“Kamu sudah sebesar ini, Nak?” ucap Sela seraya menyentuh pipi sang putra lembut.
Mata wanita itu berkaca-kaca dan siap melelehkan air mata. Ia tak menyangka jika akan dipertemukan dengan sang putra yang telah lama tinggal bersama mantan suaminya. Ya, Pram melarang wanita itu menemuinya. Bahkan melihat Sehan dari kejauhan. Namun, takdir begitu baik hingga Sela diberi kesempatan bertemu, bahkan menyentuh anak pertamanya.
“Maaf, apa ibu salah orang?”
Sehan yang masih kebingungan dengan ucapan wanita yang baru sekali ini ia temui melempar tanya. Anak? Apakah wanita di depannya ini adalah jawaban dari kelesah hati Sehan beberapa waktu ini mengenai siapa dirinya?
Sela menggeleng. Air matanya telah meleleh. Wanita itu tidak bisa menahan dirinya. Ia lupa untuk tidak melakukan ini karena sang mantan suami tidak akan pernah memaafkannya.
“Ya, ibu salah orang. Maaf, Nak.”
Dengan tertatih, wanita itu berjalan menjauh dari Sehan. Kendatipun Sela berkata demikian, tapi Sehan tak mau membuang kesempatan.
“Ikuti Ibu itu. Cari tau apa pun tentang dia,” titah Sehan kepada sang sekretaris.
“Baik, Pak.”
Wanita itu berlaku, sedangkan Sehan masih mematung. Jelas-jelas tadi wanita itu memanggilnya dengan nama yang benar, tapi kenapa kemudian berubah salah orang. Sehan bahkan merasakan kedekatan ketika tangan wanita tadi menyentuh pipinya. Lantas, apakah ini sebuah jawaban?
Pria itu menggeleng lemah. Ia harus mengesampingkan sisi melankolisnya saat ini dan bersikap profesional. Ada klien yang menunggunya saat ini. Jadi, ia bergegas untuk pergi.
Sepanjang sisa hari itu, Sehan menunggu kabar dari sang sekretaris. Ia benar-benar penasaran dengan wanita yang tadi menyapanya di restoran. Apakah firasatnya benar, atau ia hanya berharap benar karena mulai menyadari perasaannya terhadap Saskia.
Tak lama, ponselnya berdering. Nama sang nenek yang tertera di layarnya. Gegas Sehan mengangkat panggilan itu.
“Ya, Oma.”
“Pulang lebih cepat, ya. Ada yang mau ketemu,” kata Ani.
“Iya,” jawab Sehan singkat.
Ia tak terlalu peduli hal dengan apa yang dikatakan sang nenek karena terus fokus pada kejadian tadi. Entah apa yang direncanakan oleh Ani.
Sore itu, sang sekretaris akhirnya kembali dengan beberapa informasi mengenai Sela. Ia melaporkannya kepada Sehan yang hari itu belum pulang dari kantor.
“Bagaimana?” tanya Sehan.
“Namanya Bu Sela. Dia seorang istri dari dokter kandungan yang menjadi relawan di sebuah panti asuhan. Mereka punya satu putra yang saat ini masih kuliah. Dan ini alamatnya,” kata sang sekretaris menyerahkan selembar kertas pada Sehan.
Pria itu mengangguk, lalu berterima kasih kepada bawahannya yang sudah bekerja keras hari ini.
“Saya akan TF bonus untuk kerja kamu hari ini,” kata Sehan.
“Terima kasih, Pak,” katanya.
Wanita itu pun berlalu, sedangkan Sehan melihat alamat yang tertera di sana. Ia butuh setidaknya 3 jam perjalanan untuk sampai di tempat ini. Lantas, apakah ia benar-benar harus pergi demi membuktikannya?
Tak lama kemudian, Pram mendatangi ruangan sang putra. Pria itu meminta izin pada Sehan untuk masuk setelah mengetuk pintu.
“Masuk, Pa,” ucap Sehan.
“Masih sibuk?” tanyanya.
“Enggak.”
“Papa seneng banget, Han. Dua tahun terakhir ini, kamu benar-benar membuktikan kepiawaian mengurus perusahaan. Papa jadi tenang kalau sewaktu-waktu Papa pensiun,” kata Pram.
“Papa ngomong apa? Papa akan tetap di sini. Sehan pengen punya usaha sendiri, Pa,” kata pria itu kemudian.
“Loh, kenapa? Nerusin perusahaan kita sama aja, Han.”
“Anak Papa enggak cuma Sehan, ada Saskia sama Sean juga. Jadi, Sehan pengen mereka juga mendapatkan hak yang sama. Papa dukung Sehan, ya,” pinta Sehan.
Pram berpikir sejenak. Sebenarnya, Saskia dan Sean memang yang paling berhak mendapatkan hartanya, tapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, jika Sehan akan tetap menjadi bagian dari hidupnya sampai kapan pun. Apa pun yang terjadi nanti. Nyatanya, anak lelakinya itu begitu dewasa. Sehan bahkan memikirkan adik-adiknya yang mungkin saja belum paham benar mengenai mengelola perusahaan.
“Ya, Papa pasti dukung kamu. Udah, ayo pulang,” kata pria itu mengajak sang putra untuk pulang.
“Makasih, Pa.”
Sehan kemudian beranjak. Mumpung ia hanya berdua dengan sang papa, apakah sebaiknya ia mencoba memancing pria baik itu untuk membuka siapa sebenarnya dirinya?
“Oh, ya, Pa. Tadi, aku ketemu sama Ibu-ibu. Masak dia langsung nangis ketemu aku dan bilang kalau aku ini anaknya,” kata Sehan.
Pram langsung menoleh. Mimik wajahnya berubah kelam. Ia langsung cemas mendengar cerita sang putra mengenai ibu-ibu yang mengaku menjadi ibunya.
“Jangan percaya! Kamu itu anak Papa sama Mama,” ucap Pram kemudian.
Sehan tersenyum kecil mendengar ucapan sang papa. Benar. Papanya terlihat ketakutan mendengar cerita Sehan. Bukan, Pram hanya khawatir berlebihan. Tentu saja, Sela bisa kembali sewaktu-waktu dan mengaku demikian pada Sehan. Namun, ia tidak akan pernah rela. Sehan adalah anaknya dan itu tidak akan pernah berubah.
“Iya, Pa. Kita pulang sekarang,” kata Sehan.
Pram mengangguk. Walaupun masih banyak kecemasan dalam hatinya, tapi Pram mencoba untuk tenang. Keduanya lantas pulang bersama dengan satu mobil. Sesampainya di rumah, Pram langsung masuk ke kamar, serangan Sehan menyambangi dapur untuk mengambil minum.
“Mas Sehan mau disiapkan makan malam?” tanya Bik Darmi yang ternyata masih setia menjadi ART di sana.
“Enggak, Bik. Makasih. Emm … Bik, aku mau tanya. Apa … Bik Darmi kenal dengan wanita bernama Sela?” tanya Sehan kemudian.
Pria itu mencoba mencari kesempatan demi mencari tahu, benarkah ibu-ibu yang datang adalah mama kandungnya. Sementara Bik Darmi langsung terdiam. Ia telah bersumpah untuk tidak bicara apa pun mengenai mantan istri tuannya tersebut. Namun, dari mana Sehan tahu soal itu.
“Bik, jawab. Aku cuma mau tau saja, apa Buk Darmi kenal dengan wanita bernama Sela?”
Sehan masih memaksa. Namun, Bik Darmi langsung menggeleng lemah.
“Tidak, Mas. Ya, sudah. Bibik ke belakang, ya,” kata wanita paruh baya itu kemudian.
Sehan membuang napasnya dengan kasar. Entah apa yang terjadi di masa lalu dengan keluarga ini. Sehan tidak mengerti mengapa semuanya bungkam mengenai sang mama. Aah … entahlah.
Sehan lantas masuk ke kamarnya. Saat ia membuka pintu, Saskia telah ada di tepi ranjang dan menatapnya dengan sedikit kesal.
“Saskia, ada apa?” tanya Sehan yang langsung mengambil duduk di sebelah sang adik.
“Abang jahat!” katanya.
“Jahat kenapa?”
“Katanya Abang enggak mau nikah buru-buru. Tapi malam ini Bang Sehan malah janjian sama calon yang Oma siapkan! Maksudnya apa, sih, Bang?”
Sehan terdiam. Astaga, jadi itu sebabnya sang nenek memintanya pulang lebih cepat. Lantas, bagaimana ia menjelaskan pada Saskia saat ini.
“Kia, Abang–”
“Salah, ya, Bang kalau Saskia cemburu?” sahut gadis itu sambil menunduk.
Seharian ini, gadis itu telah meredam gejolak dalam dirinya sendiri. Ini mengenai malam bersama Sehan. Demi apa pun, Saskia tidak pernah bisa melupakan sentuhan sang kakak yang melenakan. Oke, mungkin karena ini yang pertama. Namun, Saskia bersumpah jika ia tidak mengada-ada. Ia menyukainya.
Sementara itu, hati Sehan menghangat mendengar ucapan sang adik. Ia juga merasakan hal yang sama waktu itu. Waktu seorang pria dengan gila hampir menodainya. Namun, bagaimana? Ia masih belum bisa mengambil kesimpulan karena semua belum terbuka semuanya.
“Saskia, Abang sayang banget sama kamu. Jangan sedih begini. Abang juga ikut sedih.”
Gadis itu mendongak ketika sang kakak menangkup kedua pipinya. Mata mereka beradu sempurna, hingga jarak yang tersisa terkikis sepenuhnya. Tepat ketika itu, kenop pintu ditekan dari luar. Keduanya terkesiap dan Sehan refleks menutup tubuh Saskia dengan selimut.
“Sehan, apa yang kamu lakukan? Cepat mandi dan turun. Sinta sudah ada di bawah,” kata Ani yang langsung membuka pintu kamar pria itu.
“Sinta? Siapa dia, Oma?”
“Calon istri kamu. Siapa lagi? Sudah ayo cepat.”
Sehan terdiam, sedangkan Saskia meradang. Ingin sekali ia keluar dan meminta sang nenek mengusir gadis itu. Namun, apakah bisa? Ia berharap, Sehan menolak dan mengusir gadis itu. Namun, yang terjadi ….
“Ya, Oma. Sehan akan temui dia,” ucap Sehan yang membuat Saskia terkejut. Apakah Abangnya serius?