Pagi hari, seperti biasa Ita mengawasi si kembar bermain. Aktivitas pagi anak-anak cukup berenergi. Seolah baru di-refresh. Mereka akan bermain kejar-kejaran. Kesana kemari di halaman belakang. Ita cukup duduk mengawasi agar tidak mendekati kolam renang.
Kadang Zeno akan duduk kalem di pojok. Mengamati semut atau binatang lain. Lalu ada Zera yang menganggu agar Zeno marah dan mengejar.
Benar-benar! Kedua anaknya ini seperti barat dan timur. Dan entah kenapa pribadi mereka tertukar. Zera yang tomboy dan Zeno yang kalem.
Ita penasaran, bagaimana mereka saat besar nanti? Jika tebakan Ita benar, Zeno akan jadi Kakak yang pengertian dan penuh kasih sayang sedangkan Zera akan jadi gadis energik dan punya kepercayaan diri tinggi.
"Maa, Papa pulangnya kapan?" tanya Zeno, ia lelah lari-lari mengejar Zera dan memutuskan bergelayut manja.
"Bentar lagi pasti pulang. Zeno sabar ya sayang," ucap Ita lembut. Ia tidak bisa menjanjikan tanggal berapa Raga bisa pulang sebab sudah seminggu ini ia tidak menampakan wujudnya.
Wajah Zeno tampak muram. "Tadi malam Zela nangis. Katana kangen Papa."
Sebuah hantaman besar seperti baru saja menabrak Ita. Namun, sebagai Ibu ia harus tenang.
"Nanti Mama hubungin Papa ya sayang. Oh iya, Mama punya ini lho. Satunya kasih Zera sana," suruh Ita sembari memberikan permen s**u pada Zeno. Setelah menerimanya Zeno langsung berlari menuju Zera yang tengah sibuk memungut daun berserakan.
Setelah pertikaian malam itu Raga jarang pulang. Sekalinya pulang pun pasti sangat larut sehingga anak-anak tidak sempat melihat Ayahnya karena sudah tertidur. Begitu pun saat pagi. Ia selalu pergi tanpa berpamitan.
Ini rumah tangga yang seharusnya dibangun bersama. Tapi sejauh ini Ita merasa menjadi ibu tunggal.
TRING!
Sebuah notifikasi terdengar. Ita buru-buru membuka layar kunci handphone-nya. Namun, tatapannya kembali datar ketika tau itu hanya spam. Orang yang ia nanti-nanti untuk memberi kabar sepenuhnya telah menghilang.
"Kamu kemana sih! Seenggaknya kasih kabar anak-anak mu!" gumam Ita. Percayalah sudah puluhan kali ia menelpon dan chat tapi tidak ada tanggapan.
"Mbak itu sarapannya si kembar udah jadi," sahut Bu Ina.
"Oh iya Bu. Nanti aku aja yang ngambil nasinya. Tolong awasi anak-anak bentar ya."
Ita bergegas ke dapur. Mencium aroma sup ayam yang Bu Ina buat membuat Ita jadi ikut lapar. Padahal ia tidak biasa sarapan pagi.
"Bu Ina mau pulang ya?" Tanya Ita sekembalinya dari dapur.
"Iya nih Mbak."
Di rumah ini tidak ada ART yang tinggal menetap. Semuanya akan datang ketika jam kerjanya mulai dan akan pulang ketika tugas telah selesai. Total ada lima ART dengan tugas masing-masing. Salah satunya Bu Ina yang bertugas memasakan lauk karena Ita tidak pandai memasak.
"Nggak bungkus supnya sekalian Bu? Buat Bapak."
"Alah, nggak usah Mbak. Bapak mah makan sayur kemaren aja doyan."
"Nggak apa Bu. Aku bungkusin ya? Bentar." Ita kembali ke dapur. Membungkus sup ayam.
"Aduh Mbak repot-repot lho." Serah kresek berisi sup ayam pada Bu Ina.
"Hehe, masakan Bu Ina itu nggak pernah gagal. Aku kalau masak langsung meledak kali dapurnya."
Dari dulu Ita tidak pernah dibiarkan menyentuh dapur. Menjadi anak tunggal sebelum keluarganya bangkrut adalah hal yang didambakan setiap anak di seluruh dunia. Itu alasan kenapa Ita tidak bisa masak. Tapi, semenjak menikah ia mengalami kemajuan walau hanya sekedar beres-beres rumah.
Ita berniat menghampiri Zera dan Zeno. Namun, lagi-lagi hatinya tertohok mendengar perbincangan anak-anaknya.
"Abang, kapan Papa pulang?" Tanya Zera. Masih setia menumpuk daun kering yang ia punguti tadi.
"Kata Mama, Papa pulang kok kalau malem. Tapi kita udah tidul. Kemalen aku liat Papa tium kamu. Tapi kamu tidul."
"Kok Abang nggak banunin. Aku kan pinin temu Papa juga?!"
"Kamu kalo dibanunin kan angis. Aku males lah. Bicik!"
"Nanti malem aku nggak mau tidul!" Kekeuh Zera bersedekap tangan.
"Kenapa nggak mau tidur?" Sahut Ita yang langsung disambut kedua anak itu.
Ia harus terlihat baik-baik saja walau hati rasanya teriris. Siapa yang tidak tersayat hatinya ketika sang anak berbohong demi menenangkan adik kecilnya?
"Maa, Papa pulangna malem ya?" Tanya Zera. Menengadah ke atas demi mendapat jawaban jujur dari Ita.
Ita memandangi Zeno yang terlihat tak berani menatap karena ketahuan berbohong. Anak sekecil itu sudah mengemban beban ketidakharmonisan orangtuanya.
Zeno adalah anak penyayang. Walaupun sering dijahili adiknya-Zera, ia tetap berlaku baik sebagai Kakak. Mungkin karena itulah Zeno berbohong. Sebab ia tidak ingin Zera yang aktif jadi murung.
"Zeno, sini sayang," pinta Ita lembut.
"Ma... Mama! Papa pulangna malem ya?" Tanya Zera lagi tidak sabaran.
"Iya sayang. Papa pulangnya malem banget. Zera sama Zeno udah tidur. Nanti kalau kerjaan Papa udah selesai. Papa mau kasih kejutan lho."
"Haaa... kejutan apa Ma?" Sahut Zera kegiraan sambil meloncat-loncat.
"Rahasia dong. Kalau dikasih tau bukan kejutan namanya."
Mata gadis kecil itu berbinar. Penuh harapan dalam dusta yang nyata.
"Makan yuk. Mau makan di sini atau di ruang tengah sambil nonton Spongebob?"
"Mau Spongebob!" Teriak Zera sedangkan Zeno hanya bergumam.
Mereka pun berjalan tanpa hambatan ke ruang tengah. Zera tampak bersemangat dengan berlari sedangkan Zeno berjalan santai dengan kepala menunduk.
Sesudah memastikan kedua pentolannya makan dengan kenyang Ita beralih ke dapur untuk mencuci piring. Siapa yang menyangka aktifitasnya itu di ekori oleh Zeno.
"Astaga!" Pekik Ita setelah sadar hampir menabrak Zeno ketika berbalik.
"Sayang, kenapa? Kok ngikutin Mama."
Tangan kecil Zeno meraih baju daster Ita. Ia menggenggamnya cukup kuat.
"Ma, tadi Zeno bohong sama Zela. Mapin Zeno ya?" Sesal Zeno, ia tahu dirinya salah dan melapor ke Ita. Anak pintar yang dibiasakan mengaku jika berbohong.
Ita mensejajarkan diri dengan tubuh mungil Zeno. Ia mengelus pucuk kepalanya dengan lembut.
"Memangnya Zeno kenapa bohong?" Tanya Ita lembut. Matanya sendu menatap manik kecil yang tidak berani membalas tatapan Ita.
"Coba liat mata Mama sayang," pinta Ita.
"So-soalnya Zela nangis telus. Katian," jawabnya lirih. Bibirnya sesekali menekuk ke bawah. Tidak bisa ditolak ke-imut-an anak dengan mata bulat ini.
Melihat penyeselan menyelimuti wajah Zeno justru membuat Ita gemas ingin menggigit pipi gembulnya. Ita meraih kedua tangan Zeno. "Mama tau, Zeno anak baik. Tapi, apa dengan berbohong Zera akan senang?"
Zeno menggeleng ringan. Bibirnya semakin menekuk kebawah. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Udah nggak apa-apa. Lain kali janji sama Mama nggak boleh bohong lagi ya?" Sengaja Ita mengangkat jari telunjuk dan menggerakan ke kiri dan ke kanan. Sebagai isyarat tidak boleh.
Zeno mengangguk kemudian menghambur ke pelukan mamanya. Ia menangis lirih disana. Berbeda anak berbeda perlakuan. Begitulah yang Ita rasakan selama mengurus Zera dan Zeno.
Jika dengan Zera Ita harus tegas dan memberlakukan hukuman ringan jika salah. Maka dengan Zeno, Ita hanya perlu memberi nasihat. Dalam taraf itu Zeno akan paham dan tidak akan mengulanginya lagi.