Aku begitu bersemangat siang ini karena untuk pertama kalinya aku akan pergi bersama paman Bayu untuk jalan-jalan. Sebenarnya paman Bayu akan memabawa tamu dari Jakarta dan karena masih ada cukup ruang untukku didalam mobil, aku diajak juga untuk menkimati tempat wisata disini.
Pamanku sedari tadi hanya tersenyum melihat tingkahku, membuatku bertanya-tanya, apa ada yang salah denganku.
“Paman tumben lihat kamu bersemangat sekali hari ini.” Ujar pamanku itu sambil mencari kunci mobilnya yang katanya ia letakan di atas meja ruang tengah.
“Iya kan mau jalan-jalan.” jawabku. Aku ikut mencari kunci mobil agar kami tidak terlambat menjemput para tamu siang ini.
“Akhirnya ketemu juga, dari tadi dicariin.” akhirnya pamanku berhasil menemukan kunci mobil yang ternyata berada di balik batanlatan sofa.
“Sudah siap semua, Mal?” paman menatapku sekilas sambil mempersipakan barang bawaannya.
“Sudah.” aku menunjukan tas selempang yang kubawa. Tas ini berwarna dasar putih dengan motif bunga matahari, sangat cantik. Aku meminjamnya dari Dewi semalam setelah pamanku memutuskan untuk mengajaku di tour nya hari ini.
“Mala gak mabuk saat lama naik mobil kan?”
“Gak kok…”
“Oke bagus kalau begitu.”
Aku mengikuti langkah paman yang berjalan begitu cepat menuju halaman home stay. Kami segera memasuki mobil dan duduk dibangku depan bersamanya. Seandainya nanti ada tamu yang mau duduk didepan, aku akan berpindah kebangku belakang, tapi kalau tidak ada yang mau duduk didepan, akulah yang akan seterusnya duduk disini.
“Pasang sambuk pengamannya. Kita akan jemput tamu-tamu dulu di Hotel.” kebetulan tamu-tamu itu tidak menginap di home stay ini dan memilih untuk tinggal di sebuah hotel didekat pantai Kuta, tidak jauh dari home stay ini.
***
Empat orang wanita kini sudah bersama kami. Mereka terlihat sangat cantik dengan rambut yang diwarnai pirang dan badan yang tinggi dan langsing bak model. Aku tidak tahu berapa usia mereka, namun mugkin mereka lebih tua dariku. Pakaian yang mereka gunakan layaknya orang kebanyakan yang berlibur disini, namun terlihat sedikit terbuka untukku yang hanya menggunakan celana jeans milik Dewi dan kaos oblong kebesaran yang biasa kugunakan sehari-hari.
“Kita jadi ke tanah lot kan, pak?” tanya seorang wanita yang duduk dibangku paling depan. Aku kini duduk dibangku paling belakang.
“Iya, mbak. Kita ke Pura Taman Ayu dulu setelah itu ke Tanah Lot. Mohon maaf sebelumnya, tidak ada yang halangankan hari ini?”
“Halangan bagaimana maksudnya, pak?” seorang wanita yang duduk dibangku belakang paman menoleh kearah pamanku yang sedang fokus pada jalanan dihadapannya.
“Maksudnya, mbak-mbak disini tidak ada yang sedang ada tamu bulanan?”
“Oh… tidak ada pak, tenang aja.” ujar salah seorang wanita lainnya.
“Memangnya kenapa kalau ada yang sedang ada tamu bulanan, pak?” wanita berambut ikal yang duduk disebelah pamanku terlihat penasaran.
“Bagi kami, Pura itu tempat suci, menjadi tempat persembahyangan juga selain tempat wisata. Wanita yang sedang ada tamu bulanan itu sedang kotor istilahnya, jadi dilarang untuk memasuki tempat suci. Ini berlaku juga untuk beberapa tempat wisata disini seperti Pura Tanah Lot, Pantai Pandawa, Pura Besakih, Uluwatu, dan beberapa lainnya.” Penjelasan panjang pamanku membuat beberapa wanita manggut-manggut sedang seorang dari mereka yang berambut sangat pendek seperti potongan rambut laki-laki sibuk mengetik sesuatu di handphonennya.
“Kalian begitu aja gak tau.” ujar wanita berambut paling pendek yang sedang kuperhatikan dari belakang. Aku memandangi kulitnya yang terlihat paling eksotis dibandingkan teman-temannya yang lainnya. Kulitnya terlihat cantik, bersih, mengkilat, pasti lembut saat disentuh.
“Iya kan ini pertama kalinya kita kesini, Nit. Jadi wajarlah kalau kita gak tau.” dari nada ucapan wanita itu aku tahu, kalau ia cukup kesal dengan ucapan temannya.
“Iya santai aja dong, gw kan biasa aja ngomongnya.” balas wanita berambut pendek itu pada temannya. Iya pasti cukup sadar kalau temannya itu tak nyaman dengan ucapannya.
“Iya lo juga biasa aja dong. Kita juga tahu kali kalau lo yang paling sering kesini.” sepertinya perdebatan antara wanita berambut ikal dengan wanita berkulit eksotis ini tidak akan cepat selesai.
“Heh, udah dong. Kita kesini buat liburan ya, kalau mau berantem udah di Jakarta aja, ngapain jauh-jauh kesini cuma buat berantem aja.” lerai wanita yang duduk dubangku paling depan. Keadaan tenang seketika itu juga.
Wow, dia pasti pemimpin kelompok ini. Kuperhatikan gadis cantik yang sedang ngobrol dengan paman. “Oh ya pak, nama bapak Pak Bayu, kan?”
“Iya, mbak.” pamanku menjawab seadaanya.
“Nama saya Bella, pak.”
Wanita berambut panjang beranama Bela yang duduk bersama pamanku tampak paling ramah diantara yang lain. Ia juga satu-satunya yang tersenyum ramah padaku saat bertemu di hotel, dia bahkan menanyakan namaku. Aku merasa begitu kagum padanya. Ia tampak seperti wanita berpendidikan, tutur katanya bagus, dan juga sangat rupawan.
Butuh waktu sekitar satu jam hingga kami tiba di Pura Taman Ayu Mengwi atau dikenal dengan sebutan Taman Ayu Temple. Tak terasa untukku, karena aku terlalu sibuk menikmati pemandangan yang ada sekaligus mendengar penjelasan pamanku mengenai tempat-tempat yang kami lewati.
“Ini panas banget sih. Mana gw gak bawa payung lagi.” gadis berambut ikal menatap keluar jendela mobil dan tampak berpikir untuk keluar mobil atau tidak.
“Ya elah, kan tadi lo sudah pakai sunblock sebotol. Masih aja bawel.” sepertinya hubungan antara wanita berambut iklal dan wanita berpotongan rambut pendek ini kurang baik. Ini sudah perdebatan kesekian kalinya yang kudengar sejak bersama mereka hari ini.
“Nita, Audrey! Bisa gak sih kalian tenang sedikit. Pusing aku tuh dengarnya dari tadi tahu!” lerai gadis lainnya yang tadi kudengar bernama Andien.
“Kok gw sih, Dien. Ini ni si Nita yang ngeselin banget dari lahir.”
“Eh lo itu yang terlalu sok-sokan manja, udah tahu mau liburan ke Bali ya kena panas lah. Sana lo liburan ke kutub biar dingin terus.”
“Sudah lah, kasihan tuh pak Bayu sama Nirmala sudah tunggu kita diluar. Kalian masih aja ribut.”aura mbak Bela itu memang beda. Sekali dia ngomong saja bisa langsung membuat teman-temannya diam dan tenang.
Aku melirik pamanku yang masih tampak tenang dengan keadaan saat ini. Ia mungkin sudah terbiasa menghadapi tamu-tamu yang seperti ini.
“Pakai kainnnya.” Mbak Nita tampak menggunakan kain Bali dipinggangnya. Ia jelas memahami bahwa berada disini tidak boleh menggunakan celana pendek atau rok pendek. Teman-temannya mengikuti apa yang dilakukannya.
“Rencananya Taman ini mau diusulkan pada UNESCO agar bisa dimasukan dalam World Heritage List, semoga saja bisa terlaksana.” ujar pamanku saat kami akan memasuki taman.
“Luar biasa ya pak, semoga saja UNESCO bisa menyetujuinya.” balas mbak Bella dengan ramah.
Ini pertama kalinya aku berada ditaman ini. Kata paman ini merupakan Pura taman air terbesar di Bali, namun entah mengapa disini teralihat tidak terlalu banyak pengunjungnya, hingga memberikan kesan lebih tenang dan damai.
Langit yang begitu biru, hijaunya rumputan di dalam taman ini serta indahnya bangunana-bangunan relief dan candi yang ada terlihat begitu menyatu ditambah lagi dengan banyaknya kolam yang mengelilingi kompleks bangunan pura, benar-benar menyegarkan mata dan hati. Aku benar-benar merasa nyaman berada disini.
Pamanku tampak sibuk menjelaskan satu persatu Pura dan bangunana yang ada didalam taman, sedangkan aku meminta ijin untuk melihat-melihat beberapa tempat lainnya seorang diri. Untuk waktu yang cukup lama aku tertarik dengan bangunan relief dewata nawa sanga yang tadi paman sudah jelaskan kepadaku dan tamu-tamunya.
Puas berkeliling disini, aku segera mencari pamanku yang sedang sibuk menjadi fotografer bagi tamu-tamunya. Para gadis itu cukup banyak berpindah tempat untuk mendapatkan hasil foto terbaik mereka. Untuk berfoto saja mereka menghabiskan waktu sekitar setengah jam kurang lebih.
“Sekarang kita ketanah lot ya…” ujar salah seorang dari mereka saat kami semua sudah masuk kembali lagi kedalam mobil.
“Berapa jam dari sini sampai Tanah Lot pak?” tanya mbak Bella yang sedari tadi paling aktif berkomunikasi denganku dan paman .
“Sekitar 30 menit, mbak.”
Entah karena sudah letih atau mereka sudah berbaikan, sepanjang perjalanan aku tidak mendengar lagi perdebatan diantara para tamu ini seperti sebelumnya. Ini hal yang bagus, membuat perjalanan kami terasa lebih menyenangkan,
“Ini sudah jam 4 lebih tapi kenapa sih masih panas begini. Hitam deh ni kulit.” ujar mbak Audrey saat melihat sengatan mentari yang begitu tampak tajam menusuk diarea parkir tanah lot ini. Dari tadi kudengar ia yang paling khawatir dengan kondisi kulitnya yang sebenarnya masih terlihat sangat cantik bak porselin.
Kami harus berjalan kaki lsekitar 200 meter dari tempat dimana kami memarkirkan mobil untuk sampai di pantai. Aku berjalan dibelakang para tamu yang mengikuti paman Bayu memimpin kami.
Saat tiba didepan pantai, aku tidak bisa banyak berkata-berkata selain mengagumi karya indah yang terpampang dihadapanku. Orang-orang dulu memang sangat kreatif dan sangat mentaati kepercayaannya. Mereka bisa mendapatkan ide untuk membuat sebuah pura diatas batu karang. Itu sangat luar biasa.
“Jadi tanah lot sendiri berarti batu karang yang berada ditengah laut. Disini dulu dijadikan tempat meditasi oleh Bhagawan Dang Hyang Nirartha. Sebelumnya batu karang ini tidak berada disini tapi didarat, oleh Dang Hyang Nirartha dipindahkan ke laut untuknya bermeditasi.”
Aku hanya menggangguk saja mendenger penjelasan pamanku yang dengan serius menjelaskan mengenai tanah Lot, tempat kami berada saat ini. Orang-orang dulu pasti sangat sakti-sakti, hingga bisa memindahkan batu karang seperti ini, membuatku teringat akan kisah Candi Prambanan. Tidak bisa dipungkiri banyakanya legenda yang ada di Indoesia, membuatku sering berpikir bahwa tidak menutup kemungkinan ada banyak orang-orang sakti pada jaman dulu dan mungkin saja masih ada orang-orang yang memiliki kekuatan-kekuatan seperti itu hingga saat ini.
“Ini sampai jam berapa airnya surut pak?” mbak Bella memadangi bebatuan karang yang tampak jelas dipantai. Air pantai ternyata sudah mulai surut saat kami tiba.
“Biasanya airnya surut sampai jam berapa pak?”
“Biasanya sampai 7 saja airnya sudah pasang lagi mba, jadi ini kebetulan waktu kita datang sangat pas karena pantai sedang surut dan nantinya bisa lihat sunset juga.
“Ya ampun ini keren banget, kita fotoan dulu disini yuk.” mbak Nadien berhenti diantara kerumunan orang.
“Nanti aja, masih ramai begini.” ujar mbak Nita.
“Nanti malah lebih ramai lagi, Nit. Kan orang-orang mau lihat sunset.”
Mbak Nita dan yang lainnya akhirnya menyetujui mbak Nadien dan akulah yang kali ini mengambil foto mereka menggunakan kamera yang sedari tadi digantungkan dileher mbak Nadien.
Aku begitu hati-hati memegang kamera kecil yang kugunakan ini. Aku takut kalau sampai tidak sengaja menjatuhkannya. Mana sanggup aku untuk gantinya kalau rusak nantinya.
Sesi kali ini lebih banyak dihabiskan mereka untuk berfoto dibandingkan mendengarkan penjelasan pamanku. Aku sebenarnya kasihan melihat pamanku yang sedari tadi menjelaskan namun hanya ditanggapi oleh mbak Bella saja, sedangkan yang lain sibuk untuk berfoto.
***
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 6 sore saat kami akhirnya mengantarkan para tamu kembali ke Hotelnya. Mereka bilang akan ada janji nanti malam, jadi mereka hanya sebentar menikmati sunset di Pura Tanah Lot dan minta untuk segera kembali ke hotel.
Saat akan masuk kembali kedalam mobil, langit disekelilingku berubah menjadi jingga. Aku melihat masa depan lagi. Apa yang ada dihadapanku kini adalah sebuah pantai dengan begitu banyaknya pengunjung. Kuperhatikan pengunjung yang tampak tengah asik menikmati sunset. Didekat pantai, ada seorang pria yang berdiri dengan membawa papan selancar berwarna putih. Ia menggunakan celana pendek berwarna abu dengan badan yang kemerahan. Ia berlari kepantai, terlihat hendak surfing. Tak ada yang tampak salah dengannya. Aku memandangi sekelilingiku lagi, mencoba melihat apakah ada sesuatu yang buruk akan terjadi dan ternyata tidak ada juga.
Aku menarik nafasku dalam, membawaku kembali kekeadaan saat ini. Aku jelas melihat potongan masa depan dan apa yang kulihat ada di . Namun ini benar-benar berbeda dari biasanya.
Bukankah ini aneh? Aku melihat potongan masa depan biasanya ketika ada sesuatu yang penting akan terjadi, seperti musibah yang akan menimpa seseorang atau bencana lainnya. Namun kini, tak ada apapun.
“Paman, kalau nanti Mala pulangnya jalan aja boleh gak?”
“Mala mau kemana?” pamanku terkejut mendengarku.
“Mau kesana. Mau lihat sunset, boleh gak?” aku menunjuk jalan menuju pantai Kuta yang tak jauh dari hotel kami berada saat ini. Sebenarnya, aku tidak benar-benar ingin melihat sunset namun aku harus memastikan apa yang akan terjadi disana.