PROMISE - BAB 9

2208 Words
Setelah satu bulan aku berlatih, aku belajar menghilangkan semua rasa takutku, tapi semua seakan sia-sia, karena melihat suamiku menyatakan cintanya pada Yasmin, mantan tunanganya. Ya, ini adalah karma. Karma karena aku menyia-nyiakan orang sebaik Habibi. Di saat Habibi tulus mencintaiku, aku masih terngiang dosaku saat bersama Dio. Masih terbayang semuanya tentang Dio. Sekarang, setelah aku bisa melupakan dosa saat bersama Dio, aku bisa membuang semua itu, Habibi menyatakan bahwa dia masih mencintai Yasmin. Hati ini benar-benar hancur melihat kenyataan, kalau Habibi masih mencintai Yasmin. Itu semua Habibi katakan lewat percakapan w******p nya dengan Yasmin yang baru saja aku baca. Dan, yang lebih menyakitkan, Habibi menceritakan aibku, karena aku tidak mau melayaninya sebagai istri dia. Habibi menceritakan itu pada Yasmin. Sungguh aku merasa aku adalah wanita yang tidak ada gunanya. Aku ingat saat satu hari sebelum aku kembali ke Indonesia, aku berjanji pada Habibi, saat aku dengan Habibi berjalan-jalan menikmati Sungai terpanjang kedua di Eropa yaitu Sungai Donau. Kami duduk di bangku menikmati keindahan sungai Donau saat itu di malam hari. Aku berjanji pada Habibi, setelah pulang ke Indonsia aku akan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan untuk suamiku, karena aku mencintai Habibi. Dan malam itu kami berciuman cukup lama. Aku merasakan aku wanita yang paling beruntung memiliki suami seperti Habibi. Ini adalah karma untukku. Aku harus menerimanya, aku harus bisa menerima ini. Jika suatu saat nanti Habibi benar-benar ingin menikahi Yasmin, menjadikannya istri kedua. Air mataku sudah tak tertahankan lagi. Aku meloloskan air mata ku dan melanjutkan membaca pesan Yasmin pada suamiku. "Yas, terima kasih untuk hari ini. Kamu masih sama seperti dulu. Dan, maaf, aku tidak bisa melakukan sedalam dulu, karena aku mencintai Ainun, tidak mungkin aku memberikan itu lagi padamu, meski Ainun belum memberikannya untukku." Begitu chat dari suamiku pada Yasmin 25 menit yang lalu. Aku membaca balasan dari Yasmin. "Sama-sama, Mal. Aku barharap kamu segera berbicara pada istrimu, tentang niat baikmu untuk menikahimu. Semoga Ainun merestui pernikahan ini. Karena aku tidak mau hanya menjadi simpananmu, Akmal. Aku ingin menjadi yang sah dalam hidupmu, bukan hanya sebatas simpanan saja, walaupun aku menjadi orang ketiga dalam rumah tanggamu dan Ainun." "Mal, aku mohon, bicarakan ini baik-baik, seperti janjimu tadi saat kita bertemu." Air mataku semakin deras mengalir. Aku menaruh kembali ponsel Habibi, aku tidak kuat melihat story' Yasmin juga yang menampakan foto mesra dirinya dengan suamiku. Aku tidak menyangka Habibi akan seperti ini. Ya, ini salahku, bukan salah Habibi. Ini salahku yang tidak baik menjadi seorang istri. Aku segera menghapus air mataku saat Habibi keluar dari kamar mandi. Aku sebisa mungkin mengurai senyum pada Habibi di tengah kemelutnya dan sakitnya hati ini. "Mandinya lama sekali," ucapku manja. "Aku seharian di rumah sakit, sayang. Kamu belum tidur?" Habibi mencium kening ku. "Aku ingin di peluk kamu," ucapku manja. Habibi meraih tubuhku. Aku beri dia sentuhan lembut di dadanya. Tapi dia tidak meresponku yang sedang menyentuh dadanya dengan jemariku yang lentik. Aku padahal berani menyentuh bagian sensitif Habibi. "Sayang," panggilku pada Habibi. "Hmmm….ada apa? Aku lelah sayang, ayo tidur." Habibi memelukku erat. Aku bisa apa, Habibi sudah berkata seperti itu? Saat aku ingin memberikan kewajibanku, Habibi malah seperti ini. Seperti tidak menginginkannya. Beribu macam pertanyaan menghinggap di relung hatiku. Apa Habibi sudah melakukan itu dengan Yasmin? Karena hari ini mereka bertemu. Ponsel Habibi berbunyi lagi. Habibi bangun dan melepaskan pelukanku. Dia membuka poselnya. Habibi memandangiku. Sepertinya dia tahu kalau aku baru saja membuka ponselnya dan membaca semua pesan dari Yasmin. "Ainun…" panggil Habibi. "Iya, ada apa? Siapa malam-malam seperti ini chat?" tanya ku. "Ada pasien yang harus aku tangani," jawab Habibi. "Pasien atau Yasmin?" tanya ku. "Kamu membuka ponselku tadi?" Habibi balik bertanya denganku. "Iya, aku membaca semuanya. Kamu mau menikahinya?" Aku memberanikan diri bertanya seperti itu. "Habibi, kamu boleh menikahinya. Kalau kamu inginkan itu, besok bawa Yasmin ke sini," ucapku dengan suara bergetar. Ingin sekali aku menumpahkan air mataku. Aku ingin memeluk Habibi dan mengatakan jangan duakan aku. Tapi, semua tidak bisa ku katakan, karena aku tahu dia mengharapakan Yasmin, dan dia juga laki-laki normal yang membutuhkan kebutuhan batin. Iya, aku yang salah, ini semua karena aku yang menyia-nyiakan kesabaran dan kesetiaan Habibi. Aku meringkuk membelakangi Habibi. Hatiku sangat sakit sekali. Aku sadar, ini benar-benar karma buatku. Aku akan mengikhlaskan Habibi menikahi Yasmin, jika itu yang Habibi inginkan. Aku harus bisa, aku harus kuat menerima semua ini. Habibi mendekap tubuhku dari belakang. Dia menghujani kepalaku dengan kecupan. Aku tahu, dia sangat mencintaiku, dia sangat menyayangiku. Tapi, ada dua nama di dalam hati Habibi sekarang, Aku dan Yasmin. "Ainun, maafkan aku. Aku memang mencintai Yasmin. Kehadiran Yasmin menumbuhkan cinta lagi di hatiku untuk Yasmin. Yasmin orang pertama yang aku cintai, Ainun. Aku tahu, aku salah atas perasaan ini. Aku salah Ainun. Maafkan aku. Aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu, aku tidak ingin kamu pergi dari hidupku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku sangat mencintai kalian." Habibi memelukku dari belakang denahn erat. Dia membalikan tubuhku untuk menghadap ke arah dia. Tangisku semakin pecah di pelukannya. Aku tidak mau jika aku di duakan, aku tidak bisa hidup satu atap tiga nyawa dan tiga cinta. Itu mustahil, sangat mustahil. Meskipun Habibi akan bersikap adil, pasti salah satu dari kami akan tersakiti. Entah itu aku, Yasmin, bahkan Habibi. Iya, semua akan merasa sakit hati. "Habibi, nikahilah Yasmin, tinggalkan aku," ucapku yang tiba-tiba lolos dari mulutku. Entah kenapa ucapan itu bisa lolos dari mulutku. Aku tidak tahu. Padahal hati ini sangat tidak mampu jika hidup tanpa Habibi. Ragaku tumbang tanpa dia. Jiwaku hilang sebagian tanpa dekapannya. Aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan. Iya, perpisahan antara aku dan Habibi adalah yang terbaik. Aku bukan istri yang sempurna untuk Habibi. Aku tidak bisa memberikan apa yang harus aku berikan pada Habibi. Aku wanita bodoh, sangat bodoh. Aku tidak berguna, lebih baik aku pergi dari hidup Habibi. Habibi menangis dan memeluk ku sangat erat, saat aku berkata seperti itu. Isakan Habibi terdengar di telingaku.kami menangis. Entah apa yang ada di pikiran Habibi sekarang aku tidak tahu, kenapa dia sampai menangis seperti ini. "Ainun, aku tidak bisa meninggalkanmu. Tapi, maaf. Aku akan tetap menikahi Yasmin," ucap Habibi. Ucapan Habibi begitu menohok di hatiku. Namun, aku berusaha kuat. Aku menghapus air matanya. Dan, aku juga menghapus air mata Habibi dan tersenyum di depan Habibi. "Menikahi wanita lain, harus dengan restu istri pertama, Habibi. Aku mengizinkannya, tapi aku ada syarat," ucap ku dengan suara bergetar. "Syarat? Apa syaratnya? Insya Allah akan aku penuhi," ucap Habibi. "Ceraikan aku, tapi aku minta, sebelum bercerai temani aku, dan jangan sering menemui Yasmin. Setelah kita resmi bercerai, kamu akan bebas bersama Yasmin. Itu syaratku Habibi. Kalau kamu tidak mau menceraikan aku, aku juga tidak mau dan tidak akan memperbolehkan kamu menikahi Yasmin. Dan, masalah ini akan sampai kepada keluarga besar aku dan kamu, kalau kamu akan tetap memperistri Yasmin tanpa menceraikan ku. Tapi, jika kita bercerai, aku akan menutup mulut atas masalah ini kepada siapapun, baik keluarga besarku, maupun keluarga besarmu. Dan, aku akan cari alasan lain kenapa aku dan kamu berpisah." Aku meminta syarat seperti itu pada Habibi. Habibi terlihat kebingungan. Aku tahu dia sangat mencintaiku. Tapi, aku tidak mau, hidup di dalam satu rumah dengan tiga nyawa dan tiga cinta. "Ainun, aku tidak bisa. Aku tidak bisa menceraikan kamu, aku tidak mau, Ainun." Habibi memelukku dengan erat lagi. "Jika tidak mau, jangan nikahi Yasmin," ucapku dengan tegas. Habibi hanya diam. Dia semakin mengeratkan pelukannya padaku. Aku tahu, berada di antara dua hati memang sulit. Aku juga merasakan itu, saat pertama kalinya aku menikah dengan Habibi. Jujur saja aku masih mencintai Dio. Dan sekarang, saat aku sudah melupakan semuanya tentang Dio. Habibi lah yang menautkan separuh hatinya lagi pada Yasmin. Mantan tunangannya. ^^^^^ (P.O.V HABIBI) Sudah satu bulan ini, aku memang dekat lagi dengan Yasmin. Ainun yang sibuk dengan pekerjaannya, dan aku pun demikian, selalu sibuk di rumah sakit dan beberapa seminar. Dan, saat itu pula aku sering bertemu Yasmin, hingga perasaan ini muncul setelah kami terjebak hujan deras di kawasan puncak, saat pulang seminar tadi Sore. Sebelum itu pun aku sudah sering bertukar kabar dengan Yasmin lewat chat. Hanya chat perhatian Yasmin saja sedikit buat aku. Dan, dari situlah, aku merespon terus chat Yasmin, dan sering makan siang bersama selama sebulan ini. Dan berujung di sore tadi. Ya, tadi Yasmin ikut di mobilku saat pulang, dan saat ini Ainun tidak menemaniku. Hujan cukup deras dan jalanan sore tadi berkabut. Aku memang salah, aku membawa dia ke Vila lagi, memang sangat dekat jarak dengan hotel yang kami pakai untuk seminar, dengan vila milikku. Kami masuk ke dalam Vila, penjaga Vila yang baru menyambutku, dan langsung membuatkan minuman hangat untuk kami. Waktu itu hampir petang. Hujan pun semakin deras. Yasmin yang memakai dress tanpa lengan, dia merasa kedinginan, meski jas putihnya masih ia kenakan. "Vila ini masih utuh, ya?" Tanya Yasmin. "Ya, memang masih utuh, ini Vila milikku, dan orang tuaku tidak tahu, jadi mereka semua adalah orang suruhanku untuk menjaga Vila ini," jawabku. Tidak sengaja saat Yasmin berada di dapur, kami berpapasan, dan Yasmin tidak sengaja menabrakku hingga dia jatuh kepelukanku. Kami bertatap wajah cukup lama, hingga aku berani mendekatkan wajahku dan mencium bibir indah Yasmin. Entah apa yang merasuki ku, kenangan lama, dan rasa yang lama muncul seketika itu. "Maaf, Yas," ucapku. "Ah…iya, Mal," ucapnya gugup. "Kamu dan Ainun menikah sudah lama?" tanya Yasmin mengalihkan topik perasaan yang kembali muncul di antara kami. "Sudah hampir satu tahun," jawabku. "Kalian saling mencintai, kan?" tanya dia lagi. "Iya, kami saling mencintai," jawabku. Dan, entah mengapa saat tadi, aku menjadi nyaman berbicara dengan Yasmin, bertukar pikir karena aku yang memiliki istri tapi belum bisa melakukan kewajibannya padaku. Dan, dulu saat bersama Yasmin, meski belum menikah, aku selalu mendapatkan pergulatan di ranjang bersamanya. Aku kembali memeluk Yasmin, entah kenapa aku memeluknya dan aku membawanya ke dalam kamarku dulu yang sering aku pakai dengan Yasmin. Kami tak lepas menautkan bibir kami. Lumatan dan gigitan lembut terus kami rasakan. Hingga tanganku bergerilya di tubuh indah Yasmin dan memberikan sensasi hangat di tengah dinginnya petang ini. Setelah hujan cukup reda kami pulang. Kami hanya terdiam di mobil. Saat itu pikiran ku belum jernih, karena mengingat perbuatanku tadi dengan Yasmin di kamar. Dan, jujur saja saat aku melakukannya dengan Yasmin tadi, kami tidak melakukan hubungan suami istri, kami hanya saling menyentuh saja hingga kehangatan timbul di tubuh kita. Tapi, sekilas wajah Ainun tampak saat aku akan melakukannya lebih dalam. Dan, aku hentikan. Yasmin, kecewa saat itu, aku menjelaskannya bahwa aku tidak bisa. Karena aku mencintai Ainun, dan dengan aku seperti ini aku sudah mengingakri janjiku padanya. "Mal, kamu masih mencintaiku?" Tanya Yasmin. "Yas, aku tidak bisa memungkiri, hampir satu bulan aku dekat dengan kamu, dan kali ini aku merasakan kita seperti dulu. Rasa ini muncul kembali, apa aku salah, Yas? Aku kembali mencintaimu, disaat aku sudah menikahi Ainun, dan aku juga mencintainya," jawabku. "Itu tidak salah, Mal. Itu suatu hal yang lumrah, apalagi kamu belum mendapatkan hak mu dari Ainun," ucap Yasmin. Aku memang salah, aku menceritakan cela-nya istriku pada Yasmin. Dan, saat di mobil tadi, Yasmin kembali menciumku. Aku terpaksa menepikan mobilku di tengah jalan dengan di kelilingi hutan. Kami berciuman cukup lama hingga aku bermain tubuh indah Yasmin lagi. Lekuk tubuh indanya memgelijang di depanku dengan indah saat aku memberikan sentuhan di bagian kewanitaannya. Lenguhan indahnya kini terdengar lagi di telingaku membuat aku semakin memanas. "Mal, apa kamu tidak menginginkannya lagi seperti dulu?" Tanya Yasmin dengan suara parau. "Aku belum siap. Hanya sentuhan yang bisa aku berikan, Tas," ucapku. Aku terus mempercepat jariku yang mengoyak bagian sensitif Yasmin hingga berkali-kali tubuh Yasmin bergetar dengan cantik di depanku. Aku sungguh ingin menghujam milik Yasmin dengan milikku, aku memosisikan Yasmin di pangkuanku, dan aku akan mencoba memasukannya, tapi sepintas wajah Ainun muncul di depanku. Aku menyadarinya saat aku melihat sekilas wajah Ainun lagi. Kenapa wajah Ainun lagi dan lagi muncul saat aku dan Yasmin kembali akan melakukannya di dalam mobil, setelah di Vila kami pun gagal melakukannya karena aku teringat wajah Ainun. "Ahh…Akmal, aku ingin," ucapnya di telingaku saat jariku masih di dalam liang kenikmatannya. Aku tidak tahu, seketika milikku yang tadi tegang, saat aku akan memasukan ke milik Yasmin, tiba-tiba kembali lemah, saat wajah Ainun terlihat jelas di mataku. Rasa hasrat yang membuncah turun dan tidak ingin lagi. "Mal, kok gini? Kamu mikirin apa? Ainun?" Ucapnya kesal. "Maaf Yas, aku tidak bisa. Aku ingin segera pulang, Ainun sudah menungguku," ucapku. Yasmin tampak kecewa, dia membenarkan pakaiannya dengan kasar dan kesal. Aku tahu rasanya hasrat yang sudah di ujung kepala dan tidak jadi tersalurkan seperti apa rasanya. Sungguh aku tidak bisa melakukannya. Aku ingat Ainun. "Mal, adakah kesempatan kedua untukku?" tanya Yasmin. "Untuk?" Tanyaku kembali pada Yasmin. "Menjadi istrimu," jawabnya "Aku sudah menikah, aku memiliki Ainun, aku sangat mencintainya, Yas. Dan, aku tidak bisa meninggalkannya," ucapku. "Lalu, kamu masih bisa melakukannya denganku, meski tidak menggunakan milikmu. Aku tahu kamu butuh itu. Aku bisa memberikannya, sedang Ainun? Dia istrimu tapi tidak bisa melakukannya. Untuk apa di pertahankan?" Ucapnya. Aku sakit, Yasmin berkata seperti itu tentang Ainun. Meski Ainun tak sempurna, dia sedikitpun tak ada cela di mataku. Dia sempurna, wanita yang benar-benar sempurna untukku. "Maaf aku tidak bisa, tapi aku akan tetap berbicara dengan Ainun, agar dia bisa menerima jika aku akan menikahimu. Aku juga tidak mau merusak dirimu lagi. Aku harap kamu bisa sabar, aku akan mengutarakan ini semua pada istriku," ucapku. Ya, aku mencintai Yasmin, dan aku juga sangat mencintai Ainun. Sebulan dekat dengan Yasmin, begitu mudah mengembalikan masa indah kenangan kita. Dan aku tahu ini adalah kesalahan dalam hidupku. Aku mengeratkan pelukanku pada Ainun, setelah aku mengingat kejadian tadi sore bersama Yasmin di Vila ku. Aku merasa aku mengkhianati Ainunku. Aku mengingkari janjiku pada Ainun. Aku mencium keningnya, dan memeluknya hingga aku terlelap tidur di pelukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD