Aku menatap Dewi dengan serius. “Wi, kita harus hentikan mereka. Polisi sebentar lagi akan tiba. Kalau mereka membawa gadis-gadis itu lagi, kita tidak tahu apakah akan bisa menghentikan para penjahat itu lagi atau tidak.”
“Iya, aku juga berpikir begitu Mal.”
“Coba telpon paman lagi untuk memastikan sudah sampai dimana?”
“Tidak bisa nelpon lagi Mal, pulsaku habis.” Dewi memandangku dengan tatapan kebingungan.
“Lalu kita harus bagaimana?” aku memandang Dewi. Kita hanya gadis biasa. Hal ini benar-benar diluar kemampuan kita.
“Apa kita harus ikuti mereka lagi?” sambungku.
“Iya, aku juga bingung. Kalau kita ikuti mereka lagi, nanti bagaimana cara menelpon bapakku untuk memberitahukan posisi kita. Itu akan sangat berbahaya untuk kita, Mal.”
Aku mencoba untuk menemukan jalan keluar terbaik bagi maslaah ini. Aku jelas tidak bisa meninggalkan Wulan dan gadis-gadis lainnya. Aku sudah berjanji padanya untuk menyelamatkan.
“Begini saja Wi, aku akan memancing para penjahat itu agar mereka mengulur waktu mereka untuk membawa Wulan dan gadis lainnya pergi.” Aku tidak tahu apa hal ini benar atau tidak, namun inilah satu-satunya jalan yang bisa kulakukan saat ini.
“Itu berbahaya, Mal!”
“Lalu harus bagaimana lagi, Wi? Kita hanya butuh mengulur waktu mereka saja sampai paman Bayu dan polis tiba disini.” Kupegang kedua tangan Dewi dengan erat. Aku takut akan hal yang aku lakukan, namun aku harus melakukannya.
“Aku akan berusaha lari sekencangnya. Kamu diam disini saja ya.” Kulanjutkan ucapanku berusaha meyakinkan Dewi atas keputusan yang kuambil.
Dewi menatap kedua mataku seakan mencari jawaban untuk keputusan yang kubuat ini apakah benar atau tidak. Aku tahu ia pasti bingung harus melakukan apa saat ini.
“Tolooonnggggggg…….” Suara teriakan nyaring terdengar dari arah ruko.
Aku mengintip dan melihat bahwa yang berteriak itu adalah Wulan. Kupalingkan tatapanku kembali ke Dewi.“Aku pergi dulu ya Wi, kamu lebih baik tunggu disini saja.”
Kuberanikan diriku dan segera bangkit berdiri. Aku setengah berlari keluar dari tempat persebunyian. Pikiranku berkecamuk memikirkan ibu dan adik-adikku di Lombok. Aku takut seandainya terjadi sesuatu padaku hingga membuatku tak bisa lagi bertemu dengan mereka.
“Mal….” Dewi ternyata ikut bersamaku keluar dari persembunyian. Ia menggangguk dua kali kepadaku seakan menunjukan bahwa ia siap dengan keputusan berbahayaku ini.
“Hei!” kuberteriak sekencang mungkin memanggil para penjahat yang tengah sibuk menarik gadis-gadis untuk masuk kedalam mobil. Para penjahat itu menoleh kearahku dan Dewi dengan cepat saat mendengar suaraku. Jantungku terasa seakan ingin meledak, saat dua orang penjahat berlari kearah kami.
“Lariiii Wi!!!” aku dan Dewi berlari sekuat tenaga kami, sekencang yang kami bisa seakan ini adalah terakhir kalinya kami akan hidup. TIba-tiba pikiranku teringat akan vision yang kulihat tadi siang. Vision ini benar terjadi. Iya, aku baru menyadari disinilah tempat itu. Bangunan-bangunan yang kulihat itu adalah bangunan rumah-rumah ini, dan dua pria yang mengejar kami itu adalah dua penjahat yang menangkap Wulan.
Perasaanku bergejolak saat ini. Aku berusaha agar visionku tak menjadi nyata, namun akulah yang ternyata membuatnya terwujud. Kupandang Dewi yang terus berusaha menyamai kecepatan berlariku. Ia terlihat kesulitan.
Tuhan… apa kami akan baik-baik saja?
“Hei, berhenti kalian!!!” teriakan seorang pria dibelakang kami yang suaranya cukup keras membuatku berusaha berlari lebih cepat lagi.
“Harusnya tadi kita naik motor aja, Mal!” Dewi berbicara dengan nafas terengah-engah.
“Iya Wi. Harusnya begitu. Tadi aku pikir, kamu tidak akan ikut bersamaku untuk mengalihkan perhatian para penjahat ini. Jadi aku tidak meminta menggunakan motor.” Balasku dengan ucapan terbata-bata dan nafas yang tak kalah terengah-engah.
“Kita berlari kearah jalan masuk komplek ini ya Wi!”
Dewi tidak membalas ucapanku, wajah sepupuku tampak pucat. Ia jelas tak sanggup lagi untuk berlari. Kumenoleh kearah belakang melihat para penjahat yang sudah semakin dekat kearah kami.
“Wi….”
Kecepatan lari Dewi memelan. Ia berhenti sejenak memegang bagian perutnya. Nafasnya terdengar berat dengan keringat yang bercucuran membasahi wajahnya.
“Aku gak kuat, Mal.”
Aku bingung apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku tidak mungkin memaksa Dewi untuk terus berlari, namun kalau kami terus diam, para penjahat itu akan menangkap kami berdua.
“Wi, sedikit lagi ya. Nanti kita berpencar dijalan didepan, terus kamu sembunyi didalam disana. Aku gak akan sembunyi agar penjahat itu terus mengejarku. Kamu kuat ya Wi.”
Dewi hanya menggangguk mendengar perintahku. Ia berlari kembali dengan cukup cepat.
Para penjahat dibelakang kami sepertiya sudah mulai kelelehan juga karena jarak kami menjadi lebih jauh dari sebelumnya.
Saat kami sampai dipersimpangan jalan, kuminta Dewi berlari kearah jalan komplek yang lebih gelap, karena tidak ada lampu jalanan yang menerangi. Akan lebih aman untuknya berisitirahat dan bersembunyi disana. Sedangkan aku terus berlari menuju jalan masuk komplek ini.
Saat kumenoleh kebelakang, aku terkejut menyadari bahwa kedua penjahat itu ternyata berpencar juga sepertiku dan Dewi. Seorang mengejar Dewi dan seorang lagi mengejarku. Aku akan benar-benar merasa bersalah bila terjadi sesuatu pada Dewi.
Ya Tuhan…. Aku tidak mempedulikan bagaimana keadaanku saat ini, tapi Dewi? Dia bisa berada didalam bahaya saat ini. Tolong lindungi Dewi, Tuhan…. Tolong….
Aku terus berlari entah sudah berapa lama, higga akhirnya aku bisa melihat jalan masuk menuju komplek ini. Belum ada siapapun disana, tidak ada paman Bayu ataupun Polisi bahkan tidak ada pengendara lainnya.
Bagaimana ini?
Tenagaku terasa sudah terkuras habis dan mulai merasa letih. Aku bahkan merasa kakiku sudah mati rasa karena terus memaksakan untuk berlari.
“Hei, berhenti!!” penjahat yang mengejarku kembali berteriak, suaranya terdengar terengah-engah. Saat aku menoleh kebelakang melihatnya, ia tengah berhenti untuk beristirahat, lalu berusaha mengejarku lagi.
Akhirnya aku tiba didepan pintu masuk komplek perumahan ini. Aku tidak tahu harus lari kemana lagi. Jalanan dihadapanku tampak sangat sepi.
Apa aku harus berlari menuju jalan utama? Kalau harus begitu, bagaimana nanti kalau paman Bayu dan polisi tiba. Mereka mungkin akan kesulitan menemukanku.Kalau aku berlari kembali kedalam komplek, penjahat itu akan mudah menangkapku. Ditengah kacaunya pikiranku, aku melihat kali diseberang jalan. Mungkin akan lebih baik aku akan bersembunyi disana saja.
“Malaaaaa…..” terdengar jeritan dari dalam komplek. Itu suara Dewi. Ya Tuhan… Dewi mungkin sudah berhasil tertangkap penjahat yang mengejarnya. Kuurungkan niatku untuk bersembunyi didalam Kali dan kembali berlari memasuki komplek. Disana, penjahat yang mengejarku sudah menantiku dengan senyuman jahatnya yang seakan menunjukan kemenangannya.
Kusiapakan tenagaku dan berlari sekencang mungkin untuk menghindarinya. Hal ini terasa mustahil, namun harus kucoba lakukan untuk menolong Dewi. Penjahat itu menunggu tak jauh didepanku untuk menangkapku, saat berlari mendekat kearahnya, kucoba untuk sedikit berputar untuk menghindarinya. Entah apa yang merasuki, dengan cepat aku menendang kaki penjahat itu bagian tulang keringnya dengan sekeras yang aku bisa, saat ia menunduk menahan sakitnya, segera kuberlari dengan cepat meninggalkannya.
“Maalaaaaa……” suara teriakan Dewi terdengar lagi.
Aku berlari sekencang yang aku bisa dengan pandangan yang mulai berkunang karena rasa lelah dan lemas yang kurasa.
“Tunggu aku Dewi…”
Aku merasa semakin dekat menuju sumber suara Dewi. Penjahat dibelakangku nampaknya meninkatkan kecepatan berlarinya mengejarku hingga jarak kami kini kurang dari 5 meter lagi.
“Berhenti kamu!” teriaknya seakan aku akan menuruti perintahnya.
“Malaaa…” Dewi muncul dihadapanku dengan tubuh yang sudah ditahan oleh penjahat yang memegang pisau ditangannya.
“Mal…..” tangisan Dewi tak henti mengalir saat itu. Wajahnya tampak begitu beratakan. Aku tak tahu berbuat apa.
“Kalian ini siapa? Mencoba mengganggu kami, hah?” teriak penjahat yang sedang menahan Dewi kearahku.
“Sudah bang , kita bawa saja mereka berdua. Lumayan kita bisa dapat hasil tambahan lagi.” penjahat yang mengejarku telah berhenti mengejarku dan mulai berjalan berlahan kearahku yang masih mematung berpikir keras apa yang harus aku lakukan saat ini.
“Lepaskan dia, bawa aku saja…” teriakku pada penjahat didepanku.
“Hahahahahaa… kamu pikir kita sebodoh itu mau melepaskan kalian berdua?”
“Yo, bawa dia. Kita bawa mereka berdua.” sambung pria dihadapanku.
“Siaaapp bang! Sini gadis cantik, jangan kabur lagi ya….” Pria yang sedari tadi mengejarku berjalan cukup cepat kearahku mencoba melakukan apa yang diperintahkan padanya.
Mungkin kali ini aku harus menyerah padanya. Membiarkan diriku bersamanya agar aku tetap bisa bersama Dewi. Ya, mungkin ini jalan terbaiknya.
Aku diam berdiri, membiarkan penjahat itu menarik tanganku dan menahannya dibalik punggungku. Ia memegang tanganku cukup keras lalu memaksaku berjalan mengikuti temannya yang sudah berjalan membawa Dewi.
Maafkan aku Wi… Maaf….
Suara tangisan Dewi masih bisa kudengar. Aku yakin ia pasti ingin berusaha kabur, namun pisau yang diarahkan padanya itu pasti membuatnya tak bisa melakukan banyak hal selain menuruti penjahat itu.
Tuhan… tolong kami… kumohon… tolong kami….
Aku selalu percaya Tuhan itu ada walau hidupku begitu banyak cobaannya dan ya… Tuhan menjawab doaku dengan cepat. Dari kejauhan aku bisa mendengar suara sirine mobil polisi yang memecah keheningan malam dan tempat yang sepi ini sekaligus menjadi jawaban doaku.
Itu pasti paman Bayu.
Kupalingkan wajahku untuk memastikan apakah itu benar paman Bayu dan Polisi yang akan menolong kami.
“Gawat bang, ada Polisi! Bagaimana ini?” penjahat yang memegang tanganku ini tampak mulai merasa takut dengan keadaannya saat ini.
“Cepat kalian lari!” kupikir para penjahat ini akan melapaskanku dan Dewi, namun tidak. Mereka memaksa kami untuk berlari agar dapat menghindar dari polisi.
Suara sirine semakin terdengar mendekat.
“Dewi…Malaa....” Itu suara paman Bayu. Itu jelas suara paman Bayu yang memanggil namaku dan Dewi. Sepertinya ia menandai bahwa gadis yang sedang bersama para penjahat ini adalah anak dan keponakannya.
“Pak….Bapaaakkkkkk.”
“Diam kamu!” penjahat itu menjambak rambut Dewi dengan kasar. Lalu mengarahkan pisau yang dipegangnya tepat dileher Dewi.
“Tempat ini sudah kami kepung, silahkan kalian menyerahkan diri!”
“Kami ulangi, kami minta kalian untuk menyerahkan diri kalian.” para polisi itu sudah menghentikan mobilnya tak jauh dari kami dan berbicara melalui speaker yang dibawanya.
Aku dapat melihat ada sekitar 4 mobil polisi disana dan satu mobil kijang hitam milik pamanku. Cukup banyak polisi yang turun dari mobil dan mengacungkan senjatanya kearah kami. Bukan benar-benar kearah kami, tapi kearah para penjahat yang bersama kami ini.
“Lepaskan para gadis itu, segera!” perintah seorang polisi yang berdiri paling depan dengan keadaan siap menembak.
“Bagaimana ini bang?” dapat kuraskan getaran tangan penjahat yang sedang menahanku. Ia pasti sangat ketakutan dengan keadaannya saat ini.
“Jangan medekat! Atau gadis ini akan kubunuh disini!” pisau yang dari tadi diarahkan kearah leher Dewi mengenai kulit Dewi hingga kulitnya mulai tergesek dan mengeluarkan darah.
Ya Tuhan, tolong lindungi Dewi...
Saat itu juga aku medengar suara letusan yang sangat kencang dan nyaring. Ini pertama kalinya aku mendengar suara senjata dan ternyata suaranya lebih keras dari dugaanku.
Seorang polisi menembak bagian kaki penjahat yang menahan Dewi hingga penjahat itu reflek melepaskan Dewi dan berteriak kesakitan.
Penjahat yang menahanku segera melepaskanku dan mengangkat kedua tangannya. “Saya menyerah… Tolong jangan tembak saya. Saya menyerah!” ia berlutut didekatku dengan kedua tangan yang diangkat.
Merasa ini waktu yang tepat, aku menarik tangan Dewi dengan cepat lalu berlari menuju paman Bayu dan Polisi.
Perasaan lega dapat kurasakan menyebar diseluruh tubuhku saat merasakan pelukan paman Bayu padaku. Aku selamat. Aku dan Dewi selamat. Kuberharap hal yang sama antuk Wulan dan gadis-gadis yang lainnya.