padahal Mas-nya masih muda. Kayaknya belum nikah ya?" Ita menyisir pakaian laki-laki itu. Ada tag dengan posisi sebagai Office Boy yang bertengger di d**a kirinya. "Hehe, udah nikah atau belum nggak bisa menentukan. Soalnya saya dari dulu suka sama anak kecil. Kalau saya udah nikah terus punya anak mungkin saya bakal mainan terus sama anak saya. Justru saya nggak bisa nenangin anak Mbak kayak gini." "Iya juga ya. Kadang sangking fokusnya ngawasi anak sendiri jadi nggak sadar anak-anak lain di sekitar." "Nah, bener tuh Mbak. Apalagi harus jaga dua anak sekaligus," lirik laki-laki itu pada Zera yang berada di belakang Ita. "Harus punya tenaga ekstra," lanjutnya lalu tersenyum ramah pada Zera. Ucapan laki-laki muda ini menyadarkan Ita. Semenjak kelahiran si kembar justru Raga mulai menjauh. Lebih banyak waktu di kantor ketimbang rumah. Padahal saat hamil, Ita diperlakukan selayaknya ratu. Kejanggalan itu, apakah ada kaitannya dengan orang ketiga? Kalau benar, berarti kurang lebih tiga tahun mereka menjalin kasih? Pikiran Ita terasa penuh. Hingga tak sadar laki-laki di depannya terus memanggilnya. "Mbak?" "Ha?" "Maaf, saya tiba-tiba kepikiran sesuatu," sahut Ita kikuk. Laki-laki itu tersenyum ramah. Ia menurunkan Zeno dalam gendongannya. "Memikirkan sesuatu itu hal yang wajar. Tapi, kalau terlalu banyak juga bakal repot. Percayalah, semua masalah akan ada jalan keluarnya. Entah bagaimana Tuhan memberikan jalan. Yang jelas kita sebagai hamba hanya perlu berusaha yang terbaik." Sorot mata itu memandang syahdu. Ita terbuai berkat pandangan matanya yang tidak menampakan satu titik pun kotornya dunia. "No antrean 30?" "Antrean 30?" Panggilan itu menyadarkan Ita. Ia sempat menyaut sebelum berniat mengucapkan terimakasih sekali lagi. "Pergilah," ucap laki-laki itu teriring senyum. "Semoga beruntung," ucapnya lagi kemudian beralih pergi. "Tung-" "Antrean 30 silahkan masuk ruangan," ucap petugas rumah sakit. Ita terpaksa mengabaikan laki-laki muda yang namanya pun belum sempat Ita ketahui. Pandangan tidak suka dari orang-orang yang ikut mengantri membuat Ita sigap masuk ke ruangan bersama Zera dan Zeno. Butuh waktu setidaknya sepuluh menit berhadapan dengan dokter kandungan. Pemeriksaan menggunakan USG pun dilakukan. Pinternya Zera dan Zeno. Ia diam mengamati sang Ibu dari kursi. Setelah mendapat saran dan buku cek up rutin. Ita dan kedua anaknya keluar ruangan. Sungguh penantian luar biasa yang dibayar hanya sepuluh menit bertemu tatap. Hah! Ini sudah menjadi sistemnya. Ita bisa berbuat apa? Lalu, Ita harap di perjalanan pulang ini ia bertemu lagi dengan laki-laki muda tadi. Setidaknya Ita ingin mengucapkan terimakasih dengan benar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD