PART 10 - RAMALAN

1620 Words
Ibuku pernah berkata, jangan mudah percaya ucapan orang yang baru dikenal atau orang asing. Namun entah mengapa hatiku berkata bahwa nenek dihadapanku ini mengatakan sesuatu yang harus kuingat dan harus kusimpan dalam hatiku.  “Saat matahari terbenam, diantara perpisahan antara daratan dan lautan. Kau akan bertemu seseorang yang harus kau hindari. Garis hidupmu akan membawamu terus padanya. Namun masih ada kesempatan untuk menghindarinya, dengan jalan itu kau akan mampu menghentikan malapetaka yang akan terjadi padamu dan duniamu.” perkataan nenek ini seakan membawa sesuatu yang ganjil dihatiku. Memberikan perasaan hangat namun sekaligus kengerian. “Cinta berasal dari sesuatu yang murni. Nafsu sebaliknya. Anugerah yang kau miliki berasal dari sesuatu yang murni. Jaga kemurnian itu Nirmala.” “Nirmala…” Nenek didepan ini baru saja menyebutkan namaku. Iya mengetahui namanya dan menyebutnya tanpa ragu. Ini jelas pertemuan pertama kami, dan sangat jelas aku tidak memperkenalkan diriku sebelumnya padanya. “Nek, bagaimana nenek tahu…” belum usai aku berbicara suara bibiku tiba-tiba terdengar memanggilku dari  arah belakangku. Bibiku berjalan dengan cepat mendekatiku. “Nirmala…” bibiku mengulangi panggilannya padaku. Aku segera bangkit berdiri dan menoleh kearah suara bibiku.  “Sudah selesai belanjannya, bi?’ tanyaku saat melihat keranjang belanjaannya sudah nyaris penuh. Ia bahkan membawa sekantong buah jeruk didalam tas plastiK ditangan kirinya. “Sudah, kamu beli apa?” bibiku memperhatikan barang yang ada ditangan kananku.  “Ini…” aku menunjukan plastik berisi bunga segar yang baru kubeli dari nenek yang sedari tadi kuajak berbicara. “Untuk apa beli bunga?” bibiku mnyernyintkan dahinya menatap bunga yang kubawa. “Untuk bantu nenek itu.” aku menoleh kebelakangku untuk memberitahukan bibiku tantang sosok nenek yang baru kutemui. “Nenek yang mana?” bibiku mengikuti pandanganku melihat bagian penjual bunga. “Tadi ada nenek-nenek yang jualan disana.” aku yakin dengan hal itu karena aku sudah berbicara dengannya cukup lama. Namun yang kini berada ditempat nenek itu adalah seorang gadis muda yang tampak seusiaku. Ia menggunakan kaos biru dan rok hitam bukan kebaya. “Tadi beneran ada nenek yang jualan disana, bi.” kuyakini bibiku pada apa yang kulihat. “Oh, mungkin neneknya sudah pergi dan digantikan gadis itu. Yuk kita pulang.” “Tapi, bi.” Itu hal yang benar-benar mustahil terjadi bagaimana mungkin dalam hitungan detik nenek itu bisa menghilang begitu saja. Aku hanya menoleh sebentar kearah bibiku dan saat berbalik nenek itu sudah digantikam oleh gadis muda itu. “Sudah, Nir. Mungkin nenek tadi sudah pergi.” bibiku hendak berjalan pergi namun kuminta untuk menungguku sejenak. Aku kembali kedagang bunga tadi dan mulai bertanya perihal nenek yang baru kujumpai. “Mbak, tadi ada nenek-nenek yang jualan disini kan? Ini aku beli bunganya.” gadis muda dihadapanku ini mulai memandang aneh padaku. “Tadi kan mbaknya memang beli bunga disini, tapi tidak ada nenek-nenek yang jualan disini.” “Tadi saya sempat ngobrol dengan nenek itu, mbak. Cukup lama.” aku masih kukuh dengan ucapanku karena kau yakin benar dengan apa yang kualami adalah nyata. “Tidak ada mbak, mbak tadi beli bunga, terus bayar, terus sudah begitu saja. Ini uangnya.”  penjual bunga ini menatapku, mencoba menyakiniku bahwa ucapannya benar. Ia bahkan menunjukan uang seribu rupiah yang tadi kugunakan untuk membayar. “Apa penjual bunga ini berbohong padaku?” Namun sangat tidak mungkin juga kalau pedangan bunga ini berbohong padaku, untuk apa dia melakukan itu. Aku bukan siapa-siapa. Tidak ada untungnya dia melakukan itu. Aku tertegun sejenak. Aku masih tidak bisa berhenti berpikir, bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi. Aku mengingat dengan jelas semuanya. Aku tidak hanya membeli bunga, namun lebih dari itu. Nenek itulah yang memanggilku, suaranya jelas, ucapannya jelas, ia bahkan mengetahui namaku. Semuanya benar-benar jelas. “Nir…” bibiku menyentuh pundaku. Aku menatap kearahnya. Pikiranku masih benar-benar tak mempercayai hal yang baru saja terjadi padaku. “Yuk kita pulang.” aku hanya mengangguk membalas ucapan bibi. Rasanya otakku begitu kacau. Ini jelas bukan mimpi, lamunan atau khayalanku semata. Sepanjang perjalanan pulang dari pasar hingga sampai home stay, aku terus memikirkan pertemuanku dengan nenek berkebaya itu. Setiap kata-kata yang ia ucapkan seakan bermelodi ditelingaku, berulang-ulang hingga aku tak menyadari bahwa kami sudah sampai di home stay. “Kamu baik-baik sajakan?” bibiku menyentuh keningku saat kami turun dari  motor. “Kamu melamun terus dari tadi.” lanjut bibiku. “Mala baik-baik saja, bi.” Aku mencoba tersenyum senormal mungkin, aku tidak ingin membuat bibiku ini khawatir padaku. *** Usai membantu bibiku merapikan belanjaannya. Aku segera berlari menuju kehalaman belakang home stay. Aku mencari Dewi, ia biasanya setiap pagi ada disana untuk memberi makan ikan-ikan peliharaannya. Halaman belakang home stay ini hawanya sangat menyejukan  karena dipenuhi pepohonan mangga dan rambutan. Ukurannya yang lebih besar dari halaman depan home stay membuat lebih banyak tempat bersantai disini. Bahkan terdapat kolam berenang disini, ukurannya tidak terlalu besar, namun seperti kata pamanku, bisa digunakan tamu untuk berendam. Tah hanya itu, ada juga  kolam ikan yang terbuat dari susunan batu-batuan dibagian paling utara didekat tembok. Disinilah Dewi berada saat ini. Aku memperhatikan sekeliling halaman belakang ini, ada beberapa tamu yang sedang duduk menikmati sarapannya disebuah ruangan terbuka tanpa jendela dan beratapkan jerami. Tak jauh dari sana, terdapat dapur dari home stay disini. “Wi…” panggilku kepada sepupuku itu yang tengah fokus melemparkan makanan kedalam kolam. “Iya, Mal.” Dewi menghentikan kegiatannya dan menatapku yang setengah berlari mendekatinya. Aku bingung apakah harus menceritakan hal yang baru saja aku alami di pasar atau tidak padanya. Sepupuku mungkin tidak akan percaya dengan ucapanku dan aku mungkin akan membebani pikirannya oleh perkatanku. Baru beberapa hari ini ia benar-benar pulih dan tidak terbangun tengah malam lagi, aku tidak ingin membuatnya terlalu banyak berpikir. “Ehm… tidak apa-apa.” “Kirain ada apa, kamu serius gitu mukanya.” Dewi melemparkan makanan ikan kembali kearah kolam yang berukuran sedang ini. Kolam ini sudah ada cukup lama sejak home stay ini dibangun. Aku memandang ikan-ikan yang ada didalam kolam. Jumlahnya cukup banyak. Berwarna putih, hitam, kuninh, merah. Sangat cantik berenang kesana kemari mengejar makanan yang Dewi lemparkan. “Kamu percaya ramalan gak, Wi?” aku berpikir untuk membahas hal ini saja cukup, tidak perlu menceritakan tentang pertemuanku dengan nenek misterius di pasar. “Tergantung.” jawab Dewi singkap. “Tergantung apa?” tanyaku. “Tergantung sumbernya dari mana. Kalau sumbernya cuma dari majalah-majalah atau koran ya gak percaya aku. Ya kali, semua orang bisa memiliki nasib yang sama. Tapi kalau sumberya dari seseorang yang terlihat meyakinkan, mungkin aku bisa percaya.” “Oh, kamu pernah diramal gak, Wi?”   “Belum pernah. Memangnya kenapa, Mal? Tumben kamu tanya hal-hal begini.” Dewi membersihkan tangannya. Ia telah usai memberi makan ikan-ikannya lalu berjalan mendekatiku. “Gak ada, aku hanya penasaran aja.” ucapku. Aku harus menghnetikan topik ini sampai disini sebelum aku mulai tanpa sengaja membahas hal yang tak tak seharusnya kubahas. “Pasti ada sesuatu, gak mungkin kamu tiba-tiba membahas topik seperti ini.” Dewi mulai bertindak bak detektif lagi. Aku lupa kalau sepupuku ini punya rasa ingin tahu yang sangat besar akan sesuatu, harusnya aku tidak membahas topik ini dari awal. “Gak ada, Wi. Beneran deh.” “Beneran? Cerita aja Mal, kamu mau diramal kah?” ingin kumengatakan bahwa aku baru saja diramal dan diberi peringatan oleh sosok yang walau kujelaskan panjanag lebar padanya tak akan bisa diterima oleh nalar dan logikanya sekalipun. “Gak Wi. Siapa juga yang mau diramal.” “Iya, siapa tahu kamu diramalkan.” Dewi mengikutiku, dan duduk di duduk di atas kursi kayu didepan kolam bersamaku. “Oh ya kamu tau gak Mal? Ibu pernah bilang, kalau nenek buyut kita bisa meramal lo, Mal. Kamu pernah dengar itu gak?” “Seriusan?” ini pertama kali aku mendengar cerita mengenai ini. Waktu ayah masih hidup, ayah lebih banyak bercerita mengenai kakek dan nenek. Ia banyak menceritakan mengenai buyut-buyutku, selain sebuah fakta bahwa mereka merupakan seorang pejuang kemerdekaan. “Iya, dia bisa melihat masa depan, begitu katanya ibu. Jadi nenek buyut kita menjadi salah satu orang yang berperan penting saat masa penjajahan dulu. Kenapa ada daerah-daearh yang tidak bisa dikuasai Belanda, ya selain karena perjuangan bangsa Indonesia, hal lainnya karena ada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk meramal ini. Jadi nenek buyut kita bisa tahu kapan waktunya tentara Belanda akan menyerang, perkiraan jumlah mereka, apa yang mereka akan lakukan, intinya semua yang akan terjadi dimasa depan. Hebat banget gak sih itu.” Aku terdiam mendengar ucapan Dewi.  Ini jelas sebuah fakta yang menjawab setiap rasa ingin tahuku mengenai anugerah yang kumilki. Membuatku memahami tentang diriku sendiri saat ini. Aku mulai mengerti bahwa kamampuanku melihat masa depan ini bukanlah hal yang tabu, bukan aku saja yang memilikinya, namun ada keluargaku juga mendapatkan anugerah ini. “Tau gak, yang lebih keren apa, Mal?” Dewi masih terus menceritakan mengenai kisah nenek buyut kami sedangkan aku masih beradaptasi dengan fakta mengejutkan ini. “Nenek buyut kita dari awal sudah bisa meramalkan kapan Indonesia akan merdeka bahkan jauh sebelum itu benar-benar terjadi. Aku gak percaya kita berasal dari keturunan orang sehebat itu.”  “Tapi sayang, nenek buyut kita meninggal saat masih muda. Setelah melahirkan ia meninggal. Jadi kakek kita dibesarkan seorang diri oleh kakek buyut kita.” “Meninggal kenapa?” aku menatap Dewi. “Aku tidak tahu penyebabnya, ibu tidak tahu juga penyebabnya. Hanya kata ibu, nenek buyut meninggal saat melahirkan. Jadi kemungkinan karena kesulitan saat melahirkan. Nenek buyut melahirkan saat usianya sangat muda. Kau tahu sendirikan, dulu mana ada rumah sakit dan peralatan secanggih saat ini.” “Memangnya usia berapa nenek buyut meningalnya, Wi? Kamu tau?” aku benar-benar penasaran mendengar kelanjutan cerita ini. Mungkin karena aku dan nenek buyut, memiliki kemampuan yang sama jadi setiap kisahnya begitu menarikku untuk tahu lebih dalam. “Kalau gak salah, sebelum usia 20, Mal. Aku kurang tahu pastinya.” Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Dewi. Kalau kupikirkan nenek buyut jelas memiliki kemampuan melihat masa depan lebih dari yang kumiliki. Ia bahkan mungkin mengetahui kapan ia akan kehilangan nyawanya. Ya Tuhan... Bukankah itu begitu miris dan menakutkan? Mengetahui bagaimana diri sendiri akan meninggal, kapan itu, bagaimana akan terjadi. Itu benar-benar menakutkan untukku. Kalau boleh memilih, aku lebih baik tidak mengetahui hal itu. Kutatap sinar mentari yang masuk melewati celah-celah dedaunan pohon, membuatku mulai memikirkan bahwa begitu banyak hal yang terjadi hari ini. Hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Bertemu seorang nenek di pasar, mendengarkan fakta mengenai nenek buyutku yang ternyata bisa melihat masa depan sepertiku. Aku percaya apa yang terjadi hari ini bukanlah sebuah hal yang semata-mata terjadi tanpa sebab dan alasan. Aku masih belum tahu alasannya apa, tapi mungkin suatu hari aku akan mengetahuinya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD