PART 8 - VESPA BIRU

1821 Words
Kutatap bayangan wajahku yang terpantul jelas didalam cermin. Memandangi kedua lingkar hitam dibawah mataku yang terlihat tampak jelas. Setelah kejadian pembebasan Wulan dan gadis-gadis itu, Dewi selalu terbangun tengah malam. Ia berteriak meminta tolong dan terbangun. Malam ini adalah malam ketiga hal itu terulang lagi. Aku selalu ikut terbangun juga untuk menenangkan, memeluk dan menemaninya, baru kutidur setelah kupastikan Dewi benar-benar tertidur pulas. Seorang dokter wanita yang khusus menangangi traumatik korban dari sebuah kasus  kemarin datang berkunjung kesini untuk memeriksa keadaanku dan Dewi. Bersyukur tidak terjadi apapun denganku namun berbeda dengan Dewi. Dia pasti sangat tertekan karena hal ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kejiwaan gadis-gadis lainnya yang merupakan korban sesungguhnya. Mungkin mereka mengalami hal yang lebih berat dari Dewi. “Wi, mau kubantu?” Dewi duduk didepan meja riasnya sedang mengoleskan salep luka untuk luka goresan pisau dilehernya. “Gak perlu, Mal. Cuma luka kecil begini. Besok juga sembuh.” Apa yang kulihat dari wajah Dewi setiap harinya benar-benar terlihat berbeda saat malam hari. Dewi terlihat ceria, cerewet dan sangat aktif seakan tak  ada yang terjadi padanya. Namun kutahu, ia pasti sedang berusaha menutupi perasaan yang sesungguhnya. Kupeluk tubuh Dewi yang sedang duduk diatas kursi meja riasnya dari belakang. Entah mengapa aku ingin melakukan ini membuat Dewi malah menggodaku. “Aku tahu kok Mal, pesonaku memang luar biasa.  Cewek aja gak tahan sama pesonaku apalagi para cowok diluar sana.” Segera kulepaskan pelukanku pada Dewi dan membalas ucapannya. “Iya-iya, tau deh yang paling cantik seantero Kuta.” “Iiihh enak aja, seantero Bali yang benar tau. Jangan turunin levelku deh Mal.” Dewi mengibaskan rambut hitam panjangnya yang halus bak sutera diiringi oleh tawanya. Akupoun tertawa mendengarnya. Sangat senang melihat Dewi bisa seceria ini. Saat keluar kamar, kulihat  paman dan bibiku sedang asik menonton TV di ruang keluarga. Berita di TV beberapa hari ini dipenuhi oleh berita mengenai kasus penangkapan pelaku human trafficking. Iya, itu adalah kasus yang melibatkanku dan Dewi beberapa hari yang lalu. Kamii berdua tidak muncul diberita manapun. Pamanku meminta pada pihak polisi agar identitas kami berdua dirahasiakan, menurutnya akan lebih aman kalau tidak ada yang mengetahui identitas kami, jadi berita yang beredar dimasyarakat adalah mengenai para oknum polisi yang berhasil memecahkan kasus Human Trafficking atau perdagangan manusia, tanpa embel-embel namaku dan nama Dewi. “Mau kemana Nir?” bibiku menoleh kearahku saat aku hendak keluar rumah. “Ke home stay, bi.” jawabku. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu bibi dan pamanku menjadi lebih protektif kepadaku dan Dewi.  Kami dilarang pergi keluar rumah, kalaupun akan keluar rumah harus ditemani oleh yang lain minimal oleh kak Andi, kalau tidak, kami tidak bisa keluar sama sekali.  Aku memahami itu, ini hanya bentuk kekwatiran bibiku pada anak dan keponakannya. “Oh, kalau mau pergi keluar ketempat lain jangan sendiri ya.” ujar bibiku seperti biasanya. “Iya, bi.” balasku lalu pergi menuju home stay. *** Sebuah motor vespa biru begitu menarik pandanganku saat melewati halaman home stay. Ini pertama kalinya kulihat vespa biru ini ada disini. Vespa ini terlihat begitu bersih dan mengkilat, tidak ada goresan ataupun stiker dibadannya. Pemiliknya pasti sangat merawat vespanya ini. “Mala…” kudengar suara kak Andi memanggilku. Ia ternyata sedang berada dikursi taman home stay ini yang berada tak jauh dari tempat aku berdiri saat ini. “Iya kak?” aku berjalan mendekat kearahnya. Kak Andi tanpak sedang bersama seorang temannya. “Kamu lihatin apa?” tanya kak Andi saat aku sampai disebelahnya. “Ahh itu, aku liatin vespa. Unik sekali.” “Ehm… ehm…” pria disebelah kak Andi berdehem beberapa kali sambil tersenyum kearahku. Aku membalas ramah senyumnya. Pandanganku beberapa detik menatap fokus pada rambutnya yang disisir begitu rapi dengan belah samping yang sangat tegas dan rambut yang begitu mengkilat. “Oh, ini ni yang punya.” Kak Andi menatap teman prianya. “Oh… iya-iya…” aku sebenarnya tidak terlalu kaget mengetahui bahwa teman kak Andi inilah yang memilikinya. Kebersihan  motor vespanya seakan menjadi cerminan pada penampilannya sangat rapi, bersih, serta licin. “Perkenalkan nama saya Tomo, dek manis ini siapa namanya?” tanpa ragu pria yang baru kutemui ini mengulurkan tangannya kepadaku. “Namaku Nirmala, tapi panggil aja Mala.”aku membalas uluran tangannya. Ia terlihat seperti pria yang benar-benar ramah, sopan baik. “Cantik..” “Hah?” aku merasa seperti baru saja mendengar kata pujian dari pria yang masih belum melepas jabatan tangannya dari tangaku ini. “Maksudku namanya Cantik. Mala panggil saja aku mas Tomo ya.” “Udah lepasin! Gayamu mau dipanggil pakai mas-mas segala.” kak Andi memotong pembicaraanku dengan mas Tomo, membuatnya melepaskan genggaman tanganku. “Kamu ini lo biarin temennya seneng sedikit kenapa. Ganggu terus.” Aku tersenyum mendengar ucapan mas Tomo. Sebenarnya bukan karena ucapannya, tapi karena logatnya yang benar-benar sangat medok Jawa. Dia pria pertama di Bali yang kutemui dengan logat Jawa yang sangat kental seperti ini. “Tuh, aku jadi diketawain sama dek Mala.” “Iiihhh pakai dek segala. Geli banget aku. Sudah Mala, masuk kedalam saja, bahaya dekat orang ini lama-lama.” candaan kak Andi membuat mereka berdua terlihat begitu akrab satu sama lain. Kak Andi dan Mas Tomo pasti teman dekat. “Aku permisi dulu ya mas.” Aku mengikuti perkataan mas Andi untuk masuk kedalam. Sebenarnya bukan karena tidak ingin berbincang lebih lama dengan mas Tomo, namun karena aku ingin membantu bli Komang untuk membersihkan kamar-kamar home stay. “Iya dek, lain kali kita ngobrol-ngobrol lagi ya.” Mas Tomo tersenyum lebar kepadaku mempertontonkan giginya yang terlihat putih dan rapi. Aku mengangguk ramah membalas ucapnnya lalu pergi meninggalkan kakak sepupuku itu bersama mas Tomo. *** “Ini aku bawa langsung ke belakang ya, bli?” tanyaku pada bli Komang sambil membawa tumpukan gorden yang akan dicuci dan diganti dengan yang lebih bersih. “Iya Mal, terima kasih banyak ya sudah bantu-bantu.” bli Komang malepaskan alat pel ditangannya dan membantuku menganggat sisa tumpukan gorden yang tak bisa kubawa semuanya ke belakang. “Sama-sama bli, aku kan memang tugasnya disini untuk bantu-bantu, kalau butuh sesuatu jangan sungkan untuk bilang ya , bli.” “Iya, makasi ya.” lagi-lagi bli Komang mengucapkan terima kasih padaku. “Bli hari ini sudah mengucapkan terima kasih lebih dari tiga kali lo. Satu kali saja cukup.”  Aku tersenyum memandang bli Komang yang tampak masih sungkan padaku. Sebenarnya ia tak perlu sungkan padaku, walau aku keluarga paman dan bibi Ayu, aku ada disini adalah untuk bekerja juga. Langit sudah menggelap saat aku selesai membersihkan home stay. Bli Komang sudah pulang dan digantikan oleh bli Ade yang juga bekerja di home stay ini. “Bli, Mala pulang dulu ya…” aku berpamitan pada Bli Ade yang usianya cukup jauh diatasku. Beda usia kamu sekitar 11 tahun, sedangkan dengan bli Komang hanya berbeda 6 tahun. Mereka berdua adalah orang-orang yang berasal dari daerah sekitar sini dan memiliki hubungan cukup akrab dengan keluarga disini. AKu tidak heran dengan hal itu, karena mereka berdua memang sangat baik dan ramah. Matahari tampak akan terbenam saat aku meninggalkan home stay. Hari ini terasa sangat singkat, mungkin karena kau begitu menikmati pekerjaanku disini walau cukup menguras tenaga. Haaah, tiba-tiba kau merasa rindu dengan ibuku. Aku akan meminjam handphone Dewi nanti. Mungkin dia sudah dirumah saat ini, sudah pulang kuliah. Aku menajamkan mataku saat melihat motor vespa biru yang kulihat tadi siang masih terparkir di halaman home stay. Dibangku taman sudah tidak ada kak Andi dan mas Tomo, jadi kemungkinan mereka ada didalam rumah. Benar saja dugaanku. Mas Tomo memang masih ada disini dan tengah asih ngobrol dengan paman Bayu di gazebo, namun kak Andi tak bergabung bersama mereka. “Mandi dulu, Mal.” ujar pamanku saat melihatku memasuki pekarangan rumah. “Tomo sudah berkenalan dengan Mala?” “Sudah om, tadi siang sudah kenalanan sama Mala. Tapi kalau disuruh kenalan lagi ya tidak apa-apa. Malah seneng aku bisa ngobrol-ngobrol sama dek Mala…” “Woalaah… Tomo…Tomo..” tawa pamanku tiba-tiba pecah saat mendengar ucapan Mas Tomo, sedangkan aku hanya tersenyum saja mendengar ucapannya. “Tidak apa-apakan om?” mas Tomo melanjutan ucapannya kearah paman Bayu. Nada suaranya yang tadinya terdengar bercanda sekarang berubah menjadi terdengar lebih serius. “Iya gak-apa, asal jangan melewati batas aja.” tawa pamanku terhenti dan ia pun membalas ucapan Tomo seakan aku tidak ada disana mendengar ucapan mereka. “ Terus yang paling penting jangan sampai melupakan tugas utama kalian saat ini apa. Om gak mau melihat kamu atau melihat Andi menjadi mahasiswa abadi ya.” “Siaappp Om…” nada ucapan mas Tomo kembali menjadi seperti biasa lagi, hilang sudah aura serius diantara mereka berdua. Aku pun segera memasuki rumah untuk segera mandi dan membatu bibiku didapur. *** “Cieeeee, yang ditaksir.” Dewi malam ini tidak henti-hentinya menggodaku selama kami berada di dapur usai makan malam. “Siapa yang naksir aku sih, Wi?” aku tak memperhatikan wajah Dewi dan fokus mengelap priring-piring yang baru saja aku cuci. “Ya mamas Tomo lah, Mal. Kamu gak lihat apa bagaimana tatapan dia ke kamu tadi pas makan malam. Bagai tatapan lebah pada bunga tau gak.” “Kamu kaya pernah lihat lebah natap bunga aja. Tatapan Tomo biasa aja perasaan seperti dia melihat kamu dan yang lainnya kan.” aku menyanggah ucapan Dewi karena aku merasa mas Tomo memang tipe orang yang baik pada siapa saja, jadi sangat wajar kalau dia baik padaku yang masih keluarga kak Andi, teman dekatnya. “Iiih, dia itu juga curi-curi pandang terus lo ke kamu. Kamu nya aja yang gak sadar, aku dari tadi perhatiin terus kok.” “Kan tadi kita sedang ngobrol, jadi wajar kalau dia ngeliatin aku. Bukan curi-curi pandang, Dewi.” “Beda, Mal. Beda tatapan orang itu ke orang yang dia taksir, kaya ada bintang-bintangnya gitu lo.” Aku nyaris menjatuhkan piring yang sedang kulap saat mendengar ucapan Mala. Sepupuku ini jelas sangat berbakat menjadi pujangga, kata-katanya memang sangat berlebihan. “Bintang-bintang apanya. Kamu ada-ada aja.” aku tertawa mendengar perandaiannya. “Cieeee yang senyum, sudah sadar kah kalau mas Tomo itu naksir kamu?” Dewi sepertinya akan terus menerus menggodaku dan mambahas soal mas Tomo semalaman ini. “Apaan sih, aku senyum karena dengerin kata-katamu itu lo.  Lucu tau.” Sanggahku lagi. “iya deh, iya deh. Percaya aku, percaya.” ucapan Dewi jelas berbanding terbalik dengan tindakannya. Ia masih menatapku beberapa kali dan memainkan alisnya padaku lalu mengatakan kata Tomo beberapa kali lalu akhirnya pergi meninggalkanku didapur setelah selesai ia memasukan sisa masakan tadi kedalam kulkas dan karena aku yang tak merespon godaannya. Aku masih fokus membersihkan dapur dan memastikan semua piring kotor didapur sudah selesai kucuci dan kulap.  “Mal sini, Tomo mau pulang nih.” Dewi yang tengah duduk bersama paman, kak Andi, dan mas Tomo di gazebo memanggilku untuk keluar dari dapur. Aku awalnya hanya mengintip dari dapur, namun kemudian Dewi memanggil lagi dan akhirnya akupun menuju gazebo di halaman. Tampak mas Tomo sudah memakai tas selempang batiknya dan berpamitan pada pamanku. “Hati-hati ya Tom…” ucap pamanku saat mas Tomo mennyalami dan mencium tangan pamanku. “Iya om..” “Jangan sering-sering kesini ya Tom.” kak Andi mengucapkan kata-kata yang membuat mas Tomo memukul lengannya dengan pelan. “Mal, mas pulang dulu ya…” mas Tomo menghadap kepadaku dan berpamitan pulang juga padaku. Ia memberikan senyuman ramah yang sedari tadi tak pernah lepas dari wajahnya. “Aku gak dipamitin ni… mentang-mentang ada Mala.”oceh Dewi yang membuat mas Tomo segera berpamitan padanya juga. “Dewi, aku pulang dulu ya, terima kasih semuanya.” Mas Tomo melaimbaikan tangannya dan mulai berjalan melewati halaman yang akan membawanya menuju halaman home stay ditemani kak Andi. Mereka berdua berjalan sambil menertawakan sesuatu entah apa itu. Tak sampai lima menit, aku bisa mendengar suara mesin motor vespa yang dihidupkan. Suaranya cukup kencang hingga masih bisa terdengar sampai rumah. Ya, siapa sangka dari melihat motor vespa biru itu aku bisa mendapatkan teman baru disini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD