Prolog
Nama gue Kanaya Dwi Septiarini Giprayana lahir tanggal 18 November 1993, umur 27 tahun 7 bulan status single kewarganegaraan Indonesia tulen. Teman-teman sering panggil gue Peanut (pinat). Mungkin karena wajah gue banyak kacangnya.
Terlahir normal dengan berat 3,7 kg. Gue dinobatkan sebagai bayi termontok di keluarga besar. Satu-satunya anak cewek di keluarga besar yang lahir melebihi 3,5 kg. Pecah rekor. Hidup gue sejak bayi, eh, mungkin sejak proses pembuahan itu penuh perjuangan.
Mulai dari renang maraton dengan jutaan sel, bertahan di lingkungan asam hingga akhirnya mencapai garis finish dan jadi juara. Semua itu gue lalui dengan tulus ikhlas biar mama sama papa bahagia menyambut kelahiran gue di dunia.
Sejak kecil gue memang berbeda dari saudara gue yang lainnya. Kakak pertama gue cewek, terlahir cantik, pintar dan rajin. Tipe-tipe mantu idaman pokoknya. Namanya Stela yang sekarang sudah menikah dengan seorang pengusaha dan punya anak kembar. Kak Stela beda tiga tahun dari kakak kedua gue yang cowok bernama Stefan. Wajah mereka mirip, cocoklah disebut saudara kandung. Sedangkan gue anak ketiga beda dua tahun dari Kak Stefan jadi beda berapa tahunkah gue sama Kak Stela? Hitung sendiri ya.
Gue bersyukur masih dianggap saudara kandung sama Kak Stela dan Kak Stefan karena jujur gue juga bingung kenapa cuma gue yang wajahnya gak mirip sama sekali dengan mereka berdua. Sempat terpikir apakah gue bukan anak papa dan mama? Tapi melihat foto saat gue lahir pikiran itu seketika lenyap.
Gue juga ingin protes sama papa dan mama kenapa nama gue tidak diawali huruf S seperti Kak Stela dan Stefan, tapi melihat wajah kebingungan mereka membuat gue sadar apalah arti sebuah nama kalau cuma buat panggilan saja. Juga teman-teman manggil gue dengan nama Pinat bukan Kanaya.
Selesai sudah masalah nama dan wajah yang tak mirip kini gue dihadapkan dengan masalah serius. Menyangkut hidup dan mati gue sebagai manusia sejati. Jika dalam dunia medis dikatakan sebagai penyakit kronis karena tidak kunjung sembuh. Penyakit kronis adalah penyakit yang berlangsung lama, biasanya lebih dari satu tahun. Jenis penyakit ini sering tidak disadari sampai kondisinya terlanjur parah. Dan gue didiagnosa penyakit ke-jom-blo-an- kronis dengan kejangkitan bertahun-tahun.
Parahnya gue baru sadar sama penyakit itu di usia 27 tahun dan akan memasuki usia 28 tahun. Gue sadar ketika tahu teman-teman gue banyak yang sudah menikah dan punya anak satu. Setiap kali gue kondangan penyakit gue kambuh. Gak punya pasangan buat di gandeng, always alone and lonely.
Entah sampai kapan penyakit ini bakalan minggat dari hidup gue yang pasti gue harap segera. Karena gue lelah lahir batin kalau ditanya, Kapan nyusul? terus ada juga yang tanya, Pacar kamu orang mana? atau yang lebih nyesek lagi, Masih sendiri? Saat itu gue cuma bisa telan kenyataan pahit buat obati sakit hati yang belum ada obatnya.
Belum lagi tiap malam Minggu yang datangnya setiap Minggu semakin memperparah kondisi dan tingkat kengenesan gue. Saat teman-teman pada lomba-lomba update story sama pacarnya sementara gue tetap jadi kaum rebahan sejati. Sejak gue bernapas dengan paru-paru dan menghirup oksigen dari hidung jodoh terus berlalu dari hidup gue. Gak ada yang nyangkut kayak layangan. Semua berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak.
Gue bertekad mulai hari ini gue bakalan berjuang untuk sembuh dari penyakit ini. Gue bakalan buktiin kalau gue juga bisa update story bareng pacar, gandeng cowok pas kondangan dan tersenyum bahagia saat ditanya, Kapan nyusul? serta pertanyaan pendukung lainnya. Gue, Kanaya Dwi Septiarini Giprayana salah satu manusia jomblo dari dua ratus tujuh puluh juta penduduk Indonesia siap melawan kejombloan kronis.