Pagi ini terasa luar biasa. Alarm tidak berbunyi gara-gara kehabisan daya. Ditambah keran kamar mandi yang rusak dan ban motor yang kempes. Terpaksa gue minta tolong Kak Stefan mengantar ke tempat kerja.
“Lain kali kalau punya motor sering-sering di service. Motor sudah butut gak pernah dicuci, oli gak pernah diganti. Malang banget nasib motor lo. Kalau motor bisa ngomong mungkin lo bakalan dimaki habis-habisan,” omel Kak Stefan.
“Jangan jadiin jomblo alasan lo malas merawat motor,” lanjutnya lagi.
Ini yang gak gue suka dari Kak Stefan, cerewetnya melebihi mama. Apa-apa dikaitkan dengan jomblo. Terus waktu gue sakit dia bakalan ngomel-ngomel seharian, tapi Kak Stefan rela pulang cepat demi gue. Bahkan setiap tiga jam sekali dia ke kamar gue buat memastikan kalau makanan dan obat sudah dihabiskan.
“Ini pertama kali gue minta lo anterin ke tempat kerja sudah ngomel-ngomel. Kalau motor gue baik-baik saja gue nggak mau duduk di mobil mewah lo ini.”
Kak Stefan menatap gue saat lampu lalu lintas menyala merah. “Untung gue masih di rumah kalau enggak naik apa lo ke sekolah. Harusnya lo senang punya kakak kayak gue yang bisa diandalkan saat genting.”
Kak Stefan selalu membanggakan dirinya seolah gue orang paling beruntung sedunia memiliki kakak seperti dia. Gue tidak membalas ucapan Kak Stefan karena gue tahu tidak akan berujung. Seperti mengarungi luas lautan tanpa batas. Entah kenapa Kak Stefan hobi banget debat sama gue.
Setelah mobil berbelok dua kali dari jalan raya sampailah kita di depan Taman Kanak-Kanak Gembira. Tempat gue bekerja selama 5 tahun ini. Dari mobil gue bisa lihat anak-anak memasuki ruang kelas dan ada juga yang bermain perosotan yang ada di halaman. Rasa kesal gue seketika menguap saat menatap wajah polos mereka.
“Thank you, ya, sudah mau nganterin sampai sekolah. Kalau mau jemput, gue pulangnya jam satu siang kalau gak mau jemput kabari satu jam sebelumnya, ngerti?”
“Iya, Bawel.”
Gue segera turun dari mobil setelah mencium tangan Kak Stefan. Gue gak mau Kak Stefan turun dari mobil nyari gue terus nyuruh cium tangannya. Dia pernah melakukannya sekali dan untungnya belum ada guru yang masuk ke ruangan. Lagi pula itu adalah tanda rasa hormat kepada orang yang lebih tua—katanya.
Bel berbunyi. Anak-anak berbaris di depan kelas masing-masing. Sebelum mereka masuk ruangan biasanya kami para guru akan mengecek kebersihan kuku mereka lalu bernyanyi bersama, setelah itu masuk ke kelas sambil memegang bahu teman, seperti kereta api. Anak-anak sangat bersemangat melakukannya setiap pagi.
“Anak-anak sekarang keluarkan buku gambar, alat tulis dan pensil warna kalian ya, letakkan di atas meja karena kita akan menggambar. Ada yang suka menggambar di sini?”
Anak-anak menjawab sangat antusias. Namun, ada suara tangis samar-samar terdengar dari teriakan semangat mereka.
“Arya kamu kenapa nangis?”
“Dia gak bawa pensil Bu Guru,” celetuk gadis yang duduk di sampingnya.
“Arya jangan menangi, ya, kamu bisa pinjam punya teman.” Gue coba menenangkan, tapi Arya tetap menangis.
“Aku mau pulang. Mama… aku mau pulang,” ucapnya histeris. Gue coba menangkan Arya dengan berbagai macam rayuan dan beruntungnya ia mau berhenti menangis setelah gue beri permen.
Pelajaran menggambar dimulai dengan dua buah gunung yang di tengah-tengah ada matahari tersenyum sedangkan di bawah gunung ada gambaran jalan berkelok dan pemandangan sawah. Anak-anak mulai berkreasi sesuai keinginan mereka dan tugas gue selanjutnya adalah memuji dan memberi bintang di setiap karya mereka sebagai bentuk apresiasi. Melihat senyum anak-anak membuat hari gue lebih menyenangkan. Seperti itulah pekerjaan gue hampir setiap hari.
“Kanaya, Sabtu ini ada rapat wali siswa, kamu bisa hadir, ‘kan?” tanya Mirah salah satu guru yang mengajar di kelas A2
“Tentu bisa.”
“Ya, sudah sampai bertemu hari Sabtu, aku duluan, ya.” Mirah mengambil tasnya yang ada di atas meja lalu keluar dari ruang guru. Ponsel gue belum juga berdering itu artinya Kak Stefan akan menjemput tapi sampai saat ini mobilnya belum terlihat parkir depan sekolah. Gue harus segera pulang karena tidak mungkin menunggu Kak Stefan lebih lama lagi. Gue bisa telat bertemu si Macho.
Suara klakson terdengar di luar sana. Gue segera menutup resleting tas dan bergegas keluar sambil berlari kecil. Kak Stefan sendiri yang menjemput gue itu artinya dia tidak ada kerjaan.
“Lo harus berterima kasih karena gue sudah meluangkan waktu di sela-sela kesibukan gue buat jemput lo,” ujar Kak Stefan saat p****t gue mendarat empuk di jok mobilnya. Gue segera menutup pintu lalu Kak Stefan mulai menjalankan mobilnya.
“Iya, terima kasih kakak gue yang paling baik sedunia.”
Kak Stefan tersenyum senang, biarlah dia bahagia yang penting tidak cerewet lagi. Mobil berhenti di depan rumah. Gue segera turun, tapi Kak Stefan mencegatnya. Tangan kanan terulur mengisyaratkan untuk menciumnya.
“Salim.”
Gue menarik tangan Kak Stefan lalu menciumnya. Tanpa menunggu mobil Kak Stefan menjauh gue segera masuk ke dalam untuk bersiap bertemu Macho di sebuah rumah makan. Setelah mandi, berganti baju dan dandan gue langsung pergi ke garasi untuk mengambil motor. Untungnya motor sudah selesai diperbaiki dan sudah dicuci bersih.
***
Santi bilang si Macho ini duduk di pojokan dekat kipas angin. Santi bahkan mengirim foto mejanya. Gue yakin Santi lagi chating-an sama si Macho. Tidak butuh waktu lama gue akhirnya menemukan sosok pria yang menggelitik rasa penasaran gue, tapi gue ragu mendekatinya bukan karena wajahnya yang di bawah UMR. Dia tergolong pria tampan dan manis, tapi dia masih SMA. Bahkan pria itu masih mengenakan seragamnya lengkap dengan dasi yang sudah dikendorkan.
“Lo yang namanya Macho?” Gue tarik kursi yang ada di depannya membuat pria itu kaget.
“Kamu yang namanya Kanaya?” Gue mengangguk membuat dia kaget. Jangankan dia gue sendiri juga kaget. Bisa-bisanya gue kencan sama bocah ingusan.
“Panggil gue kakak. Gue lebih tua dari lo. Kelas berapa sekarang?”
“Kelas 11, Kak,” ucapnya sambil tertunduk.
“Masih SMA sudah main chating kencan online khusus dewasa. Belajar dulu yang benar. Mau jadi apa kamu gede nanti?” Gue jadi pengen ceramah depan si Macho, wajahnya manis tapi setiap melihatnya membuat gue kesal. Mungkin karena gue tidak suka melihat anak-anak usia sekolah lebih memilih cinta-cintaan dari pada belajar.
“Ya terserah aku dong, Kak. Kakak gak perlu ngatur-ngatur,” ucapnya kesal.
“Nama aslimu siapa?” gue berusaha tenang. Jiwa labil anak SMA memang susah dimengerti.
“Deri,” ucapnya singkat.
Gue cuma bisa menghela napas. Anak seusia Deri bisa menggunakan aplikasi kencan. Apa dia tidak sekolah atau jangan-jangan dia sering bolos.
“Kenapa kamu pakai aplikasi itu?”
Deri mengangkat kepalanya. Wajah cemberut terlukis jelas. “Aku gak mau jomblo terus, teman-teman sering ledek aku karena tidak pernah pacaran.” Kepalanya tertunduk lagi sepertinya dia malu mengakui kejombloannya yang bisa dibilang mirip gue. Andai dia bukan anak SMA mungkin gue bisa jadiin dia pacar, tapi dia masih kecil dan lebih cocok jadi murid gue dari pada pacar.
“Kakak juga pakai aplikasi itu, kan? Pasti kakak jomblo dan gak laku,” ucapnya tepat menusuk hati.
“Deri dengar ya, pacaran itu bukan untuk adu gengsi. Buat apa punya banyak pacar atau mantan, gak ada gunanya. Kamu harus melihat bahwa dunia itu luas tidak hanya terpusat pada pria atau wanita saja. Gunakan waktu kamu untuk belajar karena cewek lebih suka cowok mapan. Kalau kamu punya cita-cita fokus saja untuk mewujudkannya. Hiduplah untuk masa depanmu.”
Deri mengangguk. Gue jadi kasihan sama anak ini, dia anak yang polos tapi karena teman-temannya ia jadi seperti ini. Gue panggil pelayan warung dan memesan makanan untuk kita berdua. Sepulang kerja gue belum makan jadi tidak masalah makan berdua dengan Deri sekalian memberikan pencerahan sampai kegelapan pikirannya menghilang. Siapa tahu setelah ini dia hapus aplikasi itu.
***
Setelah pulang dari kencan yang gagal kini gue langsung meluncur ke tempat pemotretan Santi. Ia harus bertanggung jawab karena sudah membuang waktu berharga gue. Di sebuah studio besar di mana banyak para model fashion melakukan pemotretan. Santi sedang berpose di depan kamera saat gue masuk.
Sahabat gue yang satu ini memang cantik, tubuhnya ramping sesuai porsinya. Ditunjang tubuh tinggi dan kulit mulus membuat karirnya semakin memuncak. Santi orang yang beruntung karena sejak kecil ia sudah memulai karirnya. Ia bercerita saat masih SD ia menjadi model pakaian anak di butik milik bibinya.Semenjak itulah keinginannya menjadi model muncul dan saat dewasa ia benar-benar menjadi model.
Beruntunglah Santi yang minat dan bakatnya sejalan jadi mudah baginya untuk mecari tahu apa yang harus ia lakukan untuk mewujudkan mimpinya. Santi menghampiri gue dengan gaun panjangnya yang menyapu lantai. Rambut yang digelung tinggi ditambah beberapa aksesoris membuat Santi harus berhati-hati saat melangkah. Cantik, elegan seperti putri di cerita dongeng.
“Tumben lo ke sini, ada apa Nat?”
“Gue mau cerita masalah kencan tadi sore sama si Macho.”
Santi duduk di depan gue setelah asistennya memberikan kursi empuk. Inilah enaknya jadi model kesayangan apa-apa dilayani.
“Bagaimana, ganteng? Tajir? Dia kerja di mana?”
“Dia masih SMA baru kelas 11, masih bau kencur.”
Santi menutup bibirnya dengan tangan. Gue yakin kalau cuma ada kita berdua dalam ruangan si Santi bakalan tertawa keras sampai-sampai aura cantiknya menghilang dalam sekejap.
“Astaga, gue kira dia CEO yang pura-pura jadi gembel. Ya sudah lo jangan sedih lagi, gue bantu carikan pacar lagi.”
“Gak perlu, aku mau cari sendiri saja.”
Santi menarik tangan gue lalu mengusapnya. Wajah Santi berubah sedih saat mata kami beradu pandang. “Gue turut prihatin masalah kejombloan lo yang gak putus-putus, mungkin karena lo orangnya setia makanya susah move on sama si jomblo.”
Santi mulai meledek. Ia tertawa kecil saat mengatakannya. Mungkin ini sudah nasib dan suratan Tuhan yang mentakdirkan gue hidup sendiri. Apa jangan-jangan gue memang tidak punya jodoh?
“Nat coba ke dukun saja, siapa tahu ada yang bisa bantu lo,” usul Santi.
“Lo masih percaya sama yang begituan? Mana ada dukun bisa menyelesaikan masalah cinta?”
“Coba saja, cari dukun yang paling top dan terpercaya,” kata Santi membuat gue mikir seribu kali. Jujur gue nggak percaya sama dukun-dukunan karena menurut gue perdukunan itu hanya mitos. Sama seperti cerita penyihir di luar negeri.
“Siapa tahu setelah nyari dukun banyak yang dekat sama lo,” ujar Santi.
Gue semakin galau. Apa iya harus cari dukun?