Nasib memang tidak ada yang tahu. Baru saja gue mendapatkan angin segar bertemu cowok tampan, tapi dalam sekali hempas semua hilang. Gue gak nyangka cowok maco dan setampan Satria ternyata lebih suka pisang dari pada donat kentang. Gue memang tidak punya hak untuk ngurus masalah pribadi seseorang, tetapi kenapa harus Satria yang tampang mirip Syah Rukhan KW 5 harus belok? Pria setampan itu saja belok apalagi yang lain.
“Kenapa muka lo kusut gitu? Lagi ada masalah?” tanya Santi saat duduk di kasur gue. Dia bilang lagi males di rumah gara-gara kedua orang tuanya pulang kampung. Jadi ia tinggal di rumah dengan adiknya yang bernama Sinta. Entah apa yang membuat mereka berdua tidak akur yang jelas gue gak mau tahu.
“Nggak apa-apa cuma lagi suntuk dan nggak semangat. Lo nggak ada pemotretan?”
Santi menggeleng. Dia memainkan boneka beruang milik gue sambil tiduran di atas kasur.
“Gue lagi kesal sama si Dodit. Masak tawa gue dibilang mirip kuntilanak,”
Dodit adalah sepupu Santi, anak dari adik papanya Santi. Bisa dibilang Santi anti Dodit karena pria itu lebih memihak Sinta. Mereka saling berselisih paham sehingga menyebabkan gesekan yang menimbulkan kemarahan.
“Coba lo ketawa, gue pengen dengar.”
Dengerin ya.” Santi duduk di atas tempat tidur lalu bersiap untuk ketawa. “
Hihihi.” Seketika seluruh bulu tangan sampai bulu ketek gue berdiri. Benar saja Dodit bilang seperti itu, ternyata tawa Santi lebih seram dari hantu.
“Mirip sih,” ujar gue membuat Santi melempar bantal. Wajahnya terlihat kusut. Gue rasa dia sudah kesal maksimal. Ponsel Santi berdering membuat wajahnya menjadi pucat. Santi datang menghampiri lalu meletakkan ponselnya ke telinga gue. Suara seorang pria terdengar dari seberang sana.
“Maaf Mas salah jalur.” Langsung gue matikan sambungannya. Santi terlihat senang setelah panggilan terputus. Wajahnya seperti Oscar yang melihat oasis di gurun pasir.
“Siapa sih, San?” tanya gue penasaran.
“Mantan gue yang ke-27, namanya Benny. Dari kemarin gue nggak balas chat dia.” Gue salut sama Santi yang bisa ingat semua mantannya. Kalau digabungin semua mantannya mungkin cukup satu kelas. Gue yakin sebentar lagi Santi masuk rekor muri kategori mantan terbanyak.
“Memang dia mau ngapain?” Gue jadi penasaran sama cowok yang namanya Benny. Gue gak pernah dengar nama itu sebelumnya.
“Dia mau balikan padahal sudah gue putusin dari dulu dan nggak mau balikan sama dia.”
“Bentar, kalian kapan pacarannya?”
Santi menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia terlentang lalu memejamkan matanya. Rambut panjangnya terurai menutupi bantal.
“Sebulan yang lalu dan gue putus setelah lima hari jadian?”
“Kenapa lo putusin?”
“Karena dia perhitungan dan nggak ngerti sama pekerjaan gue. Sudahlah males gue mikirin dia.”
Sebenarnya gue bingung kenapa Santi bisa dengan mudahnya mendapat pacar meski baru putus. Gak kayak gue belum pacaran sudah bubar. Apa karena Santi itu cantik jadi banyak cowok yang mendekati? Gue akui Santi memiliki tubuh indah dan paras cantik. Berbeda sama gue. Semuanya pas-pasan.
Setiap kali keluar sama Santi orang-orang beranggapan kalau gue adalah pembantu atau asistennya. Walau seperti itu Santi tetap membela gue, ia tidak malu mengatakan bahwa gue temannya bukan pembantu ataupun asisten. Awalnya gue bahagia karena Santi sangat peduli. Namun, saat ia bilang,
“Kalau gak ada lo orang-orang gak akan bilang gue cantik.” Entah gue harus sedih atau bahagia mendengar itu.
“San, gue capek jadi jomblo terus. Muka gue gak jelek-jelek amat, standar SNI-lah. Badan gue gak tinggi, putih juga kagak, kok sampai sekarang gak ada cowok yang deketin gue, ya?”
“Gak tahulah, Nat. Gue juga bingung sama lo. Dijodohin gagal terus, tapi lo beruntung gak dikejar mantan kayak gue. Lama-lama capek juga, Nat. Lebih baik gue dikejar setan dari pada mantan.”
“Terus gue harus bagaimana?”
“Coba lo oplas pakai plastik 2 kg, siapa tahu ada yang mau. Karena cowok itu sukanya yang aduhai dan cantik jadi kita sebagai cewek harus perfect.”
“Sekalian saja lo suruh gue oplas pakai plastik sampah. Mahal tahu kalau oplas entar muka antik gue kehilangan keajaibannya.”
“Iya, saking ajaibnya banyak yang kabur.”
Santi kembali sibuk dengan ponselnya. Tiba-tiba saja ia memekik bahagia. Santi bangun sambil teriak-teriak tidak jelas. Ia berjingkrak-jingkrak seperti mendapat rezeki nomplok. Santi menarik kursi kemudian duduk di samping gue.
“Nat, lo tahu aplikasi chating MetMet?” tanya Santi. Gue menggeleng. Di ponsel gue cuma ada aplikasi bawaan pabrik.
“Aplikasi apaan itu?”
“Buat nyari jodoh.”
“Emang ada aplikasi seperti itu?”
“Ada dong. Aplikasi MetMet bisa mempertemukan lo dengan pria jomblo sedunia. Bahkan ia bisa mencarikan orang yang cocok sesuai dengan zodiak. Terus aplikasi ini sangat aman menjaga data diri lo jadi gak perlu ragu lagi.”
Santi mulai bicara panjang lebar, jiwa sales-nya bangkit setelah lama terkubur di alam bawah sadar. Sejujurnya gue mulai tertarik dengan aplikasi chating yang Santi jelaskan hanya saja gue ragu kalau ketemu orang asing terus waktu ketemu tidak sesuai bayangan bisa kecewa.
“Terus nanti kalian bisa ketemuan kalau sudah nyaman,” jelasnya. Santi berpindah duduk dekat jendela. Ada sebuah kursi untuk duduk santai. Gue suka duduk dekat jendela sambil baca buku. Bukan hanya itu gue juga suka nikmati udara segar dari jendela. bisa di bilang itu tempat kesukaan gue tiap sore.
“Lo sudah pernah coba, San?”
Santi mengalihkan pandangan dari ponselnya. Tubuhnya bersandar pada tembok. Melihat mimik wajahnya saja gue jadi tahu kalau dia baru download aplikasi itu.
“Gue pengen coba pakai aplikasi ini siapa tahu ada pangeran yang benar-benar suka sama gue.” Santi mulai menghayal. Cita-cita teman gue yang satu ini adalah menjadi tuan putri seperti di dongeng-dongeng untuk itu Santi suka sekali mengoleksi boneka Barbie. Gue bingung dengan jalan pikiran Santi kenapa cita-citanya aneh.
“Ada cowok ganteng yang nge-chat gue.” Santi kegirangan bukan main. Namanya juga kolektor mantan walau sudah punya pacar tetap saja lirik yang lain. Santi mulai sibuk dengan ponselnya dan gue kembali bekerja menulis nama dan identitas peserta didik di rapot.
Bekerja sebagai guru TK ada senang ada dukanya. Gue yakin setiap pekerjaan pasti ada suka dan duka gak ada yang dukanya saja atau senangnya saja. Sebagai guru taman kanak-kanak hari-hari gue terasa menyenangkan. Bertemu anak-anak yang masih polos dan tidak tahu apa-apa. Ada saja hal-hal baru yang gue dapatkan setiap harinya. Ada yang mudah diatur ada juga yang bandel. Pokoknya campur aduk.
Menjadi guru TK itu gampang-gampang susah. Gampangnya kita hanya mengajar hal-hal dasar bahkan anak lulusan SMP pun bisa mengajar, tapi bedanya menjadi guru TK itu sama seperti mengasuh anak. Belum lagi ada anak yang menangis dan sebagai guru gue harus bisa menenangkannya.
Papa dan mama sebenarnya tidak setuju waktu gue memutuskan bekerja sebagai guru TK alasannya pendapatan sangat minim dan tidak mencukupi kebutuhan yang semakin kompleks. Sebelum memutuskannya gue sudah tahu resiko yang harus ditanggung. Mungkin karena hati ini sudah terpanggil untuk mengabdi jadi itu bukan masalah yang berarti. Walau setiap awal bulan hanya bisa menghela napas dan meringis saat melihat angka di slip gaji.
Setidaknya gue hidup ada manfaatnya buat orang banyak. Saat anak-anak besar nanti berharap mereka ingat sama gue, setidaknya mereka menyapa dan saat itu gue akan melihat mereka menjadi orang yang sukses. Itulah kebahagiaan seorang guru, melihat anak didiknya berhasil.
“Nat ada cowok yang mau kenalan sama lo,” ucap Santi membuat tangan gue berhenti menulis. Gue jadi bingung kenapa ada cowok yang minta kenalan sama gue tapi melalui Santi. Kenapa tidak langsung ke orangnya?
“Siapa? Orang gila atau orang iseng?” Gue kembali menulis raport. Dua bulan lagi raport semester pertama akan dibagikan sebagai bahan evaluasi peserta didik. Gue harus cepat menulis identitas siswa yang jumlahnya cukup banyak biar tidak kelabakan.
“Namanya Macho blesteran RT 02 dan RT 03 pekerjaan sebagai manager mager di PT Maju Mundur Bangkrut Terus, lulusan S1 bahasa basi di Universitas Mimpi Indah.” Santi terbahak membaca biodata cowok bernama Macho. Namanya sih keren banget. tapi informasi pendukungnya buat gue mikir seribu kali untuk dijadiin gebetan.
“Coba Nat siapa tahu dia CEO yang nyamar jadi gembel,” lanjut Santi sambil memegangi perutnya sambil tertawa.
“Kebanyakan halu, mana ada CEO pakai aplikasi kencan online, kalau sudah banyak uang cewek pun bisa mendekat dengan mudah walau tampang di bawah UMR.” Santi terpingkal bahkan dia sampai berlutut di lantai. Ledek saja sesuka hati, nanti giliran gue yang tertawa.
“Gaji lo yang di bawah UMR.” Santi meledek lagi, ia terlalu banyak tahu masalah pribadi gue jadi harus berhati-hati.
“Kayaknya orang ini lucu, cocok banget sama lo yang di luar sangar tapi di dalam lembek,” ujar Santi kali ini ia terpingkal. Senang sekali dia ngetawain temannya.
“Lagi… terus saja tertawa sampai masuk rumah sakit jiwa.” Gue mulai kesal mendengar suara tawa Santi yang lebih seram dari Kuntilanak. Tidak heran kalau dia jarang akur dengan Sinta kelakuannya saja seperti ini. Dosa apa gue bisa dipertemukan teman seperti dia.
Santi berdiri menghembuskan napasnya berulang kali. Mulutnya bergerak-gerak seperti senam mulut. Gue mulai lanjut mengerjakan tugas setelah tawa Santi mereda.
“Kenapa lo bilang kalau cowok itu mau kenalan sama gue?”
“Karena gue pakai foto lo. Kurang baik apa gue jadi teman mau nyari pacar buat lo?” Gue mendelik. Namun, Santi tidak melihatnya.
“Tenang gue pakai fitur beauty 360 derajat plus biar wajah lo bersih, glowing dan cantik.”
Gue tatap lekat sosok wanita cantik yang kini terlentang di atas kasur. Santi kembali fokus pada ponselnya sesekali terkikik.
“Ngapain pakai aplikasi sih? Sudah hapus saja akun gue, atau gak pakai foto lo saja.”
Santi menoleh lalu menggulingkan tubuhnya hingga tengkurap. Kedua kakinya ditekuk sementara tangannya menopang dagu.
“Coba dulu, Nat. Kalau cocok ya lanjut kalau tidak ya tinggalin.”
Gue berpikir sejenak. Mungkin saran Santi bisa dicoba, siapa tahu orang itu cocok sama gue dan bisa menyembuhkan penyakit jomblo kronis ini. Hitung-hitung menambah kegagalan. Siapa tahu kalau kegagalan gue habis nanti gue bisa bertemu dengan belahan jiwa yang sesungguhnya.
“Oke deh gue coba, tapi gue mau lihat fotonya dulu.” Santi duduk di kasur lalu mengutak-atik ponselnya sebentar kemudian mendekati gue yang masih setia duduk di kursi kerja.
“Kalau dilihat dari wajahnya dia lumayan oke. Orangnya menarik dan gue rasa dia menyenangkan sampai buat gue tertawa. Lucu banget bionarasinya.”
Benar yang dibilang Santi. Cowok ini lumayan juga. Bukankah yang terpenting dalam hubungan itu adalah kenyamanan. Gue menyetujui usul Santi dan ia mulai menghubungi pria itu melalui chat yang disediakan di aplikasi. Gue kembali bekerja membiarkan Santi mengurus semua. Gue jadi penasaran sama sosok Macho yang asli. Gue harus ketemu dia.