PART 9 - PERINGATAN

1746 Words
Kuintip dari kejauhan tempat parkir di home stay untuk melihat apakah ada vespa biru disana atau tidak. Sejak beberapa hari ini mas Tomo cukup sering kesini entah untuk sekedar bermain-main atau mengerjakan tugas bersama kak Andi. Karena itu aku iseng saja melihat parkiran apakah ada vespa biru milik mas Tomo atau tidak. “Lagi intipin apa, Nir?” suara bibiku dari belakang berhasil mengagetkanku. “Bukan apa-apa, bi.” ucapku sedikit kikuk. “Cariin Tomo kah?” “Gak kok, bi.” Bibiku ini sudah tertular Dewi sepertinya. Ia juga sering ikut-ikutan untuk menggodaku bersama Dewi. Mereka benar-benar pasangan yang serasi untuk hal menggoda orang lain. Benar-benar terlihat jelas kesamaan ibu dan anak ini. “Cariin dia juga gak apa-apa kok, bibi gak marah. Bibi kenal Tomo Sudah lebih tiga tahun, jadi cukup tahu dia anaknya bagaimana. Baik, sopan, ramah, pintar, bersih, terus gateng lagi.” “Apaan sih bi…” aku benar-benar malu mendengar ucapan bibiku ini, karena jelas aku memandang kak Tomo hanya sebagai seorang kakak untukku.  “Iya deh, bibi diam saja. Oh iya, mau ikut bibi kepasar?” akhirnya bibiku menghentikan pembahasan mengenai Mas Tomo padaku.    “Mau bi.” ujarku semangat. Aku memang belum pernah kepasar sejak satu minggu berada disini. Aku sibuk membantu di home stay dan mulai rajin belajar untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi beberapa bulan lagi. “Ya udah kamu siap-siap dulu, gih. Bibi tunggu diluar ya.” Bibiku beranjak keluar dan aku segera masuk kekamar untuk mengambil dompet kecil milikku didalam lemari. Isinya memang tidak seberapa, namun kupikir akan berguna kalau ada sesuatu hal yang ingin kubeli. Sebelum pergi aku menyapa pamanku yang tampak sedang sibuk mengurus burung-burung peliharaannya di depan teras rumah. Koleksi burung pamanku cukup banyak, dan suara burung-burung inilah yang ternyata kudengar saat tiba di home stay ini pertama kalinya. Langit diluar sudah terlihat cukup cerah pagi ini, namun  jalan-jalan masih tampak sepi. Udara pagi dan segarnya angin yang berhembus begitu nikmatnya kurasakan dari atas motor yang kunaiki bersama bibiku. “Nanti kalau kamu ada waktu belajar bawa motor ya, terus buat SIM.” ucap bibiku tiba-tiba ditengah perjalanan kami. “Memangnya tidak apa-apa, bi?” “Ya tidak apa-apa, kamu kan sudah 17 tahun, sudah punya KTP. Kalau kamu belum 17 tahun, baru apa-apa. Bisa ditangkap polisi kamu kalau sampai keliling bawa motor terus ketahuan gak tanpa SIM. Nanti muncul lagi berita Nirmala, keponakan dari Ayu dan Bayu tertangkap polisi karena tidak punya SIM ya kan Malu bibi, Nir.” Ucap bibiku ini diiringi dengan guraunnya yang membuatku tertawa mendengarnya. Sunggu indah awal hari ini. Sepertinya bibiku cukup terkenal didaerah sini, terbukti banyak yang menyapanya. Keramahan bibi pasti benar-benar membuat banyak orang menyukainya. Bibiku berhenti sebentar, dan berbicara dengan seorang bapak yang sedang berjalan-jalan dengan putrinya yang terlihat masih SD. Aku hanya tersenyum dan menggangguk kearah bapak itu sebagai tanda sapaku. Tak banyak yang aku katakana dan diam mendengar pembicaraan bibiku dan bapak itu. Mereka berbicara dalam Bahasa Bali, jadi aku benar-benar tidak tahu apa yang mereka sedang bahas. “Bapak yang tadi itu luar biasa sekali.” bibiku mulai membahas bapak yang ia baru saja jumpai. “Isterinya sudah meninggal sejak beberapa tahun yang lalu, jadi dia sekarang menjadi orang tua tunggal untuk anak laki-laki dan perempuannya.” “Meninggal kenapa bi?” tanyaku penasaran. “Karena sakit. Oh iya, anaknya paling besar seusaimu dan Dewi, namanya Yudi. Dulu waktu kamu ke Bali, kalian pernah bermain bersama, kamu ingat gak?” Aku mencoba mengingat-mengingat cowok yang bibi baru saja katakan. “Ohh Yudi… Iya aku ingat bi… yang badannya berisi itu kan?” “Hahahaha, iya tapi itu dulu, kamu belum lihat saja dia yang sekarang seperti apa.” Bibiku tertawa mendengar ucapanku. Aku hanya diam saja karena merasa tidak ada yang lucu dari ucapanku. “Memangnya dia sekarang kenapa , bi?” “Sudah bagus badannya. Ganteng juga. Banyak tuh anak-anak cewek dekat sini yang suka sama dia.” “Oohhh…” aku tak menjawab banyak dan mulai berpikir tentang Dewi. Sepupuku sangat semangat saat membahas soal cowok-cowok yang menurutnya tampan, tapi dia belum pernah membahas mngenai Yudi saat aku disini padahal kita bertiga dulu cukup akrab. ***  Ternyata jarak pasar dari rumah tidak terlalu jauh. Aku merasa seperti baru lima menit diatas motor bersama bibiku dan sudah sampai di Pasar. Mungkin karena aku terlalu menikmati suasana pagi ini serta karena aku terlalu asik berbicara dengan bibiku. Jadi waktu terasa berjalan begitu cepat. “Turun dulu, Nir. Bibi parkir motor disana.” Aku segera turun dari atas motor dan menunggu bibiku memarkirkan motornya didekat jalanan dimana banyak motor berjejer disana. Aku memerhatikan sekelilingku. Layaknya pasar pada umumnya, begitu banyak aktvitas disini. Keramaian suara khas pasar juga dapat kudengar dari seberang jalan. “Yuk, Nir.” bibiku menarik tanganku dan kamipun menyebrang jalan yang sangat macet disini. Banyak orang yang menyebrang jalan bersama kami. Disebelahku ada ibu hamil yang kandungannya tampak cukup besar.  Wanita hamil itu berjalan mendahului kami, dan sesaat setelah ia mulai pergi memasuki pasar tiba-tiba aku merasa jiwaku seakan dibawa pergi membuatku menutup mata sesaat karena merasa pusing dan saat aku membuat mata, sekelilingku sudah terlihat berwarna jingga. Aku melihat vision lagi. Aku melihat keadaan didalam pasar. Keadaanya masih sama tampak normal tidak ada yang aneh, para pedagang dan pembeli saling tawar menawar belanjaannya. Aku juga melihat beberapa pedagang daging dan ayam sibuk mengurus jualannya. Didepan seorang pedagang ayam, ada seorang wanita yang tak asing dimataku.  Wanita itu adalah wanita hamil yang baru saja melewatiku. Aku memperhatikannya dengan lebih seksama. Tidak ada yang salah dengannya. Ia tampak mengenal bapak yang menjual daging ayam tersebut. Mereka berbincang dan sesekali tertawata, namun tiba-tiba wanita hamil berdaster biru itu memegang perutnya. Rembesan darah tampak mengalir dikakinya. “Haaahhh…” aku menarik nafasku dalam sesaat ketika jiwaku dan penglihatanku kembali kedunia saat ini. “Nir… Nir… Nirmala….” bibiku memandangku tampak  begitu cemas, namun aku belum bisa memberikan reaksi apapun saat ini. “Nirmala….” bibiku menggoyangkan badanku lagi, membuatku benar-benar bisa tersadar. “Iyaa…. Bi…” ujarku. “Kamu tidak apa-apa?” tanya bibiku masih dengan ekspresi cemasnya. “I…Iyaa… Tidak apa-apa, bi” aku menatap bibiku. Aku bingung harus mengatakan apa padanya. Aku harus segera mencari wanita hamil yang tadi kulihat. “Bi, Aku kesana sebentar ya, sebentar aja…” “Kamu mau beli sesuatu?” bibiku memandang aneh padaku. “Ehm… iya… Sebentar ya bi.. Nanti kalau tidak ketemu bibi, aku tunggu di motor saja ya, supaya bibi tidak capek mencariku.” Aku menatap kedua mata bibiku. Ia terlihat masih cemas dengan keadaanku. “Aku tidak apa-apa. Bibi berbelanjalah.” Aku tersenyum padanya dan saat bibiku mengijinkanku unutk pergi, aku segera berlari menerobos kerumuman orang dipasar ini, mencoba mencari wanita hamil itu. “Permisi…” “Permisi…” "Permisi..." Entah berapa kali aku mengatakannya. Aku terus menerus berjalan menerobos orang-orang dan terus mengedarkan pandanganku. Seharusnya tidak akakan sulit menemukai wanita hamil disini. Karena tidak menemukannya akhirnya aku mencoba mencari pedagang daging ayam. Aku bertanya pada seoarang ibu pedagang sayur-sayuran yang tengah merapikan jualannya. “Permisi bu, mau tanya penjual daging ayam dimana ya?” “Ini lurus aja, nanti belok kiri, disana ada tangga, nah naik sedikit disebelah kiri banyak penjual daging dan ayam.” “Terima kasih ya  bu…” aku mencoba tersenyum seramah mungkin pada ibu penjual sayur ini karena sudah sangat baik padaku. Segera kuberlari mengikuti arahan ibu pedagang tadi. Pencaharianku tidak sia-sia, ternyata wanita hamil itu ada didekatku. Ia sedang berdiri didepan penjual buah jeruk. Aku mencoba mendekatinya dan memulai percakapanku seramah mungkin agar tidak tampak mencurigakan. “Permisi mbak. Boleh tanya sesuatu?” aku benar-benar ragu dengan ucapanku kali ini. Aku berusaha agar tidak terkesan aneh, tapi aku merasa ini bukanlah awal percakapan yang benar. “Iya, ada apa ya?” logat Bali yang begitu kental keluar dari ucapan wanita muda yang sedang hamil dihadapanku ini. “Ehm.. begini, mungkin terdengar aneh. Saya mau tanya pakah perut mbak terasa sakit atau kram?” Wanita didepanku melangkah mundur dariku. Ia terlihat tampak tidak nyaman dan memberikanku tatapan penuh tanya dengan tangan yang memegang perutnya. “Memangnya kenapa?” tanyanya penuh kecurigaan padaku. “Mungkin lebih baik mbak pulang sekarang atau pergi ke puskesmas terdekat. Apa mbak sendirian?” Aku tahu aku kali ini pasti benar-benar terlihat seperti orang aneh yang berbicara tidak jelas. Tapi harus bagaimana lagi? Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Wanita dihadapankku ini masih memandangiku dengan tatapan aneh dan tidak menjawab pertanyaanku. Ia mungkin sedang berpikir mengapa bisa bertemu dengan gadis aneh sepertiku. “Kalau bisa, kumohon untuk bisa beristirahat dulu…” aku sudah sampai sejauh ini, jadi aku putuskan untuk tidak menyerah walau aku akan mendapatkan anggapan aneh sekalipun.  “Aku bersama suami kesini, sebenarnya aku merasa perutku sedikit kram  sejak semalam. Tapi kupikir aku akan baik-baik saja.” Akhirnya wanita ini menanggapiku. “Mbak lebih baik pulang saja, pergi periksakan kandungan mbak ya, akan berbahaya kalau tmbak paksakan diri…” Ia tampak ragu-ragu namun akhirnya ia menyetujui permintaanku. “Ehm… baiklaah…” wanita itu tidak mengatakan apa-apa lagi, wajahnya yang terlihat penuh tanya bercampur takut dan khawatir sudah menjelaskan perasaanya dengan sangat jelas padaku. Tanpa  banyak bertanya ia pergi meninggalkanku. Kuperhatikan waita itu berjalan kearah jalan keluar pasar. Beberapa kali ia menoleh kearahku yang masih diam memandanginya. Aku terus memantaunya dan ketika wanita itu sudah tidak menoleh lagi kearahku, aku berlahan berjalan mengikutinya. Aku ingin memastikan kalau wanita itu benar-benar keluar dari pasar dan bertemu dengan suaminya. Wanita itu benar bersama suaminya. Suaminya tanpak sedang duduk diatas motor diarea parkiran. Mereka berdua berbicara sebentar hingga akhinya sang wanita hamil itu menaiki motornya dan mereka berdua pergi meninggalkan pasar. “Nak…” aku mendengar suara samar yang seakan memanggilku. Suara hiruk pikuk pasar seharusnya membuatku tak mungkin mendengarkan suara pelan ini, namun anehnya aku dapat mendengarya. Seorang nenek menjual bunga-bunga segar yang digunakan umat hindu untuk bersembahyang duduk didekat dagangannya dan bersebelahan dengan dagang-dagang bunga lainnya. Ia berada sekitar 3 meter di sebelah kananku. “Mau beli bunga?” tanya nenek itu kepadaku saat aku menoleh kepadanya. Aku sebenarnya tidak membutuhkan bunga-bunga itu, tapi bibiku mungkin akan membutuhkannya. Nenek itu terlihat cukup tua dengan rambut yang nyaris sudah memutih semua terikat rapi tersanggul. Ia mengunakan kebaya putih gading khas umat Bali dan menggunakan kain juga. Penampilannya benar-benar sangat traditional. Beberapa bunga cempaka putih terlihat menghiasi rambutnya. Aku berjalan mendekatinya dan berniat untuk membantu nenek itu walau mungkin tidak banyak. “Beli satu bungkus aja, nek. Berapa?” tanyaku. Aku berjongkok didepan dagangannya karena merasa tidak sopan jika harus berbicaranya dengan keadaan berdiri. “ Seribu…” bunga-bunga yang kupesan dimasukannya kedalam plastik bening lalu diberikannya padaku. Saat aku mengambil bunga yang kubeli, tanpa disangka sang nenek mengatakan hal yang mengejutkanku. “ Satu nyawa masih berada digarisnya berkatmu.” “Maksud nenek apa?” tanyaku penasaran. Nenenk dihadapanku ini tak menjawab pertanyaanku dan memberikan pernyataan berikutnya yang membuat semakin penasaran akan ucapan dan sosoknya. “Dijaga baik-baik.” “Apanya yang dijaga baik-baik, nek?” kepalaku dipenuhi berbagai pertanyaanya yang tak bisa kujawab saat ini, hanya nenek inilah yang bisa menjawabnya. “Semesta diciptakan dengan kuasaNya. Yang mendapatkan anugerahNya harus mampu menjaga ikatannya. Noda akan mempengaruhi keseimbanganmu dengan sang Pencipta dan alam semesta.” Entah apa arti ucapan nenek ini, kalimat-kalimatnya diucapkan dengan begitu syahdunya dan seakan penuh rahasia, namun yang terpenting mengapa aku yang ditujunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD