Tunas Baru

1021 Words
"Huek!" "Huek!" "Ah... perut ku nggak enak banget." "Apa karena asam lambung ku naik ya? Akhir-akhir ini aku suka minum kopi," beo Ita. Ia keluar dari kamar mandi. Memegangi perutnya yang tidak karuan. "Mamaa atit ya?" sahut suara bocah cilik. "Nggak sayang. Mama cuma telat makan. Zeno main sama Zera dulu ya. Mama mau makan siang dulu." "Humm, matan yang banak ya Ma," ujar Zeno menggemaskan. "Iya sayang. Inget! Jangan main di luar ya?" "Iya Ma." Kemudian punggung kecil itu berlari lincah menyusul adiknya di ruang tengah yang sedang sibuk bermain boneka. "Hmp!!" Ita menutup mulut. Lambungnya masih belum selesai mengeluarkan isinya. Ita pun bergegas masuk ke kamar mandi dan suara muntahan itu terdengar lagi. "Ugh! Kenapa sih aku?!" Ita duduk pada permukaan toilet. Menarik nafas dalam-dalam hingga sorot penglihatannya terfokus pada kotak di rak. "Tunggu!" Jarinya menghitung sesuatu. Pikirannya disita hitungan hari terakhir tamu bulanannya datang. "Haha... masak sih?" gumamnya tidak yakin. Ita memegangi perut datarnya. Jika perhitungannya benar maka seharusnya ada satu nyawa yang bersemayam di perutnya. Ini memang tidak direncanakan, siapa yang menyangka di hari amannya waktu itu justru membuahkan hasil seperti ini. Hubungan mereka memang tidak baik. Sering cek-cok bahkan pisah kamar. Namun, tidak pernah terbesit dalam benak Ita untuk menolak kewajibannya sebagai istri. Ita tidak pernah membenci anak yang tumbuh dari benih suaminya. Sudah Ita katakan bukan? Ita mencintai Raga. Istilah cinta akan tumbuh saat terbiasa benar adanya. Ita adalah salah satu bukti nyata. Cinta itu ada dan tumbuh seiring waktu berlalu. Raga bukanlah sosok dingin dari awal. Dulu pun Raga pernah melunak dan menjadikan Ita ratu. Hanya saja, seperti kebanyakan rumah tangga. Masalah pasti menghampiri. Salah satu ujian untuk menguji seberapa kokohnya rumah tangga itu. Dan ujian Ita adalah orang ketiga. Ita tersenyum mengusap perutnya. Semoga anak ini akan jadi jalan keharmonisan keluarga yang telah pudar. Ita buru-buru bangkit. Ia berniat ke apotek membeli test pack. Meyakinkan praduganya. Tidak lama tiga test pack di dapatkan dan hasilnya pun samar terlihat. Senyum Ita semakin melebar melihat ketiga test pack menunjukan dua garis. "Nyam... nyam. Ma... itu... nyam, afa?" tanya Zera yang sibuk mengunyah biskuit dengan mulut gelepotan. "Sayang makannya duduk dong. Ayo duduk. Kalau makan nggak boleh...?" "Bedili," pekik Zera semangat. "Pinter...." Zera pun langsung duduk di lantai. Terlihat dari ujung sana Zeno berlari dan duduk mengikuti Zera. "Mama itu apa?" tanya Zeno. Ikut penasaran dengan benda kecil yang Ita pegang. "Ini stik ajaib." Ita berjongkok memperlihatkan benda itu ke anaknya, "coba hitung ada berapa garis di sana?" "Atu, dua.... dua Ma," jawab Zera sedangkan Zeno hanya mengangkat dua jarinya. "Pinter anak Mama. Bentar lagi Zera sama Zeno jadi Kakak lho." "Tapi kan Zeno udah adi Abang Zela," sahut Zera polos. "Iya. Nanti Zeno jadi Abang pertama. Terus Zera jadi Kakak kedua." "Kayak galis di stik adaib ya Ma? Dua? Belalti dua adik ya Ma?" tanya Zeno dengan tampang polos. Ita terkekeh. "iya sayang." Kemudian Ita memeluk erat si kembar Zera dan Zeno. Melampiaskan rasa bahagia teriring syukur. ^^^^^^ To : Papa Si Kembar "Hari ini bisa pulang?" Entah sudah berapa kali Ita menengok handphone-nya. Chat itu masih belum menemui balasan. Lagi, hatinya dibuat hancur. Namun sigap ia tepis rasa kesal. Mengingat ada janin yang harus ia jaga kesehatannya di dalam kandungan. Ada yang bilang perasaan sang Ibu bisa mempengaruhi pertumbuhan janin. Ita tidak mau bayinya merasakan pedih. Ia harus menjaga moodnya! "Mbak?" panggil Bu Ina. "Iya Bu?" "Mau Ibu buatin sesuatu? Pingin makan apa gitu?" Ita tersenyum, Bu Ina adalah figur Ibu yang patut dicontoh. Bagaimana tidak? Dengan keadaan ekonomi terbatas ia bisa mengkuliahkan ketiga anaknya. Sejak awal hanya modal nekat yang mereka punya. "Nggak usah Bu, aku lagi nggak pingin apa-apa," ucap Ita jujur. "Ya udah, kalau pingin sesuatu bilang Ibu ya? Ibu mau jagain si kembar dulu. Banyak istirahat ya Mbak." "Iya Bu. Makasih ya. Maaf ngerepotin." "Hehe. Kayak sama siapa aja." Bu Ina segera keluar dari kamar Ita. Menuju tempat si kembar bermain. Sedangkan Ita, kantuk segera menguasainya. Ia menoleh handphone sekali lagi memastikan notifikasi sebelum direnggut oleh bunga tidur. Sentuhan lembut terasa. Ita membuka mata setelah meyakinkan seseorang menyentuh ujung kepalanya. "Raga?" Sosok itu tidak bergeming. Ia menatap lurus manik Ita. "Kamu baru pulang?" "Humm...." Ita menoleh jam dinding. Jam menampakan pukul setengah enam sore. Samar terlihat seulas senyum mengembang. Sebelum pernyataan Raga menghancurkan senyum indah itu. "Aku pulang mau ambil dokumen. Setelah ini aku akan berangkat ke kantor lagi. Mungkin aku nggak akan pulang sampai dua hari ke dep--" Ita mencengkram kuat sprei. Raga menyadarinya dan melempar tatapan datar. "Bisakah kamu tetap di sini?" ucap Ita memohon dengan sangat. "Aku udah ketemu sama Zera dan Zeno. Udah izin sama mereka juga. Seperti kata mu, aku nggak mau hanya jadi Ayah di atas kertas. Aku akan menyempatkan pulang demi Zera dan Zeno." "Bukan untuk mereka!" pekik Ita kuat. "Ini permintaan ku." Cengkramannya semakin kuat. Ia tak kuasa menahan sesak d**a hingga bulir air matanya jatuh. "Apa di mata mu aku cuma alat menghasilkan keturunan?" Bendungan air mata seakan berdesakan hingga akhirnya jatuh. "Aku.... aku juga--" "Apa mau mu?" sahut Raga to the point. Wajahnya seperti tidak betah berlama-lama di rumah. Baiklah! Bukankah Ita sudah mengantongi cinta bertepuk sebelah tangan? Memohon hingga menangis darah pun cinta tidak akan tumbuh pada orang yang telah menaruh hatinya pada wanita lain! "Lima menit.... lima menit aja untuk dengerin penjelasanku." Ita menarik nafas dalam-dalam. Ia meraih test pack yang ia taruh di laci dan mengacungkannya tepat di depan Raga. "Aku hamil." Ekspresi Raga tidak bisa ditebak. Terkejut dan juga bimbang dalam satu waktu. Apa dia punya pikiran untuk menceraikan Ita? Karena jika seorang wanita tengah mengandung. Maka perceraian tidak dapat dilakukan. "Nggak usah berpikir mendalam. Yang penting kamu mau ngasih nafkah batin dan materi ke anak ini." "Jika kehadiran ku jadi beban. Anggap aja aku nggak ada. Kalau ada hati yang ingin kamu beri kepastian. Aku siap dimadu dengan syarat, jalankan kewajiban mu sebagai Ayah dengan baik!" "Dari pada kebahagian ku. Aku lebih peduli sama masa depan anak-anak." Bibir Raga masih terkatub. Seolah setiap kata tertahan oleh satu hal. Jika memang pembicaraan ini membebani Raga. Ita memilih untuk beranjak sejenak. Biarkan Raga punya ruang untuk berpikir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD