PART 12 - PERTEMUAN KEDUA

1602 Words
 “Saat matahari terbenam, diantara perpisahan antara daratan dan lautan. Kau akan bertemu seseorang yang harus kau hindari…” *** Berlahan kumenyusuri pinggir pantai, membiarkan kakiku merasakan air laut yang singgah sesaat lalu pergi dan kembali lagi, meninggalkan jejak langkahku dipasir dan kemudian hilang terhempas ombak. Lautan terlihat begitu indah, tampak keemasan terpantul sinar mentari yang akan tenggelam. Suara deburan ombak memecah kebisingan sekitar. Kuperhatiakn begitu banyaknya pengunjung dipantai ini, bercampur antara wisatawan Indonesia dan mancanegara. Kuingat visionu tadi, semuanya tampak normal. Tak ada yang salah dengan keadaan saat ini. lalu apa arti vision yang kulihat beberapa saat yang lalu? Untuk beberapa saat aku menutup mataku, berharap mampu melihat potongan masa depan lagi, namun sia-sia, tidak ada yang tampak. Aku tidak bisa mengendalikan kemampuan ini, seakan aku bukan pemiliknya. Kemampuan ini datang diwaktu yang tak pernah bisa kutebak dan pergi tanpa bisa kucegah. "Tak ada yang salah dengan keadaan ini. Haruskah aku kembali pulang saja? Mungkin itu pilihan yang tepat" pikirku. Suara tawa dari beberapa pria menarik perhatianku. Mereka sekelompok pria asing yang tengah menikmati minuman alkohol dan sedang membicarakan sesuatu dengan gembiranya. Salah seorang dari mereka bangkit berdiri dari bangku kayu panjang yang diduduki oleh 3 orang pria.  Ia mengambil papan selancar yang diletakannya dibelakang kursi kayu lalu berjalan menuju pantai tak jauh dariku. "Dia pria yang kulihat divisionku." "Apa pria itu akan tenggelam?" Aku menatap tubuhnya yang terlihat begitu tegap dan kuat. Ia tampak seperti perenang yang handal. Ia tidak mungkin tenggelam. Aku tidak bisa menebak hal ini. Tidak bisa menerka-nerka masa depan yang akan terjadi. "Namun bagaimana kalau hal buruk akan menimpa pria itu?" "Apakah sebaiknya aku harus mencegahnya untuk turun ke laut?" "Bagaimana kalau ia akan baik-baik saja? Akan sangat memalukan untukku nantinya." Aku benar-benar berpikir keras untuk apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Visionku jelas berfokus pada pria ini, namun dalam potongan masa depan yang kulihat tidak ada musibah yang akan menimpanya. Mungkin aku harus berbicara dengannya. Bahasa Inggrisku tidaklah terlalu buruk, aku mungkin bisa berkomunikasi dengannya. Aku melangkah dengan berlahan, namun saat baru 4 langkah, aku terhenti. "Apa hal ini benar untuk aku lakukan?" "Bagaimana kalau ia terganggu dengan sikapku?" Aku termenung sejenak dengan terus menatap pria yang terus melangkah menuju pinggir pantai. Mungkin sebaiknya aku biarkan saja. Tidak ada yang terjadi dengannya. Segera kubalikkan tubuhku, dan melangkah pergi menuju pamanku yang sedang duduk dibangku salah satu café di pinggir pantai. Kulihat ia sedang berbicara dengan seorang pria, yang kata paman merupakan temannya yang  bekerja di Café itu. Belum lima langkah aku berjalan, aku menghentikan langkahku lagi. Pikiranku benar-benar kacau saat ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk terjadi dengan pria itu dan aku tidak mencegahnya. Kubalikan kembali tubuhku untuk menghampiri pria itu. "Mungkin aku harus coba berbicara dengannya. Iya, aku harus coba berbicara dengannya." Kutetapkan hatiku dan mulai melangkah menuju pria yang kini sudah ada dipinggir pantai menatapku. Pria itu benar-benar menatapku, segera kubalikanku tubuhku karena terkejut. Apa yang harus aku lakukan? Pria itu sepertinya menyadari kalau aku sedang memperhatikannya sedari tadi. Ini benar-benar memalukan. Inginku menutup wajahku saat ini, walau pria itu tidak mengenalku, tapi aku benar-benar merasa canggung saat tertangkap sedang memperhatikan seorang pria. Mungkin sebaiknya aku pergi saja. Iya, aku harus pergi saja. Tanpa berpikir panjang, aku segera berjalan menjauh dari pria itu dengan langkah secepat mungkin yang kubisa. “Hei…” kudiam sesaat, terdengar suara memanggil dari arah belakang, sumbernya terdengar seperti berasal dari pria yang sedari tadi kuperhatikan. Mungkin itu panggilan untuk ornag lain, bukan untukku. “Hei…” baru kuingin melangkah, kudengar lagi suara yang memanggil dari belakangku. Jelas itu bukan untukku. Untuk apa ada yang memanggilku, tidak ada yang kukenal juga dipantai ini selain pamanku yang berada cukup jauh dariku. “Hei…” kudengar suara langkah yang berjalan dibelakangku dan saat itu juga kurasakan tangan seseorang menyentuh bahuku membuatku terkejut. Dengan ragu-ragu aku menoleh kebelakang, melihat siapa yang memanggilku. “Hei, ini ketinggalan.” Oh Tuhan… Pria yang kuhindari itu sudah berdiri begitu dekat denganku dan mengangkat salah satu sandalku. Kulihat sandal ditangan kananku. Ternyata aku menjinjing hanya satu sandal, dan tanpa aku sadari sendalku yang satunya terjatuh. Dengan wajah yang kupaksakan untuk tidak terlihat canggung namun tetap ramah, kuambil sandal jepit berwarna kuning yang sedang dipegang pria yang saat dekat dengannya terlihat tidak asing dimataku. Aku merasa seperti pernah melihat pria ini, tapi entah dimana, aku lupa. “Te…Terima kasih…” ucapku senormal mungkin. Tapi itu jelas bukan bentuk ucapan normal yang kuinginkan. Mengapa aku tiba-tiba terasa begitu sulit bebricara seperti ini. “Sama-sama.” pria itu tersenyum ramah kepadaku. Senyum ramah yang terasa sangat tidak asing. Aku yakin kini kalau aku memang pernah bertemu dengannya disuatu tempat. "Apa dia mungkin pernah menginap di home stay paman? tapi sepertinya bukan." "Apa mungkin kita pernah berpapasan dijalan? Kalau hanya berpapasan dijalan, aku mungkin tidak merasa seingat ini padanya."  otakku dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaanyaku sendiri yang terus berputar-putar mencari jawaban. Saat aku hendak bertanya pada pria dihadapanku ini, tanpa diduga ia menanyakan hal yang sama. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” suara kita terdengar menyatu bak melodi dalam paduan suara. Kami tertawa bersamaan mendengar perkataan kami yang keluar serentak. Ini pertama kalinya buatku tertawa bersama orang asing yang belum 1 jam aku kenal. Hal ini membuatku merasa lebih dekat dengannya. “Saya hanya merasa kita pernah bertemu sebelumnya ya. Hanya saya lupa dimana.” ujar pria ini dengan logat Indonesianya yang terdengar unik, benar-benar terdengar seperti orang asing yang berbicara Bahasa Indonesia. Orang asing yang berbicara Bahasa Indonesia… “Haaahh…” aku ingat sekarang. Aku ingat pernah bertemu dengan pria ini dimana. “Kita pernah bertemu di depan toilet di pom bensin.” ucapku pasti. Wajahnya kini terlihat sedikit berbeda, lebih berseri dan tampak lebih cerah, sedikit berbeda dengan wajah yang kulihat pada malam itu. Pria dihadapanku ini tampak berpikir sejenak. “Aaah, iya-iya, saya ingat.” pria ini  mengingatku juga ternyata. Padahal waktu itu ia terlihat seperti orang yang sudah minum alkohol cukup banyak. Ini aneh. Benar-benar aneh. Aku merasa nyaman saat berbicara dengannya. Padahal ia hanya orang asing, yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya. “Kalau boleh saya tahu, nama kamu siapa?”  aku terkejut mendengar ucapannya. Apa ia bisa membaca pikiranku. Pria ini tersenyum kembali. Senyumannya terlihat begitu ramah dan rupawan. Tidak…Tidak… Apa yang aku pikirkan. “Nirmala, namaku Nirmala.” balasku tanpa ragu dan mencoba seramah mungkin sepertinya. “Nama saya Ryuzaki. Senang bisa mengenalmu Nirmala.” lagi-lagi pria dihadapanku ini tersenyum, mempertontonkan deretan giginya yang tampak rapi dan putih. Matanya yang tampak kecokelatan menatap kedua mataku tanpa ragu. Tatapan yang terasa begitu dalam. “Iya, senang berkenalan denganmu juga.” kugenggam erat sendal jepit dikedua tanganku. Jantungku terasa berdetak lebih keras dari normalnya ketika kucoba membalas tatapan Ryuzaki. Aku tidak bisa melakukannya, sangat sulit untuk menatap kedua matanya. Segera kutundukan wajahku menatap jari-jari kakiku yang kotor dipenuhi pasir pantai, wajahku terasa panas,  mungkin pipiku sedang memerah saat ini. Aku tidak ingin ia melihatnya. “Aku harus pergi sekarang…” ujarku setengah menunduk. Aku terlalu malu melihat wajahnya dan membiarkannya melihat wajahku. “Iya. Semoga kita bisa bertemu lagi.” sangat sulit ternyata untuk tidak menatapnya. Kulihat wajahnya sebentar, ia kembali tersenyum padaku, lalu kutundukan kembali wajahku. “I..iy…iyaaa…Bye…” aku segera memakai sandal yang kepegang, karena takut kalau sandal-sandal  ini akan terjatuh lagi. Sambil berjalan aku menutup kedua pipiku menggunakan kedua tanganku, mencoba menghilangkan rasa panas diwajahku. Aku ingin sekali menoleh kebelakang untuk melihat apakah Ryuzaki masih berdiri ditempat kami bericara atau sudah beranjak pergi, namun aku terlalu malu untuk melakukannya. Namun seakan diri ini begitu sulit untuk kukontrol, aku membalikan tubuhku dan aku melihat Ryuzaki masih diam berdiri menatapku. Ia melambaikan tangannya kearahku, aku bahkan bisa melihatnya tersenyum dari jauh. Kubalas lambaian tangannya dan kembali fokus berjalan kearah depan. Tuhan… Perasaan apa ini? Mengapa aku begitu malu didepan pria itu? Aku benar-benar merasa kacau saat ini. Aku merasa tubuh dan pikiranku seakan tidak bisa singkron, tidak bisa bekerja sama dengan normalnya. “Mala…” pamanku melihatku dengan tatapan terkejut. “Muka kamu kenapa merah begitu?” “Aahh ini… ini… ini mungkin karena terkena panas,paman.” aku benar-benar tidak pandai berbohong tapi semoga paman mempercayai ucapanku. “Begitu? Matahari sudah tidak terikkan? Kamu tidak sakitkan?” wajah pamanku kini tampak lebih khawatir. “Ahh, gak kok. Mala baik-baik aja. Yuk kita pulang.” paman mengikuti ucapanku. Ia berpamitan pada temannya begitupun denganku lalu kami berjalan menuju tempat dimana mobil kami terparkir. Sebelum meninggalkan pantai, aku menoleh kembali kebelakang. Aku melihat kembali ketempatku dan Ryuzaki berbicara. Sudah tidak ada Ryuzaki disana. Kucoba mencari sosoknya disekitar tempat tadi, namun tidak ada. Mungkin ia sudah bersama peselancar yang lain, menikmati sunset dari atas papan selancarnya, namun sayang aku tidak bisa menebak yang manakah sosoknya, karena tak tampak jelas dari kejauhan. Entah mengapa aku merasa ada sedikit kekecewaan.   “Yang tadi temannya, Mala?” pamanku mengeluarkan pertanyaannya tak kuduga sebelumnya. “Yang tadi ?” tanyaku lagi. “Iya yang tadi, pria yang pakai celana biru yang pegang papan selancar itu.” paman menjelaskan pertanyaannya. “Bukan, tadi dia ambilkan sandal Mala yang tertinggal.” jawabku. Aku merasa sedikit sedih mendengar jawabanku sendiri sebenarnya. Memikirkan bahwa kami berdua hanya orang asing yang tanpa sengaja berkenalan, tanpa tahu apakah kami akan bisa bertemu lagi atau tidak. “Oh, paman kira temannya Nirmala karena kalian terlihat akrab.” pamanku sepertinya benar-benar menjagaku dari kejauhan tadi. “Sebenarnya tadi kita baru berkenalan, karena dia sudah bantu Mala.” “Bagus dong, harus begitu memang, memilki banyak kenalan itu hal yang bagus.” pamanku mulai menghidupkan mesin mobilnya. “Asal ya tetap hati-hati saja siapa yang kita ajak berkenalan. Bukannya paman mau ajarkan Mala untuk pilih-pilih teman, tapi kita juga harus pandai menilai orang.” pamanku menoleh kearahku. “Iyakan, Mal?” “Iya…” anggukku. Aku harus hati-hati, paman benar. Mobil paman mulai berjalan meninggalkan area pantai Kuta. Aku masih terus menatap kerumunan dipantai itu dari kaca spion mobil. “Kamu mengharapakan apa, Mal?” Perasaanku tahu benar yang aku rasakan saat ini. Namun otakku seakan tidak memahaminya, begitupun dengan diriku. “Apakah mungkin akan ada pertemuan ketiga, kami?” aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak bisa menebak masa depanku. Namun kalau boleh memilih dan kalau memang Tuhan berkendak, aku berharap hal itu akan terjadi, suatu saat nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD