Sudah tiga bulan aku berada di Indonesia. Dan hari pertama aku datang di Indonesia, selama tiga hari aku menginap di rumah Abah terlebih dahulu. Aku memang merindukan suasana di rumah abah, dan merindukan opa juga.
Aku bahagia sekali, adik lelakiku, Raffi, sudah menikah dengan Kak Alina. Wanita yang sangat sempurna sekali. Ya, meski umurnya jauh lebih dewasa dari adikku. Kecantikan Kak Alina masih saja terlihat. Bahkan, dia masih terlihat seumuran denganku. Padahal Raffi dan Kak Alina jarak umurnya kurang lebih 10 tahun. Kak Alina lebih dewasa dari Raffi. Tiga hari setelah Raffi dan Kak Alina menikah, aku menginap di rumah ummi. Rumah masa kecilku dulu. Sekarang Raffi dan Kak Alina yang menempati rumah ummi.
Hari ini aku ikut Habibi ke luar kota untuk seminar. Katanya ini seminar penting. Karena Habibi tidak mau meninggalkanku sendirian di rumah, Habibi mengajakku untuk ikut seminar. Dia tidak mau aku di rumah Abah. Aku tahu, dia masih sedikit cemburu kalau ada Dio dan di rumah Abah. Apalagi Dio dan Rania sekarang tinggal di rumah Abah, semenjak salah satu anak kembar Dio dan Rania meninggal. Rania memamg kadang masih teringat akan anaknya yang sudah meninggal. Jadi, bunda tidak mau kalau Ranja sendirian di rumah, takutnya dia nekat melakukan sesuatu yang membahayakan Rania.
Padahal aku sudah merasa biasa dengan Dio. Ya, walaupuan kadang masih ingat dosa-dosa masa lalu ku dengan Dio. Tapi, Habibi sepertinya sedikit cemburu saat aku sedang mengobrol dengan Dio. Jadi Habibi mengajakku, daripada aku harus di rumah Abah.
Di perjalanan, seperti biasa Habibi tak lepas mencium tanganku. Itu sudah menjadi kebiasaanya. Aku tahu dia begitu menyayangiku lebih dari menyayangi dirinya sendiri. Saat kemarin aku sakit pun, dia tak lepas menemaniku. Bahkan, dia sampai meminta izin tidak ke rumah sakit untuk menemaniku yang sedang sakit.
"Sayang…." Panggil Habibi.
"Iya, ada apa?" Tanya ku.
"Pulang dari seminar, kita jalan, ya? Pulangnya besok," ajak Habibi.
"Memang besok kamu tidak ada pekerjaan?"
"Ada, tapi besok jadwalku berangkat siang. Jadi kita pulang pagi-pagi, gimana, mau gak?"
"Ehm…memang mau jalan ke mana?"
"Refreshing saja, kita ke daerah pegunungan, kan tempat seminar yang akan aku datangi, agak dekat dengan tempat wisata."
"Oke, aku nurut kamu saja."
Habibi mengajakku pergi jalan-jalan. Ya, mungkin dia ingin mengajakku berbulan madu. Karena, aku selama ini juga belum bisa memberikan kewajibanku pada Habibi. Mungkin dengan di tempat yang akan kami kunjungi nanti, aku bisa melakukannya dengan Habibi. Ya, aku harus bisa. Dan, kalau pun aku gagal, aku harus ke psikiater. Aku harus menjadi wanita seutuhnya untuk suamiku. Aku takut, jika suatu saat nanti Habibi di pertemukan kembi dengan Yasmi. Aku selalu saja berpikir seperti itu. Entah kenapa, aku tidak bisa lepas memikirkan nama Yasmin, setelah Habibi menceritakan masa lalunya kemarin.
^^^^^
Kami sudah sampai di tempat tujuan. Habibi menggandeng tanganku masuk ke dalam hotel yang di gunakan untuk acara seminar. Habibi mengenalkanku pada semua rekan-rekan dokternya. Begitulah suamiku, dia selalu ingin biar semua tahu kalau aku adalah istrinya. Setiap kali ada seminar dan acara penting, aku selalu di ajaknya.
Aku menemani Habibi seminar hingga menjelang sore. Habibi tau kalau aku sangat jenuh, karena sudah menunggu kurang lebih 4 jam. Setelah acara selesai, seperti yang di katakan Habibi tadi saat berangkat, dia akan mengajakku untuk jalan-jalan, dan akan mengajak menginap di Vila miliknya. Kami berjalan menuju ke arah mobil kami.
"Akmal…!" suara seorang perempuan terdengar memanggil suamiku. Aku dan suamiku berhenti dan melihat ke arah perempuan yang memanggil suamiku.
Dia melambaikan tangannya ke arah kami. Perempuan berparas cantik dengan rambut lurus sebahu berjalan menghampiri kami.
"Yasmin," ucap suamiku dengan lirih.
Jantungku benar-benar berdegub kencang, saat suamiku menyebut nama Yasmin. Yasmin menghampiri kami, dengan anggun dia berjalan menghampiri kami. Jas putihnya menutupi dress nya yang panjangnya hanya di bawah lutut. Jenjang kakinya terekspos indah sekali. Dia benar-benar wanita sempurna. Hatiku menjadi semakin tak karuan melihat wanita itu menyapa suamiku dengan senyuman manisnya. Bahkan dia akan memeluk suamiku. Ya Allah sakit sekali rasanya melihat ini.
"Hai, Akmal," sapa Yasmin dengan mengulurkan tangannya dan akan memeluk suamiku.
"Hai, Yasmin, apa kabar? Ehmm…maaf jangan seperti ini, Yas," ucap suamiku sambil menjabat tangan Yasmin.
"Maaf, kabarku baik, kamu sendiri?" tanya Yasmin dengan senyum bahagia karena bertemu suamiku.
"Alhamdulillah baik. Oh, ya, kenalkan ini Ainun, istriku," jawab suamiku pada Yasmin.
"Kamu sudah menikah? Wah selamat, salam kenal, saya Yasmin." Yasmin menjabat tanganku, senyumannya merekah di hadapanku, tapi aku tahu, hatinya sedikit tidak baik-baik saja saat dia tahu aku istri Habibi.
"Saya Ainun," jawab ku dengan singkat.
"Yasmin, kami permisi dulu, karena kami harus segera pulang," Habibi langsung pamitblepada Yasmin, dan kami masuk ke dalam mobil.
"Oh, iya Akmal. Kalian hati-hati," jawab Yasmin.
Hatiku benar-benar tidak tenang. Padahal aku sudah berusaha sedikit demi sedikit melupakan itu. Melupakan nama Yasmin yang kemarin di ceritakan Habibi, kalau Yasmin adalah mantan tunangannya. Dan sekarang, ini benar-benar suatu kenyataan, Habibi bertemu Yasmin lagi, dan aku harus bisa, harus bisa melayani suamiku sebaik mungkin. Aku tidak mau, karena aku tidak menunaikan kewajibanku pada suamiku, suamiku akan berpaling dengan wanita lain.
Kami sudah berada di dalam mobil. Habibi melakjukan mobilnya dengan santai. Aku masih saja memikirkan wanita cantik itu. Ya, Yasmin, dia benar-benar cantik sekali. Tubuhnya proposional, anggun dan canti. Dia benar-benar sempurna, pantas saja Habibi susah melupakannya dulu. Bahkan baju pengantin milik Yasmin saja masih ia simpan di lemari yang ada di kamar rumahnya Opa Wisnu. Ya, aku tidak sengaja melihatnya, waktu aku masuk ke kamar yang di gunakan Habibi saat itu.
Aku jadi semakin paham, mungkin dulu mereka pernah hidup bersama di Budapest. Dan, tidak mungkin mereka tidak pernah melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Aku jadi ingat, saat itu Habibi dan Nuri sedang bersama, dan Nuri tidak sengaja hampir menyebut nama perempuan, dan Habibi langsung menukasnya, agar Nuri tidak melanjutkan membicarakan perempuan itu. Mungkin itu Yasmin, yang akan di bicarakan Nuri saat itu.
Aku memandang keluar lewat jendela mobil. Ya, aku terdiam dari tadi, memikirkan wanita canti itu yang bernama Yasmin.
"Sayang, kok diam saja?" Habibi menyentuh pipiku dengan lembut.
"Sayang, kita langsung pulang, ya? Aku lelah sekali," pintaku. Padahal aku sedang tidak ada mood untuk makan dan jalan-jalan. Tapi, mobil Habibi sudah melaju ke arah villa nya yang ada di daerah pegunungan.
Rasa laparku hilang seketika, di gantikan oleh rasa takut kehilangan sosok seperti Habibi. Habibi seperti melihat kegelisahakanku. Dia dari tadi mencuri-curi pandang padaku.
"Kok pulang, kita puter balik lagi dong," ucap Habib
"Kita juga tidak bawa baju ganti, sayang," jawabku.
"Kamu baik-baik saja, Ainun?" tanya Habibi.
"Iya, aku hanya lelah saja, sayang," jawabku.
"Yakin?" tanya Habibi lagi memastikan.
"Iya, sayang," jawabku.
"Bukan karena Yasmin?" Aku langsung melihat wajah suamiku saat dia menyebut nama Yasmin.
"Bukan, sayang. Kok jadi ke Yasmin?" ucapku.
"Ya sudah kalau bukan karena Yasmin, kita makan dulu," ajak Habibi.
"Baiklah, mau makan di mana?" tanyaku.
"Di daerah sini ada kedai Soto Betawi yang enak, kamu mau?"
"Boleh, ya sudah kita ke sana."
"Kalau kamu lelah, kita tidak usah ke Villa, kita pulang, lalu kamu istirahat," ucap Habibi.
"Kamu tidak marah, kalau tidak jadi ke sana?" tanyaku.
"Itu tidak masalah, aku tidak marah. Aku tidak mau kamu sakit. Iya, benar, kita tidak bawa baju ganti juga. Di sana dingin, kasihan kamu, gak bawa pakaian hangat," jawab Habibi.
Aku mengiyakan ajakan Habibi, aku juga sebenarnya sudah merasa lapar, tapi karena aku terlalu memikirkan Yasmin, aku jadi tidak ada mood untuk makan. Habibi memarkirkan mobilnya di kedai soto Betawi. Kami masuk ke dalam dan Habibi memasankan soto untuk kami.
Saat sedang menunggu pesanan kami datang, dua wanita menghampiri kami. Habibi menyambutnya dengan ramah wanita itu.
"Akmal, kamu di sini?" tanya Yasmin yang tiba-tiba datang ke meja kami.
"Yasmin, Zaskia, kalian di sini juga?" Habibi balik bertanya.
"Kami baru saja datang dan baru saja memesan makanan," jawab Zaskia.
"Oh… seperti itu," ucap Habibi.
Mereka memang memanggil suamiku dengan panggilan Akmal. Ya, semenjak menikah denganku, suamiku lebih nyaman dengan panggilan Habibi. Dan, lagi-lagi waktu berpihak untuk mempertemukan Yasmin dengan suamiku.
"Boleh kita bergabung, Akmal. Semua tempat duduk penuh," pinta Yasmin.
"Emmm…." Habibi masih berpikir karena melihat raut wajahku yang mungkin saat itu berubah. Memang hatiku benar-benar tidak berkenan saat Yasmin meminta semeja bersama kami.
"Silakan Yasmin, bergabung saja di sini biar ramai, lagiyan penuh semua tempat duduknya." Aku menyuruh Yasmin dan Zaskia bergabung di meja kami.
"Tidak mengganggu, nih?" tanya Yasmin
"Tidak, ayo, duduklah," jawabku.
Aku sengaja membiarkan Yasmin bergabung. Macam tak punya hati saja, kalau aku tidak memperbolehkannya. Karena memang tempat duduk yang masih kosong hanya di meja kami saja.
Kami mengobrol sambil menunggu pesanan kami. Suamiku semakin akrab dengan Yasmin. Awalnya suamiku canggung, mungkin karena aku juga sedikit hangat menyambut Yasmin, jadi suamiku juga sudah tidak canggung lagi. Sebenarnya ada rasa aneh di hatiku saat melihat mereka mengobrol. Tapi, aku percaya dengan Habibi. Sekarang dia mencintaiku, dan tidak mencintai Yasmin lagi.
"Kamu masih suka ke sini, Akmal?" tanya Yasmin yang sedikit membuka masa lalunya.
"Baru kali ini sih," jawab Habibi.
"Ke mana saja kamu, Mal. Aku sudah 1 tahun berada di sini," ucap Yasmin.
"Aku di Budapest, baru 3 bulan aku kembali ke sini," jawab Habibi.
"Pantas saja menikah tidak mengabariku. Sudah lama kalian menikah?" tanya Yasmin.
"Sudah, kurang lebih 8 bulan kami menikah," jawab Habibi.
"Oh ya, Mal, aku sekarang kan bertugas di rumah sakit S, itu rumah sakit milik papahmu, bukan?" ucap Yasmin.l
"Kok aku tidak pernah melihatmu?" tanya Habibi.
"Iya, karena kalau ada operasi saja, aku ke rumah sakit, Mal," jawab Yasmin.
"Oh, ya sudah, makanan sudah sampai, kita makan dulu," ucap Habibi.
Kami menikmati soto Betawi yang kata suamiku enak. Ya, memang ini benar-benar enak sekali sotonya. Namun, keadaannya yang tidak mengenakan saat ini. Aku melihat Yasmin dari tadi memandang suami terus. Mungkin saja dia masih sedikit ada rasa dengan suamiku. Tapi, aku percaya kalau Habibi tidak akan kembali ke masa lalunya. Habibi mencintai aku, dan aku harus berusaha menjadi yang terbaik untuk Habibi agar aku tidak kehilangan cinta Habibi. Apalagi, Yasmin bertugas di rumah sakit milik Habibi.
"Akmal, rasa soto di sini dari dulu tidak pernah berubah, ya?" ucap Yasmin.
"Ya, tidak pernah berubah, Yas. Masih sama seperti dulu, saat pertama bertemu," sahut Zaskia.
"Kia, apaan sih!" tukas Yasmin pada Zaskia.
"Benar kan, sejak pertama ketemu soto ini," imbuh Kia.
"Kalian dari dulu selalu saja ribut," celah Habibi.
"Sudah di makan, jangan ribut," ujar Habibi.
Aku hanya tersenyum melihat Habibi menemukan dunianya yang dulu. Habibi terlihat sangat akrab dengan mereka dan tidak canggung lagi. Setelah selesai makan, Habibi juga mengajak Zaskia dan Yasmin mengobrol. Aku hanya menjadi pendengar setia saja. Mendengarkan suamiku yang setiap hari selalu bercanda dengan aku, sekarang aku melihat dia bercanda dengan wanita lain yang tak lain adalah mantan tunangannya.
"Sayang, sudah mau sore, kita pulang, yuk," ajak ku pada Habibi yang masih saja ingin mengobrol dengan Yasmin dan Zaskia.
"Emm…oke, kita jadi langsung pulang? Benar tidak jadi Ke Villa? atau ke mana dulu?" tanya Habibi.
"Kita langsung pulang saja," jawab ku.
"Villa kamu yang di daerah ini masih ada, Mal?" tanya Yasmin.
"Masih, malah tadi mau mengajak Ainun ke sana, tapi kami tidak bawa baju ganti, jadi ya kita pulang saja," jawab Habibi.
"Masih ingat sama Vila itu, say? Vila kenangan kalian berdua," ucap Zaskia yang tanpa bisa mengontrol mulutnya untuk berbicara.
"Kia...! Kamu mulutnya, ya?" Tukas Yasmin.
"Kalian selalu seperti kucing dan anjing ya?" Ucap Habibi dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sudah, kami pamit dulu, Yas, Kia," ucap Habibi.
Kami berpamitan dengan Yasmin dan Zaskia terlebih dahulu. Aku semakin tidak nyaman melihat Yasmin semakin dekat dengan Habibi. Apalagi dia berani meminta nomor ponsel suamiku. Dan, Habibi langsung memberikannya. Aku sebenarnya tidak rela. Tapi, biarlah, mereka kan sama-sama profesinya. Pasti suamiku bisa profesional antara pekerjaan dan hal pribadi.
Dan, satu lagi, aku tidak menyangka, Habibi akan mengajak ke Villa yang kata Zaskia adalah Vila kenangan mereka berdua. Ini maksudnya kenangan yang bagaimana? Pikiranku semakin menjadi-jadi memikirkan itu semua. Demi apa aku semakin takut sakali Habibi meninggalkan aku.
Kami sudah berada di dalam mobil. Di mobil kami saling bercerita dan bertukar pikir. Aku berusaha menepiskan rasa takut itu, dan aku harus bisa menjadi teman baik untuk suamiku, karena dari tadi Habibi meminta pendapatku untuk suatu hal. Aku menanggapinya dengan baik, tapi raut wajahku mungkin masih menyimpan rasa khawatir, yang membuat Habibi akhirnya mengetahui aku menyembunyikan rasa tidak enak hati saat ini. Habibi mengusap kepalaku dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Dia mencium keningku kilas.
"Jangan takut, aku akan selalu ada di sampingmu, Ainun," ucap Habibi.
"Iya, aku percaya kamu, sayang," jawabku.
Mungkin saja saat ini hati Habibi juga bimbang dengan kembalinya Yasmin. Apalagi aku yang sama sekali belum mau di sentuh dia. Dan, saat ini, aku berpikir, bahwa aku harus segera menemui psikiater, agar aku bisa menjadi istri seutuhnya untuk Habibi.