(P.O.V HABIBI)
Aku tidak menyangka akan bertemu wanita itu lagi. Ya, Yasmin. Setelah aku bahagia hidup bersama Ainun, dia kembali lagi. Dia kembali dengan masih sama seperti dulu. Masih menjadi wanita yang sangat periang, meski dalam hatinya mungkin sakit melihat aku sekarang sudah menikah. Sorot matanya memang seperti itu. Aku tahu, dia menyembunyikan rasa sakit itu.
Tapi, aku tidak peduli, semua rasa untuknya kini sudah hilang. Sudah tidak ada lagi. Aku juga tidak menyangka, dia bisa bertugas di rumah sakit milik papah. Apa papah tahu semua ini, kalau Yasmin bertugas di rumah sakitnya? Jika tahu, mana mungkin mengizinkannya. Papah juga masih sakit hati dengan dia dan orang tua dia.
Aku melihat Ainun dari tadi melamun. Sehabis sholat Isya biasanya dia mengaji dan setelah itu menyiapkan makan malam. Kali ini aku hanya melihat dia duduk di atas sajadahnya dan memandang ke sembarang arah dengan tatapan kosong. Aku yang baru saja selesai melepas pakaian sholatku, dan berganti pakaian. Aku mendekati Ainun, aku duduk di sampingnya.
Ainun menoleh ke arahku, dan mengubah posisi duduknya menghadap aku. Senyumnya terurai di wajah ayunya. Aku mencium keningnya dan memeluknya. Dia menangis di pelukanku. Aku tahu, dia sedang menyembunyikan rasa yang tidak bisa ia ungkapkan di dalam hatinya.
"Sayang, maafkan aku. Aku mohon malam ini ajari aku, agar aku tidak takut untuk memberikan semuanya untuk kamu," ucap Ainun di sela-sela tangisannya.
"Kenapa kamu bicara seperti ini?" Tanyaku dengan melonggarkan pelukannya. Aku menatap matanya yang sudah memerah dan basah karena air matanya.
"Karena aku tidak ingin kehilangan kamu," jawab Ainun dengan lirih.
"Jangan bicara seperti itu, meski kamu belum memberikan seutuhnya untukku, aku tidak akan pernah meninggalkanmu Ainun. Aku janji itu. Ketika aku mengucap Ijaab Qobul di depan Abah, saat itu juga Allah mencatat janjiku, untuk setia mengarungi rumah tangga bersamamu, apapun yang akan terjadi. Kamu jangan takut aku meninggalkan kamu. Jangan siksa dirimu, sayang. Aku tidak pernah memaksa kamu untuk sekarang melakukannya," ucapku dengan memeluk Ainun.
"Apa yang kamu takutkan, Ainun? Apa kamu takut aku kembali dengan Yasmin? Itu tidak mungkin Ainun." Aku berkata seperti itu dan meyakinkan Ainun.
"Ya, aku takut itu. Aku memikirkan itu. Apalagi aku belum bisa menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri," ucap Ainun.
"Jangan pernah takut, aku tidak akan seperti itu. Aku janji," ucapku meyakinkan Ainun.
"Jangan menangis lagi. Kamu wanitaku, kamu satu-satunya orang yang aku cintai, sekarang dan selamanya. Aku janji." Aku memeluk Ainun. Dia masih menangis di pelukanku.
Sungguh kali ini aku sudah membuatnya menangis karena seorang wanita. Ya, karena Yasmin, Ainun menjadi seperti ini. Aku tahu Yasmin masih menyimpan sejuta rasa untukku. Aku bisa menebaknya lewat tatapan matanya, saat aku memperkenalkan Ainun padanya.
Dan, aku salah. Seharusnya aku tidak memberikan kontak ku pada Yasmin. Mungkin karena itu juga, Ainun menjadi merasa aku menemukan kembali masa laluku. Dia boleh hadir, tapi itu adalah masa lalu, dan Ainun adalah masa depanku. Meski dia belum juga memberikan hak ku. Aku akan tetap menunggu. Aku sadar, melupakan masa lalu dengan seorang yang sangat di cintai butuh waktu lama. Seperti aku melupakan Yasmin dulu.
Aku yakin, Ainun sudah lupa dengan masa lalunya. Yang belum bisa lupa adalah, dia masih selalu terngiang akan dosanya. Dia malu, karena bingkainya tak utuh lagi. Dan, dia selalu bilang, tidak pantas orang sebaik aku mendapatkan dirinya yang sudah rusak. Padahal aku pun sama, tak jauh dari Dio gaya pacaranku dengan Yasmin dulu. Apalagi aku sudah 10 tahun lebih bersama Yasmin.
Aku tidak munafik, seorang laki-laki dan perempuan pernah bersama, tidak mungkin hanya mengobrol atau sekedar makan berdua saja di luar. Apalagi, di dasari rasa cinta dan saling sayang, lalu ada landasan rasa saling memiliki sebagai pacar atau calon istri. Aku tidak munafik, aku pun sudah terbiasa melakukan hal yang tak seharusnya aku lakukan sebelum aku menikah pada Yasmin. Mungkin bagi Yasmin, itu sudah biasa. Tapi, bagi Ainun yang baru mengerti satu cinta dari Dio saja, aku tidak heran dia masih trauma dengan hal seperti ini.
Aku semakin mengeratkan pelukanku pada Ainun. Aku merasa bersalah, aku memberikan kontak pada Yasmin, aku lama bercerita dengan dia tadi. Dan, Zaskia, dia asal ceplos bicara soal Vila, yang membuat Ainun semakin diam, dan di penuhi rasa takut.
Memang vila itu banyak sekali kenangan bersama Yasmin, sama dengan rumah Opa di Budapest, yang kemarin dipakai saudara-saudaea Ainun saat liburan ke Budapest. Semua banyak sekali kenangan bersama dia. Dan, rumah ini, rumah ini adalah rumah untuk Yasmin, yang aku beli untuk tinggal bersamanya saat sudah menikah, tapi semua itu hanya menyisakan luka, luka untukku dan keluargaku, karena keluarga Yasmin yang sangat menginginkan Yasmin melanjutkan pendidikannya. Karena bagi mereka pendidikan dan karier adalah nomor 1, menikah setelah itu.
"Jika suatu saat Yasmin meminta kembali lagi, apa kamu akan meninggalkan aku dan kembali bersamanya?" Ainun tiba-tiba bertanya seperti itu dengan memelukku.
"Bicara apa kamu, sayang? Segampang itukah? Aku akui, jatuh cinta dengannya dulu, membutuhkan waktu yang singkat. Dan, kepergian dia saat meninggalkan aku, menumbukan luka yang teramat sakit, dan susah untuk di sembuhkan. Aku juga lama tidak bisa melupakan dia. Setelah aku berusaha melupakan dia, aku hidup dengan tenang lagi, dan setelah itu, aku bertemu kamu, wanita yang benar-benar membuat aku penasaran karena sikap kamu yang cuek, sombong, dan satu lagi, juteknya yang aku ingin sekali menaklukkanmu. Kamu berbeda dengan wanita lain pada umumnya. Yang di dekati langsung merespon, aku tahu karakter kamu seperti apa, meski saat itu kamu belum dengan Dio pun, kamu adalah wanita yang paling susah untuk di taklukkan hatinya," jawabku dengan tak lepas menatap mata indah Ainun.
Benar-benar pas, orang tuanya memberi nama Ainun. Ainun adalah mata yang bercahaya. Ainunku memiliki mata yang indah dan bercahaya, kilatan matanya dan tatapannya selalu aku rindukan. Dia istriku, meski belum bisa aku miliki seutuhnya, aku besyukur, dia mau menerimaku menjadi suaminya. Ainun selalu setia menemaniku, selalu memberikan yang terbaik untukku, mengerti aku, dan selalu mendampingiku ke mana pun aku pergi.
Dia bukan wanita yang pada umumnya, wanita yang mengumbar ayunya di khalayak ramai. Dia selalu menundukkan pandangannya jika berada di luar. Dia tahu adab seorang wanita, setelah masa lalu yang pahit menerpanya, dia begitu cepat merubah dan bertaubat. Dia tidak tidak pernah menatap lama laki-laki lain selain aku yang menjadi suaminya dan abahnya. Mungkin dulu dengan Dio. Tapi, aku tak peduli itu, karena dia milikku saat ini dan selamanya. Aku beruntung memiliki dia, Ainun.
Aku sadar, kecantikan Yasmin dulu memang tiada duanya. Lekuk tubuhnya pun indah sekali. Dia bisa di katakan sempurna sebagai seorang perempuan. Ya, sekarang pun masih sama. Yang tidak sama adalah, dia bukan milikku lagi, dan aku tidak mencintainya lagi. Dia masih terlihat seperti dulu, style nya juga tidak pernah berubah dari dulu. Dress selutut dan high heel selalu ia kenakan saat dia dinas. Jenjang kakinya selalu terekspos cantik dan sempurna. Tak jarang banyak lelaki meliriknya. Apalagi dia seorang dokter.
"Ainun, aku mohon, jangan menangis lagi. Aku tidak akan meninggalkan kamu. Gini kan jadinya, mata indahmu jadi sembab. Lepas mukenahnya, kita makan malam," ucapku dengan mengecup kelopak matanya.
"Aku mencintaimu," ucap Ainun.
"Love you too, sayang," aku mencium kilas bibir manisnya.
Ainun melepas mukenahnya, aku keluar dari kamar dan menyuruh Mba Asih menyiapakan makan malam. Aku kembali ke kamar, aku melihat Ainun memakai dress panjang berwarna Navy. Dia terlihat anggun dan cantik sekali dengan rambutnya yang ia biarkan tergerai. Meski di dalam rumah, dia tidak pernah memakai pakaian pendek. Selalu dress panjang atau piyama panjang. Aku janji, aku tidak akan membuatnya menangis lagi karena satu nama, yaitu Yasmin.