"Maafin Bunda ya, Ri." Aku merapikan pakaian Bunda, wajah cantik beliau yang biasanya selalu bersinar lembut dengan senyumannya kini tampak begitu sedih saat kami berdua bersiap untuk pergi bertemu dengan tim pengacara yang disiapkan oleh Kapten Damar demi mengurus perceraian Bunda. Kemarin pagi saat aku dihajar Ayah, Bunda hanya terdiam mempertahankan sikap anggun dan terhormatnya tanpa membelaku sedikitpun meski beliau mendengar dan melihat sendiri aku mendapatkan luka ini karena membela beliau. Bundaku merasa terlalu terhormat hingga merasa melayangkan kalimat sarkasnya saja sudah cukup untuk menegur Ayah tanpa menyadari jika cinta suaminya yang sudah berpaling membuat setiap kata-kata Bunda tidak berarti lagi, dirinya sama sekali tidak berharga untuk Ayah. Sekarang, setelah sehari s