Perjodohan

886 Words
Setelah pulang dari rumah Santi gue kembali ditampar oleh kenyataan pahit. Ponakan yang usianya baru lima belas tahun tiba-tiba ada di rumah sama pacarnya. Bukan iri atau bagaimana tapi kedatangannya membuat kengenesan gue semakin terlihat. "Dut, dari mana?" tanya Kak Stefan menatap gue sambil gonta-ganti chanel TV. Nambah lagi nama panggilan gue. "Dari rumah Santi. Kenapa?" "Tuh, Saras pulang sama pacarnya," sahut Kak Stefan menekankan kata pacar di akhir kalimat. Mulai lagi. Gue duduk di samping mama berharap mendapat bala bantuan namun sayang mama sama Kak Stefan sama saja. "Kamu sudah dewasa Nay. Sudah pantas pacaran. Nanti di usia kamu yang ke 30 makin susah lo dapat cowok. Kamu sudah 27 tahun, mama gak mau kamu kesepian terus." "Tante Kanaya belum punya pacar juga?" sahut Saras. Pria yang ada di sampingnya tersenyum-senyum. "Anak kecil gak boleh pacaran. Kamu malah terang-terangan bawa pacar ke rumah. "Gak apa terang-terangan tante, dari pada gelap-gelapan makin bahaya." "Cih, anak kecil bisanya ngelawan sama yang lebih tua." Mama melerai. Bukannya menasehati Saras jangan pacaran mama malah membela bocah itu. "Nay, besok kamu ikut mama ke kantor papa kamu, ya. Sekalian mama mau kenalin seseorang sama kamu." "Mama mau jodohin aku lagi?" "Kenalan saja, gak dijodohin kok. Siapa tahu kamu suka, kalau tidak suka, ya, gak masalah." Ini perjodohan kedua yang mama rencanakan. Perjodohan yang pertama dengan anak buah papa juga di kantor. Namanya Rizky, orangnya baik, perhatian tapi sayang dia sudah punya pacar di kampung. Dia tipe cowok setia. "Oke, ini yang terakhir. Gak ada perjodohan lagi." Mama mengangguk setuju. *** Pagi harinya gue dandan seperti biasa. Pakai baju kaos, celana panjang, sepatu dan tanpa make-up. Bisa bahaya jerawat gue kalau kena make-up lagi. Tiba-tiba mama masuk ke kamar gue lalu teriak sampai telinga gue bengkak. "Nay, ya ampun ngidam apa sih mama waktu hamilin kamu? Jadi cewek gak ada feminim-nya sama sekali. Jangan pakai celana ganti pakai rok, baju kamu juga jangan cuma kaos biasa." Mama membuka lemari gue dan lagi-lagi dia teriak. "Ini lemari cewek apa cowok sih, Nay? Celana semua isinya." "Sudahlah, Ma. Itu namanya masih wajar dari pada anak cowok lemarinya isi rok semua. Lebih repot lagi itu. Dari pada mama pusing lebih baik Kanaya pakai celana. Lebih nyaman." Mama menutup lemari lalu berbalik sambil berkacak pinggang. "Tunggu, mama ambil rok buat kamu." Mama keluar entah mau ke mana. Demi perjodohan ini gue rela izin di sekolah. Kalau gue nolak itu artinya gue siap untuk diteror seharian penuh. Diundur sedikit pun percuma, mama tidak terima penolakan. Mama kembali dengan sebuah rok warna coklat. Perintah mama adalah mutlak, gak boleh diganggu gugat. Terpaksa gue harus pakai rok. *** Semua pasang mata menatap gue dari atas sampai bawah. Rasanya aneh pakai rok terus rambut diurai dan dihias pakai bandana. Rambut gue malah jadi gatal. Kutu gue alergi sama bandana. Sampailah gue sama mama di depan ruang papa, tapi bukan ruangan itu yang kami tuju. Mama mengetuk pintu ruangan yang ada paling pojok. Suara pria terdengar tegas dari dalam. Mama membuka pintunya. Kami masuk dan disambut ramah oleh pria muda berdasi hitam panjang serasi dengan jas yang ia kenakan. Dilihat dari penampilannya dia sosok pemimpin tegas dan berkarisma. Tubuhnya kekar padat berisi dan semoga saja dia lelaki yang tepat buat gue. "Halo Nak Satria, selamat pagi.' "Selamat pagi Bu Shita, senang menerima kunjungan Anda pagi ini." Mama menarik tanganku untuk berdiri di sampingnya. Aku berusaha tersenyum ramah pada Satria. Namun, dia hanya menatapku datar. "Ini anak saya namanya Kanaya. Dia sudah lulus kuliah dan sekarang jadi guru TK. Dia suka anak kecil, tipe-tipe istri ideal, ya, kan Nay?" Mama mulai menebar umpan. "I-iya, Ma." Satria mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri. "Saya Satria senang mengenal kamu Kanaya." Gue tiba-tiba deg-degan. Jantung gue rasanya mau copot. Mendengar suara Satria membuat gue langsung jatuh hati. Mungkin dia orang yang akan menjadi seoulmate gue. Tangan gue bergetar, tubuh panas dingin saat tangan halusnya menyentuh kulit kering gue yang lupa pakai body lotion. Caranya memperlakukan wanita benar-benar gentle. Pria idaman semua wanita. Wajah gue terasa panas, semoga saja gak memerah. Senyum Satria benar-benar manis. Mama menyenggol lengan membuat gue sadar kalau dari tadi sibuk melamun. "Mama tinggal dulu ya, Nay. Kamu ngobrol saja dulu sama Satria. Nak Satria tante titip Kanaya, ya." Satria mengangguk. Mama pun keluar dari ruang kerjanya. Tinggal gue sama Satria berduaan. Satria tidak banyak bicara, dia sibuk sama laptopnya. Sejujurnya gue pengen ngobrol sama dia tapi debaran jantung ini membuat gue gugup setengah mati. Mungkin ini pertanda kejombloan gue bakal minggat. "Pak Satria hobinya apa?" Dari sekian banyak topik pembicaraan malah hobi yang keluar dari mulut gue. Satria melepas tatapannya dari laptop. Ia beranjak dan duduk di samping gue. Jantung gue berdetak lebih cepat. Bau parfumenya memenuhi indra penciuman gue. Mungkin Satria benar-benar belahan jiwa yang selama ini gue cari. "Saya suka olahraga, tapi itu dulu sebelum pacar saya menikah." Wajahnya sendu terlihat sangat sedih. Mungkin ini jalan Tuhan mempertemukan gue sama Satria untuk saling mengobati luka satu sama lain. "Pasti sedih banget ya, Pak, tapi bapak tenang saja, masih banyak cewek cantik di luar sana yang mau jadi pacar bapak." Termasuk gue Satria tersenyum lalu menunduk. Ia mengeluarkan dompetnya lalu mengambil sebuah foto polaroid ukuran 2R. Ada dua pria yang sedang tersenyum memakai atribut wisuda. Jika dilihat dari tempat fotonya sepertinya itu di luar negeri. "Dia pacar saya." "Eh?'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD