"Kia.”
Sehan berdiri dan mendorong kursi yang ia duduk ke belakang. Gegas ia mendekati sang adik yang wajahnya tampak pias. Di kakinya, pecahan gelas berserakan ke mana-mana.
“Diam di sana! Jangan bergerak,” ucap Sehan yang langsung menunduk.
Pria itu berjongkok demi menyisihkan pecahan gelas yang ada di lantai. Saat itu, Sierra yang melihatnya hanya bisa terdiam. Perasaan itu terlihat begitu tulus. Sama seperti yang tadi ia lihat di kamar Saskia. Mungkinkan Sehan benar-benar memiliki perasaan terhadap sang putri. Ya, Tuhan. Bagaimana ini?
Semua keluarga yang ada di meja makan memperhatikan keduanya. Ani paham, Sehan sangat baik kepada siapa pun. Jadi, ia tak menaruh curiga. Sementara Pram begitu bangga pada sang putra karena menjadi pria yang bertanggung jawab. Sungguh, ia senang karena Sehan begitu menyayangi Saskia demikian rupa. Namun, mengapa Saskia begitu terkejut ketika mendengar mamanya akan menikahkan Sehan?
“Biar aku aja, Bang.”
Kia akhirnya ikut berjongkok. Sayangnya, baru sekali menyentuh beling, tangannya sudah terluka.
“Auuh.”
“Abang bilang jangan bergerak. Kan, jadi berdarah,” ucap Sehan yang langsung mengangkat tangan Saskia ke atas.
Keduanya bangkit. Sehan meminta sang ART membersihkan lantai, sedangkan ia membawa masuk Saskia ke kamarnya.
“Hmm … anak itu. Selalu menyayangi adik-adiknya,” kata Ani usai melihat adegan Sehan dan Saskia.
“Iya, Ma. Aku senang sekali karena Sehan benar-benar menjadi kakak yang bertanggung jawab. Kamu nanti kalau udah dewasa, gitu juga, ya,” sahut Pram seraya merangkul putra bungsunya yang sedang sarapan.
“Bang Sehan baiknya cuma sama Mbak Saskia aja, Pa. Sama aku ngajak gelud terus,” celetuk Sean.
Pram dan Ani terkekeh mendengar bocah SMP itu menyahut ucapan sang papa. Ya, begitulah. Sepertinya, perlakuan Sehan berbeda kepada Saskia dan Sean yang sama-sama adiknya.
Sementara itu, Saskia yang dibawa masuk ke kamar Sehan diminta duduk di tepi ranjang, sedangkan pria itu sibuk mencari kotak P3K. Sejujurnya, ini tidak begitu sakit. Nyatanya, air mata Saskia terus mengalir tanpa henti.
“Sakit banget?” tanya Sehan yang langsung membersihkan luka di jari Saskia.
Gadis itu menggeleng, tapi terus menangis. Sehan sendiri tidak tahu, kenapa sang adik tiba-tiba jadi cengeng begini.
“Terus kenapa nangisnya tambah kenceng?” tanya Sehan.
“Bang Sehan beneran mau nikah?”
Pertanyaan itu akhirnya meluncur dari bibir Saskia yang bergetar. Ini terlalu mendadak. Entah kenapa, ia tidak setuju dengan rencana itu. Walaupun memang usia Sehan sudah sepatutnya memiliki pasangan.
Sementara Sehan masih diam. Ia ingat pembicaraan mama dan papanya pagi tadi mengenai siapa dirinya. Ia mungkin harus mengkonfirmasinya. Namun, melihat bagaimana sang papa dengan tegas bilang jika rahasia ini akan tetap menjadi rahasia, Sehan mendadak ragu. Di depannya kini ada seorang gadis yang sedang menangis karena belum rela ia menikah. Dan itu adalah Saskia. Sang adik, aah … ralat. Dia bukan siapa-siapa Sehan. Mereka sama sekali tidak mempunyai ikatan darah. Lantas, kenapa hatinya terus condong pada gadis itu.
“Bang, jawab!” pinta Saskia saat itu.
“Abang belum mau menikah, tapi Oma yang minta.”
“Aku dengar semuanya. Abang mau dinikahkan secepatnya. Apa itu bener?” tanya Saskia lagi.
“Memangnya kenapa kalau Abang nikah?”
Sehan balik bertanya. Sejujurnya, ia penasaran dengan perasaan Saskia kepadanya. Namun, gadis itu sama sekali tak bisa menjawab. Ingatannya kembali ke kejadian semalam. Bagaimana ia dengan gila terus meminta lebih pada Sehan. Walaupun ia tahu, Sehan adalah kakaknya. Nyatanya, pria itu benar-benar memperlakukannya sebagai seorang wanita, bukan adik perempuan.
“Enggak tau. Aku ….”
Sehan mengambil tangan Saskia yang telah diplester untuk dikecup. Gadis itu terkesiap ketika mendapatkan perlakukan demikian. Telempapnya masih diusap oleh Sehan dan ditempelkan di pipi. Seakan-akan, itu adalah usapan ternyaman baginya.
“Kia enggak bisa lupa yang semalam, Bang,” ucap gadis itu lirih.
Saskia menunduk dalam. Ia baru saja mengakui kenikmatan yang Sehan berikan semalam. Walaupun sedikit terkejut, tapi pria itu bisa menguasai diri.
“Kamu suka?” tanya Sehan.
Saskia mengangguk lemah. Kejujuran gadis itu membuat adrenalin Sehan memuncak. Ia juga sangat menyukainya. Walaupun tidak melakukan penyatuan, tapi melihat Saskia terus memintanya lebih membuat Sehan menjadi makin tegang. Lagi pula, mereka buka saudara kandung. Jadi, apakah boleh Sehan seberharap ini pada Saskia?
“Abang juga suka,” katanya lirih.
Saskia mendongak. Ia melihat wajah memerah Sehan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Aah … ini kakaknya, tapi kenapa ia begitu nyaman menganggap Sehan sebagai pria dewasa?
“Sehan, cepat pergi ke kantor. Papa sudah menunggumu,” kata Sierra yang melihat kedekatan keduanya dari ambang pintu.
Sehan menoleh, lalu mengangguk lemah. Ia melihat wajah sang mama yang merah padam. Mungkin karena kesal, sebab sang putra yang mengindahkan larangannya.
“Abang pergi dulu. Jangan keluar rumah hari ini,” ucapnya sebelum berlalu meninggalkan Saskia dan sang mama.
Usai mencium punggung tangan Sierra takzim, ia turun ke lantai bawah dan menemui Pram. Keduanya kemudian berangkat ke kantor bersama.
Sementara itu, Sierra mendekati sang putri yang masih nyaman duduk di ranjang sang kakak perlahan. Wanita itu mengempaskan bokongnya di samping Saskia dan mengusap bahu gadis itu lembut.
“Mama enggak tau bagaimana perasaan kamu, Sayang. Mama hanya mau persaudaraan kalian tidak retak hanya karena kesalahan semalam. Sehan itu kakakmu,” katanya.
“Kia juga mau begitu, Ma. Tapi hati Kia bilang enggak. Enggak tau, Ma. Kia langsung sedih tadi pas dengar Oma bilang kalau Bang Sehan harus segera menikah. Itu aja.”
Gadis itu pun bangkit. Ia meninggalkan sang mama yang mematung usia mendengar ucapan putrinya. Ya, Tuhan. Itu bukan perasaan adik ke kakaknya, tapi seorang gadis pada pria yang dia sayang. Batin Sierra.
***
“Kalau aku bukan anak Papa sama Mama, jadi aku anak siapa?” ucap Sehan yang kini ada di ruangannya.
Pria itu masih belum bisa menemukan jawaban atas semua yang terjadi dalam semalam. Ia dan Saskia, lalu pernyataan mengenai siapa dirinya sebenarnya. Membuat pria itu tak bisa fokus bekerja saat ini. Sampai akhirnya, sang sekretaris masuk dan membawakan sebuah laporan.
“Ini yang akan Pak Sehan bawa pada pertemuan siang hari ini,” katanya.
“Jam berapa klien bisa datang?”
“Jam 1, Pak. Saya sudah reservasi restoran di hotel Victoria,” kata wanita berkacamata itu.
“Ok. Terima kasih,” sahut Sehan.
Wanita itu lantas berlalu. Sementara Sehan melirik jam di pergelangan tangannya. Setengah jam lagi, jadi ia harus bersiap sekarang juga.
Sebelum jam 1, Sehan sudah sampai di sana. Bersama sang sekretaris, pria itu masuk ke restoran yang sudah dipesan. Nahas, ia tanpa sengaja menabrak seorang wanita paruh baya yang langsung terjatuh ke lantai.
“Astaga, maaf, Bu. Saya tidak sengaja,” katanya seraya membantu wanita itu.
“Ah, iya. Tidak apa-apa. Saya baik-baik … auuh.”
Wanita itu memegangi kakinya. Sepertinya tabrakan tanpa sengaja itu membuat kakinya terkilir. Sehan dengan sigap kemudian membantunya untuk bangun.
“Sepertinya kaki Ibu terkilir. Tapi … saya harus bertemu dengan klien saat ini. Ini kartu nama saya. Ibu bisa hubungi saya untuk biaya berobat,” ucap Sehan seraya memberikan kartu namanya pada wanita itu.
Wanita itu mengangguk. Namun, ketika ia membaca nama dan perusahaan pria muda di depannya, ia langsung terkejut.
“Sehan Atmaja,” ucapnya.
“Iya. Nama saya Sehan, Bu.”
Mata Sela langsung berkaca-kaca. Tangannya terulur demi menyentuh pipi pria dewasa di depannya dengan lembut.
“Sehan, anakku. Kamu sudah sebesar ini?” katanya seraya mengusap pipinya yang basah dengan air mata.