PROMISE - BAB 1
"Maaf, aku belum bisa Habibi." Aku mendorong d**a Habibi yang akan menindih tubuhku dengan pelan. Aku benar-benr takut sekali saat Habibi akan menyentuhku. Semua bayangan dulu saat Dio akan melakukan itu kembali muncul, bersamaan dengan Habibi yang akan melakukannya padaku.
Raut wajah kecewanya nampak di depanku. Dia menatapku dengan tatapan tajam. Namun, seketika tatapan tajam itu, menjadi tatapan yang meneduhkan jiwaku. Aku menangis, aku menyesalinya. Menyesal karena tidak bisa melakukannya dengan Habibi. Aku menyesal karena selalu mengecewakan Habibi yang benar-benar tulus mencintaiku.
"Maafkan aku, Ainun. Aku akan menunggumu, hingga kamu benar-benar siap, Ainun." Habibi mencium keningku.
Dia menaikan selimut untuk menutupi tubuhku. Aku tidur dengan membelakanginya. Aku malu, istri macam apa aku ini, yang belum bisa melayani suamiku karena masih terngiang akan masa lalu dan dosaku dulu. Aku menangis hingga isakan tangisku terdengar oleh Habibi. Aku sudah berusaha melupakan semua itu. Bahkan aku sudah tidak mencintai Dio. Namun, kejadian di Villa terus saja membayangiku.
Sudah hampir 6 bulan aku belum di sentuh Habibi. Tapi, Habibi selalu sabar, dan cintanya tak pernah pudar untuk diriku. Mungkin hanya Habibi laki-laki yang bisa sesabar itu. Dia masih saja bersabar dengan keadaanku. Aku mencintainya. Namun, bayangan dulu bersama Dio selalu hadir. Aku semakin takut saat Habibi sudah mulai menyentuh tubuhku. Aku selalu membayangkan, kalau itu Dio yang menyentuhku.
Aku merasa kotor sekali. Aku sudah tidak utuh. Dan aku akan di sentuh laki-laki sebaik Habibi. Aku selalu berpikiran seperti itu. Aku selalu merasa hina di depan Habibi. Aku merasa tidak pantas di sentuh oleh seorang Habibi yang terlalu sempurna untukku. Aku malu, aku sudah tidak utuh. Aku wanita yang kotor. Pikiran itu terus menghantuiku.
Habibi mendekap tubuhku yang semakin bergetar karena menangis. Habibi mengusap rambutku. Mencium kepalaku. Dia membalikkan tubuhku agar mengahadao dengannya.
"Jangan menangis. Aku akan menunggumu siap. Tidurlah." Habibi mendekapku erat.
Seperti ini setiap malam menjelang tidur. Sebuah drama dimainkan. Drama di mana aku terkadang menangis histeris saat Habibi akan melakukannya. Drama di mana bayang-bayang Dio selalu muncul saat Habibi akan menyentuhku. Aku tertidur di pelukan Habibi. Pelukan yang nyaman yang selalu aku rasakan setiap malam selama menikah dengan Habibi.
^^^^^
Di sepertiga malam, aku terbangun, karena mendengar isakan seseorang yang sedang menangis. Aku melihat di sana Habibi sedang merapalkan do'anya di sepertiga malam dengan isak tangis. Tak terasa bulir air mataku menetes membasahi pipi. Melihat dia memohon di hadapan Tuhan, dan mungkin dia memohon pada Tuhan agar hatiku bisa luluh dan mau menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri.
Aku belum bisa melakukannya. Aku belum bisa menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri. Dan, sudah menginjak usia 6 bulan aku belum bisa memberikan apa yang seharusnya aku berikan pada Habibi. Itu semua karena ada bayangan Dio yang selalu melintas di pikiranku saat aku akan melakukannya dengan Habibi.
Dio sudah tidak ada di hatiku. Namun, aku sulit untuk menghilangkan bayangan Dio saat akan melakukannya padaku, saat berada di Vila. Kembali aku teringat kenangan saat bersama Dio. Kenangan itu tiba-tiba saja terlintas dalam pikiranku. Mungkin ini yang menjadikan aku tak bisa melupakan perlakuan Dio. Iya, sebuah kenangan indah yang kini hadir di ingatanku, yang membuat aku buta dan tidak bisa melihat cinta Habibi yang sungguh besar untukku dan tidak bisa melakukan kewajibanku pada Habibi.
Aku mencintai Habibi, sungguh aku sangat mencintainya. Namun, saat kenangan Dio terlintas lagi, dan perbuatan dulu saat dengan Dio muncul di ingatanku lagi, saat itu juga aku gagal melakukannya dengan Habibi.
Kenangan indah dulu saat aku dan dia sedang bersama merajut cinta kini merasuk ke dalam pikiranku lagi. Saat kita bertemu secara diam-diam, dan aku ingat ciuman pertama darinya yang kala itu membuat jantungku berdetak hebat.
Dio adalah adik sepupuku sendiri. Dia anak dari almarhum Om Arsyil, adik dari abahku. Setelah Om Arsyil meninggal, dan ummiku meninggal, Abah menikahi Tante Annisa, cinta pertama Abah yang tak lain adalah istri almarhum Om Arsyil dan bunda dari Dio. Setelah Abah menikah dengan Bunda, kami hidup bersama. Bunda dan Abah memiliki anak lagi, Arkan namanya. Dan, Arkan adalah adik kesayanganku dengan Dio.
*Flashback On*
Saat itu aku sedang bermain dengan Arkan. Aku berlarian di dalam rumah mengejar Arkan. Karena kecerobohanku, aku menabrak meja yang sedang di gunakan Dio untuk membuat tugas prakarya.
"Kak Najwa…! Hati-hati dong, kalau jalan!" Dio marah sekali denganku saat aku tak sengaja menyenggol tugas keseniannya. Aku menyenggol lampion dari stik Es Krim yang dibuat Dio hingga berantakan.
"Maaf Dio aku tidak sengaja, aku sedang bermain dengan Arkan," ucapku dengan sedikit takut dan merasa sangat bersalah pada Dio.
Dio masih menajamkan pandangannya padaku kala itu. Aku dengan mata berkaca-kaca membereskan tugas Dio yang berserakan. Hingga tak sengaja air mataku lepas dari sudut mataku dan menetes ke lantai. Karena Dio dari tadi masih saja berbicara kasar dan menyalahkanku.
"Besok harus di kumpulkan, ini bagaiman, hah?" tukas Dio.
"Aku akan membantu memperbaiki nanti, Dio," ucapku dengan lirih.
"Memperbaiki? Ini rusak semua! Apa yang harus di perbaiki, Kak Najwa!" seru Dio.
Arkan melihat Dio yang marah, dia takut bersembunyi di balik tubuhku.
"Kamu boleh marah atau membentakku, Dio! Tapi, jangan di depan Arkan!" Aku sangat marah karena Arkan ketakutan dengan Dio yang marah kepadaku. Aku meletakan reruntuhan tugas Dio di meja lagi.
Beruntung saat itu bunda dan Abah sedang pergi. Raffi adikku juga sedang di lapangan bermain bola, dan Shifa kakak Dio, sekaligus saudara kembarnya sedang kerja kelompok dengan teman-temannya.
"Ayo sayang, masuk ke dalam. Jangan takut lagi, oke. Kak Dio tidak marah dengan kamu, kok. Jangan menangis." Aku menggendong Arkan ke kamarnya yang menangis karena takut dengan Dio.
"Kamu, sih! Kalau marah gak lihat-lihat!" tukasku sebelum pergi ke kamarnya.
Dio hanya diam, melihat Arkan yang menangis di gendong olehku. Mungkin dia merasa bersalah sekali. Dio meninggalkan tugas nya yang berserakan di meja. Dia masuk ke dalam kamarku.
"Dio…ketuk pintu dulu dong kalau mau masuk!" ucapku dengan kesal pada Dio.
"Maaf, Arkan masih menangis?" tanya Dio.
"Dia menangis sampai ketiduran, kamu sih!" ucapku dengan sedikit marah.
Aku beranjak dari tempat tidurku dan mengambil tugas kesenianku yang sudah jadi. Ya, sekolahku dengan Dio sama. Aku, Dio, Shifa, dan Raffi sekolah di SMA yang sama. Jadi tugas kami pun sama.
"Nih, pakai punya aku saja, aku ngumpulinnya lusa, kok." Aku memberikan tugas kesenianku pada Dio.
"Tidak usah nanti akan aku perbaiki lagi," ucap Dio.
"Aku keluar, aku kira Arkan masih menangis." Dio meninggalkan kamarku
Aku keluar menemui Dio lagi yang sedang sibuk dengan tugasnya. Dio terlihat sedang merangkai tugasnya kembali yang sudah hancur itu. Dio semakin marah, karena tidak jadi-jadi tugasnya, apalagi sudah hampir sore.
"Arrgghh…ini susah sekali! Najwa sih, gak hati-hati!" Dio terus menyalahkanku sambil memperbaiki tugasnya.
"Iya aku yang salah, minggir aku bantu." Aku memang dari tadi memerhatikan Dio yang gusar memperbaiki tugasnya.
Dio mendengus kesal menatapku. Aku menyuruh Dio menggeser duduknya. Aku dan Dio duduk berdampingan, aku dengan telaten merangkai tugas Dio lagi. Mengelem satu per satu dengan penuh kehati-hatian dan teliti. Aku melirik Dio yang dari tadi memerhatikanku yang sedang serius memperbaiki tugas miliknya.
"Apa lihat-lihat," ucapku dengan sedikit kesal yang membuat Dio jadi salah tingkah.
"Apaan sih, siapa yang lihatin, jangan kepedean kamu." Dio mengelaknya, padahal dia dari tadi memerhatikanku dan sampai detik ini juga, dia masih mencuri pandang padaku
"Apaan sih, Dio. Jangan melihat aku seperti itu, dong. Aku grogi, Dio. Duh…hatiku, kenapa seperti ini?" gumamku yang dari tadi melirik Dio, dan Dio pun sedang memerhatikanku.
Aku menoleh ke arah Dio, yang jaraknya semakin dekat, karena Dio memerhatikanku sedang merangkai tugasnya. Dan pada saat itu juga, Dio menoleh ke arahku. Kami saling bertatapan dengan jarak yang cukup dekat. Pandangan kami menyiratkan sesuatu yang entah itu apa.
"Cup…" Dio tiba-tiba berani mencium bibirku.
"Dio….!" Aku marah dengannya dan mencubit lengan Dio.
"Aww….sakit, kak!" ucapnya sambil mengusap tangannya, bekas yang aku cubit tadi.
"Kamu, apa-apaan, sih! Tidak sopan!" Demi apa jantungku terasa lepas dan terhempas jauh.
"Maaf kak," ucap Dio dengan menundukan kepalanya.
"Gak sopan kamu, Dio." Aku beranjak dari tempat duduk dan akan pergi dari samping Dio.
Namun, Dio memegangi tanganku, dan dia mendudukan aku lagi di sampingnya.
"Selesaikan dulu, dong. Tanggung jawab," ucap Dio.
"Kamu seperti itu," ucapku dengan pipi memerah.
"Selesaikan, kak. Apa mau aku cium lagi?" ancam Dio.
"Iya, tapi jangan seperti itu, Dio," ucapku dengan menunduk malu.
"Iya, maaf," ucap Dio.
Sumpah demi apa jantungku semakin berdegub kencang. Aliran darahku berdesir sangat cepat. Tanganku gemetar sambil menyelesaikan tugas Dio. Aku menarik napasku dengan pelan, dan ku embuskan di sela-sela rasa maluku pada Dio. Dia yang mengambil ciuman pertamaku. Dia yang membuat hatiku bergetar saat itu.
Aku melanjutkan membuatkan tugas Dio yang tadi dirusak olehku. Dio masih memerhatikan dari jauh sambil mendengarkan musik dan merebahkan dirinya di sofa yang berada di depanku. Mata Dio tak lepas memandangiku yang sedang serius membuatkan tugasnya.
"Dio, please…jangan memandang aku seperti itu. Jantungku benar-benar cepat sekali berdetak Dio. Hentikan menatapku seperti itu. Aku saudaramu, tidak sepantasnya kamu tadi mencium aku seperti itu," gumamku dengan melirik Dio yang sedang serius mendengarkan lagu.
Aku masih merasakan bibir Dio yang tadi mencium kilas bibiriku, namun mengena di hatiku. Dan, semenjak itu, Dio berani curhat denganku. Akhirnya aku dan Dio sembunyi-sembunyi merajut kasih, merangkai hari-hari indah, hingga Dio menikahi Rania, yakni sahabatku sendiri.
*Flashback Off*
^^^^
Aku tersadar dari lamunanku, saat Habibi mengusap kepalaku dan mencium keningku. Dia tahu kalau aku sedang memikirkan Dio lagi. Karena hari-hariku, tak pernah lepas dari masa laluku bersama Dio. Padahal aku tahu, Dio sudah sangat bahagia hidup dengan Rania, dan mereka sudah di karuania anak yang lucu sekali, setelah mereka kembali rujuk dari perceraian mereka. Mereka bercerai pasti karena aku, karena Dio masih mencintaiku. Aku tidak tahu, dia rujuk karena apa. Aku bahagia mendengar mereka yang sekarang hidup bahagia.
Habibi tersenyum padaku dengan wajah yang sendu. Dia benar-benar suami sempurna. Dia sabar, penyayang, humoris. Aku selalu bahagia bila di dekatnya. Aku selalu bisa tersenyum dan tertawa saat bersama Habibi. Namun, aku tidak mengerti, mengapa saat aku akan melakukannya dengan Habibi, dosa-dosaku dulu terpampang sangat jelas sekali. Hingga aku tidak bisa melakukannya dengan Habibi.
"Kamu tidak sholat, sayang? Sudah jam 3 lebih, ayo bergegaslah mengambil air wudhu," ucap Habibi.
"Iya, aku mau sholat. Kamu menangis?" tanyaku.
"Tidak," jawab Habibi.
"Maafkan aku, sayang," ucpaku.
"Untuk?" tanya Habibi.
"Aku belum bisa menjadi istri yang sempurna. Aku mencintaimu, Habibi. Tapi kenapa saat akan melakukan itu aku mengingat semua itu." Aku menangis memeluk Habibi.
"Sudah, aku tahu apa yang kamu rasakan. Dengan kamu berada di sisiku, menemaniku, itu sudah lebih dari cukup, Ainun. Aku berjanji, aku akan setia menunggumu, aku akan selalu mencintaimu." Habibi mencium keningku.
"Ayo, ambil air wudhu, sholatlah. Minta petunjuk dengan Allah, agar kamu bisa melewati ini semua, sayang," tutur Habibi.
"Iya, sayang. Terima kasih. Aku tidak tahu, jika bukan kamu yang berada di sisiku, aku akan menjadi seperti apa," ucapku.
"Kamu Ainun ku yang akan selalu aku cintai." Habibi mencium kilas bibirku.
Aku beranjak dari tempat tidurku, dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Namun, langkahku berhenti kala Habibi memanggilku.
"Ainun, besok bisa menemaniku ke rumah sakit? Ada pasien yang ingin mendengar kamu mendongeng," pinta Habibi.
"Oke, besok aku ikut kamu, dan setelah itu, aku akan ke rumah singgah, mengunjungi Kinara," ucapku.
"Baik, aku akan menemanimu, sayang," ucap Habibi.
"Oke, aku sholat dulu," ucapku dan masuk ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Habibi adalah partner hidupku yang baik. Meskipun dia marah saat aku menolaknya berhubungan suami istri, dia masih sabar dan selalu melibatkan aku untuk bertukar pikir soal masalah yang sedang di hadapi. Menurut Habibi, aku bukan hanya sekedar istri yang melayani dia di atas ranjang saja. Tapi, aku adalah teman, yang selalu mendampinginya saat dia membutuhkanku.
Mungkin semua keluargaku dan keluarga Habibi menyangka pernikahan ku dengan Habibi baik-baik saja. Iya, memang baik-baik saja, kecuali masalah ranjang yang tidak baik. Namun, kami berdua menikmati ini semua. Dan Habibi, mengerti itu.
Seusai sholat subuh, kami kembali mencoba melakukan lagi. Dan hasilnha sama saja. Keringat dinginku muncul. Rasa takut menyelimuti diriku hingga aku memucat. Habibi panik melihat aku ketakutan lagi. Dia mendekatiku erat menciumku dan menetralkan hatiku yang masih takut.
"Sayang, maafkan aku." Kata itu terus terucap di bibirku sambil terisak.
"Sudah Ainun, jangan paksakan kalau kamu belum bisa. Sudah, aku akan menunggumu siap, sayang," ucap Habibi.
"Aku takut, kamu kecewa dan meninggalkan aku, Habibi," ucapku.
"Tidak akan, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, sayang. Aku janji." Habibi menyeka air mataku yang sudah menerobos keluar dari sudut mataku.
Aku memeluk Habibi. Suamiku yang memiliki hati yang lembut, penyabar, dan selalu mencintaiku, menerimaku apa adanya. Aku tidak tahu, harus berkata apa. Sudah banyak kunungkapkan kata maaf padanya. Sudah banyak tangis dan penyesalan yang aku perlihatkan padanya. Sudah banyak juga luka yang ku torehakn untuk dia.
Habibi mungkin kali ini masih sangat sabar menungguku siap. Entah esok atau lusa. Akankah dia masih bisa bersabar menghadapi aku yang selalu di hantui dosa-dosa masa laluku? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, saat ini Habibi masih merengkuhku, menemaniku dengan keadaanku yang seperti ini.