Bagiku, sebuah pertemuan pertama merupakan suatu awal penuh misteri yang manusiapun tak bisa menentukan skenarionya, tak bisa menentukan arah tujuannya dan tak bisa melihat akhirnya ceritanya. Beberapa orang mungkin menilai pertemuan pertama merupakan sebuah awal cerita, namun yang lain mungkin berpendapat bahwa pertemuan pertama merupakan sebuah akhir.
Siapa yang tahu bagaimana selanjutnya?
Akupun tidak.
Walau Tuhan menanugerahiku dengan kemampuan melihat potongan masa depan, namun aku tak pernah bisa melihat sebuah awal ataupun akhir kisah itu.
***
Sudah satu jam lebih, aku, Dewi dan Paman Bayu berada di kantor Polisi untuk memberikan berbagai keterangan. Wulan dan gadis lainnya berada disana juga. Ia tak henti-hentinya berterima kasih padaku dan Dewi. Wajahnya yang sebelumnya terlihat dipenuhi duga kesedihan dan ketakutan kini terlihat penuh senyuman dan kegembiraan. Lukanya juga sudah diobati dan diperban, dia benar-benar terlihat seperti orang yang baru saja sembuh dari sakit keras.
“Jadi kamu pulangnya nanti bagaimana?” kuusap tangan Wulan yang sedari tadi mesih menggenggam jemariku.
“Nanti ada pak Polisi yang akan antarkanku pulang.”
“Syukurlah kalau begitu. Kamu memangnya tinggal dimana?” aku berpikir seandainya Wulan masih tinggal didaerah Kuta, mungkin ia bisa pulang kerumahnya bersama kami. Paman Bayu pasti dengan senang hati mau membantu Wulan.
“Aku tinggal di Kintamani, mbok. Eh, maksudnya mbak…”
Aku tersenyum memperhatikan bagaimana Wulan yang kini terlihat sangat berbeda dari sebelumnya. “Gak apa, panggil mbok aja. Kan sama aja. Kintamani itu jauh ya dari sini?”
Aku tidak terlalu mengenal nama-nama tempat di Bali, hanya nama-nama tempat yang terkenal saja yang cukup aku tahu.
“Lumayan, mbok. Nanti kalau mbok ada waktu, main-main kesana ya. Bapakku ada usaha kebun kopi ya walau gak terlalu besar juga sih. Nanti aku kasi kopi gratis.”
“Iya, nanti kalau ada waktu, aku pasti akan main-main kesana.” ini bukan hanya sekedar janji sebagai pemanis hubunganku dan Wulan. Namun aku memang benar-benar ingin bertemu lagi dengannya jika memang ada kesempatan.
“Beneran ya mbok, nanti mbok cari aja disana kampung tempat penghasil kopi terus cari nama bapakku , pak Sukarta. Nanti pasti ketemu rumahku.”
Mendengar penjelasan Wulan mengenai usaha keluarganya, terkesan kalau Wulan bukan berasal dari keluarga yang kekurangan “Oh iya Wulan. Kalau boleh tahu kamu kenapa bisa sampai terjebak di kasus perdagangan seperti ini?”
Wulan menundukkan wajahnya. “Ehm… salah aku sebenarnya, Mbok. Aku ingin bisa keluar negeri, sebenarnya itu saja alasannya. Orang tuaku sebenarnya tidak setuju dan minta aku selesaikan sekolahku dulu disini. Tapi akunya aja yang terlalu nakal dan terlalu percaya ucapan orang lain. “ wajah ceria Wulan kini berubah menjadi murung. Ia terlihat sangat menyesali perbuatannya.
“Yang lalu biarlah berlalu, cukup jadikan pelajaran aja ya. Sekarang kamu cukup turuti orang tuamu dan buat bangga mereka.” Kuusap lembut bahu Wulan. Gadis itu memeluk kembali dengan erat.
Hari ini adalah pertemuan pertamaku dengan Wulan, aku berharap akan ada pertemuan berikutnya dengan gadis ini.
***
Waktu sudah menunjukan hampir jam 11 malam, saat aku, Dewi dan paman Bayu menuju perjalanan kembali kerumah.
Begitu banyak ceramah yang diberikan paman Bayu kepadaku dan Dewi. Alih-alih mendengarkannya dengan cermat, aku malah merasakan letih dan kantuk yang luar biasa. Aku tidak bisa fokus dengan apa yang diucapakan paman Bayu, seperti kata banyak orang masuk telinga kanan keluar telinga kiri, mungkin inilah yang sedang terjadi padaku kini.
“Kalian pahamkan?” paman Bayu akhirnya menghentikan ceramah panjangnya dan dengan serempak aku dan Wulan mengiyakan perkataannya.
“Kita isi bensin dulu ya…” mobil kami berbelok arah menuju sebuah pom bensin yang berada tak jauh dari rumah kami.
“Paman, Mala ke toilet sebentar ya, kebelet. Kebanyakan minum air tadi di kantor Polisi.” ucapku apa adanya. Efek petualanganku bersama Dewi yang penuh dengan kegiatan fisik membuatku benar-benar sangat kehausan.
“Iya, hati-hati ya. Mau ditemani Dewi?” kutoleh kearah Dewi yan terlihat sangat ngantuk. Ia jelas merasakan yang sama denganku. Aku tidak tega mengganggunya yang terlihat sudah sangat nyaman di kursi belakang pengemudi.
“Gak usah, Mala bisa sendiri kok.” segera aku keluar mobil dan berlari menuju toilet yang berada masih diarea pom bensin ini.
Tak kusangka ternyata toiletnya hanya ada satu dan itu toilet campuran. Aku berdiri menyandarkan diri dibelakang tembok sambil menunggu seseorang yang masih menggunakan toilet. Beberapa menit berlalu, akhirnya orang itu keluar.
Aroma alkohol tercium jelas saat seorang pria dengan kulit kemerahan keluar dari dalam toilet. Dari wajahnya terlihat bahwa pria ini bukan orang Indonesia. Kulitnya putih kemerahan,dan matanya cukup tajam, namun tidak sipit, rambunta hitam lebat.
“Permisi” ujarnya sambil berlalu melewatiku. Aku bergeser sedikit memberinya jalan karena lorong di toilet ini tidaklah cukup besar untuk kami berdua.
Benar dia bukan orang Indonesia, walau ia bisa mengucapakan Bahasa Indonesia, logat bicaranya seperti orang asing yang sedang mencoba berbicara Bahasa Indonesia.
Aku melihat Handphone yang tertinggal didalam toilet saat aku hendak masuk kedalamnya. Mungkin itu adalah handphone milik pria yang baru saja melewatiku. “Mas… Eh Mr… Pak…” teriakku kepada pria berbau alkohol tadi.
Pria itu menoleh kebelakang dan menatapku. “Ada apa?” tanyanya dengan ramah.
Oke, untuk orang asing Bahasa Indonesianya cukup bagus menurutku. Jadi kupikir aku bisa menggunakan Bahasa Indonesia berbicara padanya. “Ini Handphonenya tertinggal.” ujarku sambil menunjuk Handphone yang kini berada ditangan kananku.
“Aah, itu bukan Handphone saya ya. Tadi saya juga lihat handphone itu.” Pria itu tersenyum ramah kepadaku.
“Oh, baiklah kalau begitu. Aku akan berikan ini kepada orang yang bekerja di Pom bensin ini saja, mungkin nanti pemiliknya akan mencariya disini. “
“Iya, silahkan saja ya. Saya permisi dulu.” pria itu meninggalkanku dengan handphone ditanganku. Sudah sangat jelas kalau pria itu bukan orang Indonesia. Sangat jarang ada orang yang akan diam saja melihat handphone sebagus ini tergelatak begitu saja ditempat umum seperti ini. Apalagi handphone adalah barang yang sangat mahal saat ini dan tidak banyak orang juga yang memilikinya.
Selesai dari toilet, aku pergi menuju kantor kecil yang merupakan kantor dari pom bensin ini. Disana aku menjelaskan mengenai penemuanku terhadap handphone yang baru saj aku temukan dan menyerahkannya pada petugas disana untuk membantu menjaganya seandainya pemiliknya datang mencarinya.
“Mal… yang tadi bagaimana?” aku terkejut mendengar Dewi yang tiba-tiba menghampiriku saat aku baru keluar dari kantor tempatku menyerahkan handphone yang kutemukan. Aku pikir sepupuku ini sudah tidur pulas didalam mobil.
“Bagaimana apanya, Wi? Bagaimana Handphone yang aku temukan maksudnya??” tanyaku balik padanya.
“Kamu ketemu handphone?” tanya Dewi kembali kepadaku. Isi percakapan ini dipenuhi oleh pertanyaan.
“Iya, tapi aku sudah serakkan pada pekerja disini, siapa au nanti pemiliknya mencarinya.”
“Oh… tapi sebenarnya bukan soal itu yang mau aku tanyakan, tapi soal Itu lo, tadi ada cowok pakai baju berkerah putih lengan pendek dan celana cokelat dari arah toilet. Kulihat kamu sempat bicara sama dia.”
“Oh itu. Iya aku sempat berbicara dengannya mengenai Handphone. Kupikir itu miliknya. Kenapa memangnya?”
“Iiihhh ganteng banget begitu. Kamu malah bilang kenapa.” Suara Dewi cukup kencang membuat beberapa pengendara motor yang sedang mengantri untuk membeli bensin menoleh kearah kami.
“Kamu ada nanyak namanya gak?” Dewi melanjutkan ucapnnya dengan nada penuh semangat.
“Kenapa aku harus tanya namanya, Wi?” aku benar-benar tak paham dengan perkataan sepupuku ini. Megapa aku harus bertanya nama pada pria asing yang baru aku temui didepan toilet pula.
“Ya untuk kenalanlah Mala.”
“Kenapa aku harus kenalan sama dia,Wi?” percakapan kami benar-benar terasa seperti permainan pimpong, melempari pertanyaan yang sama berulang kali.
“Oh my God, Mala. Usia kamu ini berapa sih? Masa begitu aja gak paham.” Dewi tampak gemas padaku. Sedari tadi ia terlihat mengantuk, namun kini bisa-bisanya ia terlihat begitu segar membahas topik yang tak kupahami ini.
“Usiaku kan 19 tahun, sama kaya kamu.” ucapku menjawab pertanyaan Dewi yang terasa semakin aneh ini.
“Iya, aku tahu usia kamu 19 tahun, Mala sayang. Maksud aku, kamu harusnya kenalan sama cowok tadi itu. Didepan ada emas, malah gak diamabil.”
“Dimana ada emas? “ aku menatap sekelilingku mencoba mencari emas yang dikatakan Dewi padaku.
“Malaa… bukan itu maksudku. Maksdunya, kalau ada kesempatan ketemu pria yang terlihat begitu rupawan seperti itu harusnya kamu manfaatkan untuk berkenalan.” Dewi menjelaskan panjang ucapannya yang masih saja membuatku tak mengerti tentang arah topik pembicaraan ini.
“Iya Dewi sayang, tapi kenapa aku harus berkenalan sama dia?” aku meniru ucapan dan nada bicara Dewi karena benar-benar tidak tahu harus menjawab apa lagi. Bisa-bisanya kami membahas ini berputar-putar terus seperti ini.
“Dewi, Mala! Ayo pulang.” Paman Bayu memanggil kami dari kejauhan untuk segera naik kedalam mobil.
“Kalian ini, malah ngobrol disana. Ini ibu sudah nelpon dari tadi, khawatir sama keadaan kalian berdua.” Nada ucapan pamanku mulai berubah seperti tadi saat sedang menasehatiku dan Dewi. Mungkin sebentar lagi kami akan mendengarkan nasehatya lagi. Iya, pamanku ini memang benar-benar perhatian kepada anaknya dan padaku.
“Lain kali, kalau ketemu cowok seperti yang tadi, kamu ajak kenalan ya Mal.” Dewi berbisik kepadaku. Bicaranya sangat pelan agar tidak terdengar ayahnya.
“Untuk apa, Wi?” aku ikutan berbisik sepertinya.
“Ya ampun, Mal. Ya supaya bisa kenal. Siapa tahu ada yang single dan ada yang nyangkut kan lumayan.” Ucap Dewi masih sambil berbisik.
“Nyangkut bagaimana maksudnya?”
“Nyangkut di hatimu dan dihatinya , Mal… Siapa tahu ada yang suka sama kamu, kan luamyan.” Akhirnya aku paham semua yang diucapakn Dewi sedari tadi padaku. Ternyata topik ini tidak jauh-jauh soal masalah asmara.
“Malulah Wi, masa aku harus duluan ajak cowok kenalan. Aku juga gak berminat dekat sama cowok untuk sekarang. Fokusku bukan kesana.” Iya, memang begitulah yang kuraskaan. Aku tak ada kepikiran untuk menjalani hal-hal asmara seperti itu untuk saat ini. Aku harus fokus bagaimana bisa bekerja dan serius sekolah saat ini demi keluargaku.
“Ya namanya jodoh, Mal. Kan gak ada yang tahu datangnya dari mana dan kapan. Siapa tahu jodohmu itu dari cowok-cowok yang kamu ajak kenalan. Iyakan?”
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan sepupuku itu. Ucapannya kurasa benar, tak ada yang bisa menebak jodoh itu siapa dan dari mana datangnya. Namun aku yakin, bila saatnya tiba namun bukan sekarang yang pasti, aku akan menemukan seseorang yang bisa kubilang jodohku.
“Siapa yang jodoh siapa?” pamanku sepertinya mendengar ucapan Dewi dan menyahut ucapnnya. “Kalian ini masih terlalu muda untuk berpikir soal jodoh, bapak bukannya melarang, namun ada prioritas yang harus kalian pikirkan dulu sekarang. Jadi orang dulu, nanti jodoh akan menyusul.”
Aku tak membalas ucapan pamanku itu karena merasa malu, namun berbeda dengan Dewi ia dengan cepat menyambar ucapan ayahnya. “Iyakan usaha pak, nyicil gitu lo pak carinya.”
“Kamu pikir kreditan , mau nyicil-nyicil segala. Kalau Tuhan sudah bilang ini jodohmu ya langsung ketemu, gak perlu nyicil-nyicil, Wi. Kalau jodoh biar lari kemana juga pasti ketemu, tapi kalau bukan jodoh ya walau dikejar-kejar sampai ujung duanipun gak mungkin bersama. Ingat itu aja…”
“Iyaa tau deh, bapak kan udah ketemu jodohnya. Aku kan belum, ya belum tau bagaimana jalan ceritanya pak.” Dewi masih saja membalas ucapan pamanku, dan aku hanya menjadi penonton sekaligus pendengar pembicaraan mereka.
“Kalau jodoh, setelah pertemuan pertama pasti ada pertemuan kedua, pertemuan ketiga, pertemuan keempat, begitu terus sampai nanti kalian sendiri yang menyadari bahwa kalian telah menemukan jodoh kalian.” pamanku mengakhiri pembicaraannya. Mendengar ucapannya aku tertegun sejenak, memikirkan perilahal pertemuan dan jodoh. Topik yang sangat jarang aku bahas atau aku pikirkan namun terdengar sangat menarik untukku.
Entah siapa jodohku, namun akan kuingat benar ucapan pamanku hari ini, kalau jodoh pasti tidak bisa dihindari dan setelah pertemuan pertama akan ada pertemuan berikutnya. Ide yang sangat sederhana sebenarnya, namun sangat masuk diakal.