(P.O.V HABIBI)
Sudah dua Minggu ini aku selalu didesak oleh Yasmin. Dia lagi-lagi bertanya kapan aku akan menikahinya. Dan, selama dua Minggu ini, aku benar-benar membagi cintaku. Aku sering bertemu dengan Yasmin di setiap ada kesempatan untuk bertemu. Apalagi dia bekerja di rumah sakitku. Setiap hari kita bertemu. Dan, aku juga sering mengantar dia pulang ke apartemennya, lalu aku terhanyut di dalam sana karena Yasmin terus memaksa. Aku kembali melakukannya dengan Yasmin seperti saat di dalam mobil waktu pulang dari Vila.
Namun, aku tidak bisa melakukannya. Saat aku ingin melakukan lebih dalam lagi, aku Ingan sosok Ainun di depanku. Benar-benar nyata di depanku saat aku akan melakukannya pada Yasmin. Aku tidak tahu mengapa itu bisa terjadi.
Semalam aku merasa Ainun sudah siap melakukannya. Tapi, aku tahu, dia terpaksa, karena aku tahu dia belum siap untuk melakukannya. Aku tidak tahu, aku semakin dekat dengan Yasmin, tapi rasa cintaku untuk Ainun juga semakin kuat sekali.
Pagi ini aku berangkat ke rumah sakit sendiri. Ainun memang sudah sibuk dengan butiknya lagi yang setiap hari semakin banyak pengunjung yang datang. Dia juga sibuk di rumah singgah bersama Wulan. Terkadang saat aku senggang aku menemui Ainun dulu di butik atau di rumah singgah, dan setelah itu aku menemui Yasmin, lalu ke apartemennya.
Hari ini Ainun tidak ke butik, dia bilang ada yang harus di selesaikan di rumah. Aku langsung ke apartemen Yasmin, karena Ainun tidak di butik, jadi aku langsung ke apartemen Yasmin.
Sesampainya di unit Yasmin, aku di sambut Yasmin yang kala itu terlihat cantik dengan gaun seksinya. Lelaki mana yang tak tergoda dengan hal yang seperti itu. Dia tahu, jika aku akan datang, pasti sudah bersiap dengan gaun seksinya. Ya, itu kebiasaannya dari dulu.
"Akmal…." Yasmin langsung memelukku manja.
Aku mengeratkan pelukannya, aroma tubuhnya yang khas membuat aku terhanyut. Aku mencumbunya di atas ranjang hingga dia berkali-kali melantunkan lenguhan seksinya di telingaku. Aku masih menikmati d**a Yasmin yang masih sangat padat itu. Aku tahu karena dia sering merawatnya, bahkan pantatnya juga masih sangat kencang walau dia sudah tidak perawan.
Aku mengisapnya dengan lembut. Dia meremas rambutku dan menlenguh saat aku semakin rakus menikmati buah dadanya.
"Akmal….please…aku ingin, jangan permainkan aku seperti ini. Jangan hanya dengan jarimu saja, Akmal. Aku tahu kamu juga menginginkan itu," ucapnya dengan suara parau dan tangannya mengurut batang kemaluanku dengan lembut.
"Iya, aku akan memberikannya untukmu, sayang," ucapku dengan terus mengoyak k*********a dengan jariku.
Aku memposisikan tubuhku di atasnya. Kami sudah sama-sama polos. Dan, wajah Ainun terlihta lagi di depanku saat aku akan memasukkan kejantananku ke dalam kewanitaan Yasmin.
"Ainun…." ucapku lirih, namun terdengar oleh Yasmin.
"Akmal….! Aku Yasmin!" ucapnya dengan kesal.
Seketika hasrat dalam diriku hilang. Aku langsung mengambil selimut dan menutupi tubuh Yasmin. Aku memakai melilitkan handuk ke pinggangku. Aku duduk di tepi ranjang dengan memijit keningku. Aku baru sadar, cinta Ainun begitu kuat di dalam diriku.
Yasmin menghunuskan tatapan murka padaku. Aku hanya diam menatap Yasmin dengan penuh kebimbangan. Dia masih menghunuskan tatapan penuh kemurkaan padaku.
"Akmal, kamu sudah bicara dengan Ainun? Soal yang kamu katakan kemarin, kalau kamu akan menikahiku?" tanya Yasmin.
"Sudah, tapi aku bingung karena Ainun meminta bercerai," jawabku.
"Lalu apa yang kamu bingung kan, Akmal? Dia saja sampai sekarang belum bisa menunaikan kewajibannya. Kalau pun kalian bercerai, sudah kan, dia masih utuh, belum di sentuh kamu, sedang aku, aku dari dulu sudah menyerahkan semua untuk kamu, Akmal," ucap Yasmin.
"Bukan seperti itu, Yas. Aku tetap tidak bisa menceraikan Ainun. Aku sangat mencintainya," ucapku dengan tatapan kosong karena membayangkan Ainun.
"Lelucon macam apa ini, kamu bilang mencintaiku, dan tadi kamu menyentuhku, Akmal," ucap Yasmin dengan penuh kemurkaan.
"Yasmin, aku akan tetap menikahimu, tanpa menceraikan Ainun," ucapku.
"Oke, sekarang juga kamu bawa aku ke rumah, menemui Ainun, agar secepatnya kamu menikahiku, Akmal," pinta Yasmin.
Aku tidak tahu harus bagaimana, ini salahku, aku yang memulai curhat dengan Yasmin, aku yang memulai lebih dulu mengkhianati Ainun. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
"Oke, kita temui Ainun di rumah, kamu siap-siap," jawabku.
Aku akan mempertemukan Yasmin dan Ainun di rumah. Aku memang salah, mencintai Yasmin lagi. Aku salah menumbuhkan cinta ini lagi. Dan, inilah yang hukuman yang harus aku terima. Jika Ainun tetap ingin berpisah, aku harus siap kehilangan ratu di hatiku. Ya, ratu, dia adalah ratu di hatiku. Dan, aku melukainya.
^^^^^
Siang ini, aku menyiapkan makan siang untuk Habibi. Seperti biasa Habibi saat makan siang pasti pulang ke rumah. Mobil Habibi sudah terdengar memasuki halaman ruman. Aku medengar suara langkah kaki Habibi yang mendekat ke arah meja makan. Habibi tahu, kalau aku pasti sedang menyiapkan makan siang untuknya.
Meski ada sedikit konflik soal Yasmin, aku tak mau membahas dan memperpanjang lagi. Karena ini semua demi keutuhan aku dan Habibi. Habibi pun sedikitpun tak membahas soal Yasmin lagi Aku percaya Habibi mencintaiku, dan aku yakin, dia tidak akan memaduku seperti yang kemarin ia bilang.
"Ainun," panggil Habibi dengan menghunuskan tatapan yabg sedikit bingung.
"Iya, sayang," jawabku sambil mencium tangan Habibi.
"Ainun, ada Yasmin, kita butuh bicara sebenatar," ucap Habibi padaku.
Hatiku bergetar, napasku sesak mendengar nama Yasmin lagi. Aku tidak tahu kenapa Habibi seperti ini. Dua minggu yang lalu aku membujuk dan merayu dia untuk melakukan hubungan suami istri dia juga menolak dengan alasan tidak ingin memaksaku. Aku hanya diam saja, dan aku berpikir mungkin dia lelah, karena selalu pulang malam. Tapi, aku yakin, karena sudah ada Yasmin, jadi dia tidak menginginkan aku lagi.
"Oh, iya. Ehmm…kita makan siang bersama saja, sayang," ajakku dengan gugup.
"Baiklah, aku panggil Yasmin dulu," jawab Habibi.
Aku menyeka air mataku yang lolos membasahi pipi. Habibi memanggil Yasmin, entah apa yang akan di bicarakan Habibi dengan Yasmin padaku. Aku menyiapkan satu piring lagi untuk Yasmin. Terlihat Yasmin berjalan di samping Habibi dengan tersenyum padaku.
"Silakan, Yasmin." Aku mempersilakan Yasmin untuk duduk di kursinya.
"Terima kasih, Ainun," jawab Yasmin dengan senyum merekah yang manis sekali.
Habibi duduk di antara aku dan Yasmin, aku mengambilkan nasi untuk suamiku seperti biasanya. Dan, tak kusangka, Yasmin mengambilkan lauk untuk suamiku. Rasa sakit ini semakin bertambah di hatiku.
"Ini kamu yang masak, Ainun?" tanya Yasmin.
"Jelas Ainun yang memasaknya," celah Habibi.
"Bibi sedang libur, sayang. Jadi, aku yang memasak, biasanya aku kan hanya membantu bibi saja," jawabku.
Kami makan bertiga. Aku merasa dikucilkan oleh Habibi saat ini. Habibi menikmati masakanku, karena aku memasak kesukaan Habibi. Suamiku lebih nyaman mengobrol dengan Yasmin, dan aku hanya jadi pendengar saja. Mereka memang memiliki profesi yang sama, hobi yang sama, dan kesukaan makanan juga sama. Sedangkan aku, aku istri Habibi, tapi aku tidak mengerti dia. Istri macam apa aku ini? Dan, aku semakin yakin, aku harus pergi dari sisi Habibi. Karena Habibi sudah menemukan hidupannya kembali bersama Yasmin. Ternyata selama ini aku hanya di anggap temannya saja.
Aku sadar, aku yang salah pada posisi ini. Aku yang memulai, aku yang tidak mau di sentuh dia. Aku yang menjadikan Habibi seperti ini. Dan, dengan kehadiran Yasmin, dia menemukan masa lalunya yang begitu indah dan membuatnya bahagia.
Habibi mengajakku ke ruang tamu setelah makan siang selesai. Katanya ada yang ingin di bicarakan. Aku duduk di depan Habibi, hanya tersekat meja yang ada di depan kami. Sedangkan Yasmin, dia duduk di sebelah Habibi.
"Oh iya, Ainun, seperti yang aku katakan dua minggu yang lalu, aku akan menikahi Yasmin. Aku mengajak Yasmin ke sini, karena aku akan meminta restu pada kamu, Ainun," ucap Habibi secara tiba-tiba.
"Apa kamu sudah memikirkan ini secara matang-matang, sayang? Dan, apa kamu sudah bicara dengan papah dan opa?" tanyaku pada Habibi.
"Aku sudah memikirkan ini seminggu yang lalu, untuk soal papah dan opa, nanti akan aku kabari setelah kamu memperbolehkan aku menikah lagi dengan Yasmin," jawba Habibi.
Segitu entengkah dia berkata seperti itu? Sesak sekali rasanya dadaku saat ini. Aku hanya bisa menangis dalam hatiku, karena air mataku sudah habis di sepertiga malam ku selama dua minggu yang lalu. Aku sia-sia merapalkan doaku. Pintaku pada Tuhan agar Habibi tetap berada di sampingku selamanya, semua sia-sia. Dan, inilah saatnya aku mengabulkan permintaan Habibi. Bahagia Habibi ada di pada Yasmin, bukan denganku.
"Akmal, aku tidak mau jadi istri kedua," ucap Yasmin.
"Lalu?" tanya Habibi pada Yasmin.
"Akmal, apa kamu tidak bisa memilih salah satu di antara kami?" tanya Yasmin.
"Aku mencintai Ainun dan kamu, jadi aku tidak bisa meninggalkan salah satu di antara kalian," jawab Habibi dengan tegas.
"Kalau aku tidak mau menikah karena aku menjadi istri ke dua bagaimana?" tanya Yasmin lagi pada suamiku.
"Aku yang akan mengalah, untuk kalian." Aku menjawab pertanyaan Yasmin.
Entah kenapa aku bisa berbicara seperti itu. Padahal aku tidak bisa, aku tidak mau berpisah dengan Habibi. Aku sungguh mencintainya, tapi aku tidak mau menyiksa batin Habibi lagi.
"Ainun, aku tidak bisa pisah dengan kamu," tegas Habibi.
"Akmal, bukankah Ainun belum memenuhi kewajiban seorang istri padamu? Lantas apa yang kamu harapkan? Sedang aku bisa memberikan semua itu pada kamu," celah Yasmin.
"Aku tidak bisa berpisah dengan Ainun, Yas," ucap Habibi.
"Kamu harus bisa. Aku tidak bisa, Habibi. Hidup di dalam satu atap tiga nyawa. Aku akan mengurus perceraian kita." Aku berkata dengan rasa sesak di dadaku.
"Tapi aku punya satu syarat, selama belum sidang perceraian, aku minta kamu menemani aku, Habibi. Walau nanti setelah aku mengajukan gugatan kita tidur terpisah. Dan, untuk kamu, Yasmin, jangan khawatir, aku tidak akan melakukan hubungan suami istri dengan Habibi. Kita akan berpisah, jadi izinkan dia denganku dulu, sebelum nantinya Habibi menjadi milikmu seutuhnya," ucap ku.
"Oke, aku pegang ucapan kamu, Ainun," ucap Yasmin.
"Ainun, aku tidak mau bercerai dengan kamu," tegas Habibi padaku.
"Habibi, ini demi kebaikan kita. Tidak mungkin juga opa dan papah kamu mengizinkan kamu menikah lagi. Dan, aku bukan istri yang baik untuk kamu. Aku sadar, aku terlalu menyiksa batinmu, Habibi," ucap ku.
"Aku tidak mau, Ainun. Aku mencintaimu," ungkap Habibi padaku dengan menggenggam erat tanganku.
"Iya aku tahu kamu mencintaiku, Habibi. Tapi, aku tidak bisa berbagi suami, Habibi. Aku juga tidak bisa memberikanmu kebahagiaan. Biarkan aku yang pergi, bahagiamu ada di depanmu. Aku tidak apa-apa." Aku mencoba bicara dengan tegar, meskipun menahan rasa sakit di dalam dadaku.
"Kita bicarakan ini nanti, aku akan mengantar Yasmin pulang dulu," ucap Habibi.
Habibi pergi meninggalkan rumah, dia mengantarkan Yasmin untuk pulang. Air mataku yang tertahan lirih seketika membasahi pipiku. Aku tidak menyangka suamiku akan menduakan aku. Bagaimana bisa aku hidup dengan suami dan istri keduanya, lebih baik aku pergi jauh dan berpisah dengan suamiku.
Berpisah dengan Habibi sungguh melemahkan jiwa dan ragaku. Aku seperti kehilangan separuh nyawaku saat ini ketika Habibi berkata akan menikahi Yasmin.
"Inikah karma untukku, Ya Allah? Aku yang dulu masuk ke dalam rumah tangga Rania dan Dio. Kini rumah tanggaku terusik oleh kedatangan Yasmin. Aku pasrah Ya Allah, jika memang berpisah dengan Habibi adalah jalan yang terbaik, aku akan ikhlas." Aku berkata lirih dengan bersimpuh di lantai. Air mataku semakin deras keluar dari pelupuk mataku.