PROMISE - BAB 8

1222 Words
Aku tidak boleh seperti ini. Malam ini aku gagal lagi akan menunaikan kewajibanku pada Habibi. Padahal aku tahu, hasrat Habibi sudah di ubun-ubun dan ingin segera tersalurkan. Aku bodoh, aku masih saja ingat dosaku dengan Dio. Akua malu pada Habibi. Aku hanya bisa menangis di pelukannya dan semakin takut dia akan meninggalkan aku. "Sayang, aku tidak apa-apa, kamu jangan menangis. Aku akan menunggumu siap. Tidurlah, aku mencintaimu, Ainun," ucap Habibi sambil memelukku dan mencium keningku. Bodohnya aku. Semua pakaianku sudah terlepas, dan saat Habibi akan melakukannya, aku sungguh takut. Aku tidak tahu kenapa terus seperti ini. Ya, aku harus ke psikiater, harus. "Apa kamu pernah melakukannya dengan Yasmin?" Mulutku tiba-tiba berkata seperti itu. Aku tidak tahu kenapa aku selalu ingin tahu masa lalu Habibi, yang dulu aku tak menghiraukannya. "Kenapa kamu tanya seperti itu?" tanya Habibi dengan mengusap pipiku. "Aku hanya ingin tahu saja, kamu suamiku, dan aku juga berhak tahu masa laluku, seperti kamu tahu masa laluku," jawabku. "Oke, aku jawab jujur, dan mungkin, memang kamu harus tahu semua," ucapnya. Habibi sejenak diam, dia menatap wajahku, mencium keningku dan mencoum kilas bibirku. "Ainun, tidak bisa ku pungkiri, mengenal Yasmin semenjak aku SMA sampai kuliah, hingga akan menikah, jadi kami berpacaran dengan gaya pacaran sejak masa itu. Kami memang jauh dari pantauan orang tua kami. Kami pernah serumah berdua layaknya orang yang sudah menikah, dan maaf, aku memang pernah melakukannya," jawab Habibi. Kejujuran Habibi membuat tubuhku kaku, hatiku rasanya bagai tersayat sembilu. Habibi yang aku agungkan sebagai sosok yang tak pernah cacat, dan menghargai wanita, ternyata dia sama saja seperti lelaki pada umumnya, yang menggunakan nafsu untuk mencintai wanita. Aku terdiam sejenak, aku menatap wajah Habibi dan menyimpulkan senyum di sudut bibirku. "Terima kasih kamu sudah jujur dengan aku. Memang kita semua tak lepas dari masa lalu. Ya, itu masa lalu kamu, aku mohon, simpan masa lalu itu pada tempatnya, dan jangan ulangi dengan orang yang sama," ucapku dengan mendaratkan ciuman kilas di bibir Habibi. Rasanya ingin menangis, tapi aku tidak bisa. Air mataku sudah kering, hatiku juga sudah beku. Kini saatnya aku harus merebut Habibi, aku harus bisa melakukannya, dan bisa menggantikan rasa yang dulu pernah ada untuk Yasmin. "Kamu tidak marah aku jujur seperti ini?" Tanya Habibi. "Untuk apa aku marah? Kamu sudah jadi milikku, dan aku akan berusaha, untuk bisa menjadi istrimu seutuhnya," ucapku dengan memeluk Habibi. Marah? Iya aku marah. Bukan hanya marah saja, tapi aku kecewa, kecewa pada diriku sendiri, marah pada diriku sendiri yang memaksa Habibi menceritakan masa lalunya bersama Yasmin. Dan, sekarang hanya rasa sesak yang menghimpit rongga dadaku ini. Yasmin wanita yang cantik, dan penampilannya sungguh elegan di bandingkan aku yang seperti ini apa adanya. Dia seorang dokter, sama seperti Habibi. Aku benar-benar menyesal, karena aku belum bisa memberikan hak Habibi. "Ainun," panggil Habibi. "Iya, ada apa?" Jawabku. "Kamu baik-baik saja?" Tanya Habibi. "Iya, aku baik-baik saja, kenapa Habibi?" "Jangan memikirkan apa yang aku ucapkan, itu kejadian dulu, Ainun." "Soal Yasmin? Aku tidak memikirkan itu, aku hanya tidak habis pikir, aku menyangka kamu seperti itu. Ya, memang manusiawi, mungkin hanya aku saja yang belum bisa melakukannha." "Jangan seperti itu, aku akan selalu menunggumu bisa melakukannya," ucap Habibi. Habibi memelukku, dia menenggelamkan wajahnya di dadaku. Aku mengusap kepalanya, dia suamiku aku mencintainya sangat mencintainya, tapi aku belum bisa melakukannya. ^^^^^ Satu bulan telah berlalu, selama satu bulan ini aku selalu sibuk dengan urusanku yang menemui Psikiater dan memulai membuka butik baruku. Padahal bunda inginnya aku tetap mengurus butik bunda, tapi mau bagaimana lagi, Habibi malah memberikanku lahan untuk memulai Bisnisku mengelola butik lagi. Habibi memberikan aku butik yang benar-beran luas dan besar, dan Alhamdulillah berkat bantua Nuri juga, butikku setiap hari ramai pengunjung. Karena kesibukan aku dengan butikku dan sibuk karena aku juga harus terapi dengan psikiater, aku sekarang jarang menemani Habibi ke rumah sakit atau saat seminar. Dia juga akhir-akhir ini selalu pulang agak malam. Aku sudah menemui psikiater. Dan sudah hampir 1 bulan aku konsultasi dengan psikiater yang bernama Jenny. Dia membimbingku agar aku bisa menghilangkan traumaku. Aku memang tidak memberitahukan pada Habibi kalau aku menemui psikiater. Ini kemauanku, karena aku ingin memberikan kejutan untuk Habibi, karena aku sudah siap untuk melakukannya. Itu semua aku lakukan, demi suamiku agar dia tidak kembali ke masa lalunya. Aku memang melihat sekilas, Habibi akrab lagi dengan Yasmin. Aku mencoba menepiskan pikiranku yang macam-macam, aku percaya Habibi tidak mungkin kembali dengan Yasmin. Mereka dekat karena memang bekerja di rumah sakit yang sama. Kami sering bertemu, kemarin juga aku bertemu Yasmin dengan Habibi di rumah singgah milik dr. Wulan. Malam ini, aku akan mencoba menjalankan kewajibanku sebagai istri Habibi. Aku sudah siap, benar-benar sudah siap. Aku memakai parfum kesukaan Habibi. Aku memakai gaun yang sedikit seksi malam ini, aku memoleskan sedikit make up di wajahku. Ya, malam ini aku akan melakukannya. Ada hal bahagai dalam diri ku malam ini. Aku sudah berani, aku pasti berani dan bisa menjadi istri yang baik untuk Habibiku. Aku menunggu Habibi yang masih di kamar mandi. Ya, perasaanku kali ini sungguh berdebar-debar tidak seperti biasanya. Kali ini sungguh berbeda, aku merasa seperti jatuh cinta lagi dengan Habibi. Aku tidak sabar menunggu Habibi yang keluar dari kamar mandi. Aku membayangkan Habibi menyentuhku malam ini dengan penuh cinta dan kehangatan. Aku mendengar ponsel Habibi berbunyi. Aku memang sudah lama tidak memegang ponsel Habibi. Karena dia sibuk sekali akhir-akhir ini. Dan aku juga sibuk di butik, di rumah singgah, juga sibuk menemui psikiaterku. Aku meraih ponsel Habibi yang dari tadi berdering karena ada notifikasi pesan masuk berkali-kali. Aku membukanya. Tanganku gemetar, saat melihat nama Yasmin tertera di ponsel Habibi dan mengirim pesan dengan begitu banyaknya. Aku memberanikan diri untuk membukanya, dan aku buka pesan itu, aku baca satu- persatu, dari awal hingga akhir. "Yas, terima kasih sudah mendengarkan ceritaku. Kamu memang pendengar setiaku dari dulu. Dan, hingga detik ini kamu masih mengerti akan diriku ini. Sekali lagi terima kasih." "Akmal, apa kamu akan terus bertahan dengan istrimu yang tidak mau memenuhi kebutuhan batinmu? Dan kenapa kamu ingkar dengan janjimu, Akmal? Kamu dulu berjanji akan menungguku sampai selesai pendidikan, tapi setelah aku kembali, kamu tidak ada di rumah, dan aku mendengar kamu sudah menikah. Aku berusaha melupakan kamu, Mal. Tapi, hingga saat ini aku tidak bisa, Mal." "Yas, aku sangat mencintai Ainun. Dan jujur aku juga masih mencintaimu. Tapi, semua sudah berbeda, aku sudah menjadi suami dari Ainun, wanita yang aku pilih, wanita yang aku sayangi dan aku cintai." "Mal, kamu mencintai istrimu, tapi dia tidak menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri apa itu adil?" "Aku akan menunggunya, Yas." "Mal, apa tidak ada kesempatan lagi? Jika aku harus jadi istri keduamu, aku rela, Akmal," "Yas, tidak mudah untuk berpoligami. Meski aku mencintai kamu dan mencintai Ainun. Tetap akan ada hati yang terluka baik Ainun ataupun kamu. Dan, mungkin kita semua akan terluka." "Akmal, aku tahu itu. Mal, aku sedikitpun tidak bisa melupakan kenangan kita saat dulu bersama. Pernikahan yang sudha kita siapkan, karena ego dari orang tuaku dan aku, semua menjadi seperti ini. Mal, kamu ingat itu semua, kan?" "Aku ingat, aku ingat semua itu, Yas. Bahkan aku pun sulit melupakan, karena kita sudah lama sekali bersama dan hampir setiap hari kita melakukan itu seperti suami istri." Aku membaca chat mereka, ternyata mereka sudah lama saling bertukar pikir dan saling curhat. Aku tidak menyangka Habibi masih sangat mencintai Yasmin. Saat aku bisa, saat aku sudah tidak takut, dan malam ini juga, aku akan menunaikan kewajibanku, aku akan mencoba memberikan yang terbaik untuk suamiku. Dan saat ini juga, aku melihat kenyataan suamiku mencintai wanita lain, dia masih mencintai mantan kekasihnya. Bukan hanya mantan kekasihnya, dia adalah mantan tunangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD