Bab 2. Tiba Tiba Retak

1220 Words
“Sehan, Saskia. Apa yang terjadi di sini?” tanya sang mama yang langsung terkejut melihat pemandangan di kamar sang putri. Sehan langsung turun dari ranjang. Pria itu mendekati wanita yang merawatnya sejak kecil dengan buru-buru. Ia harus menjelaskan semuanya sebelum sang mama salah paham. “Ma, ini enggak seperti yang Mama pikirkan,” kata Sehan. “Apa yang Mama pikirkan? Hah? Mama lihat kalian berdua tanpa busana di satu ranjang yang sama. Ya Tuhan, kalian ini kakak beradik, Sehan,” ucap sang mama dengan air mata yang telah membanjir. Sierra tidak tahu jika keduanya bisa sejauh ini. Ya, ia tahu keduanya dekat dan saling menyayangi satu sama lain. Namun, sampai sejauh ini? Astaga, apa yang harus ia lakukan jika semua orang tahu? “Ya, Sehan tau, Ma. Tapi kami enggak melakukan apa-apa. Ma, tolong percaya sama Sehan. Sehan enggak akan bisa melakukan itu pada adik Sehan sendiri,” jelas pria itu. “Tapi buktinya? Ini yang mama lihat Sehan. Kalian … kalian tidur seranjang,” ucap Sierra. Wanita itu terduduk lemas di kursi belajar sang putri. Tampak sekali jika ia begitu terpukul melihat keduanya ada dalam satu kamar. Walaupun Sierra tahu jika keduanya memang bukan saudara kandung, tapi tetap saja. Rahasia itu tidak pernah dibongkar oleh siapa pun. Pram melarang semua orang yang tahu asal-usul Sehan untuk tutup mulut. Sampai kapanpun. “Ma, ini salah Saskia. Tolong jangan marahin Bang Sehan.” Sang putri yang sejak tadi menangis akhirnya membuka suara. Masih dengan selimut yang membungkus tubuh polosnya, Saskia memeluk lutut dan menangis. Sementara Sehan hanya bisa mengusap wajahnya dengan gusar. Ini salahnya karena tidak mengantar Saskia dan malah membiarkan ia pergi ke pesta ulang tahun rekannya. Ini salahnya, karena malah terjebak nafsu dan membuat masalah pagi ini. Sierra menggeleng lemah. Sudah, sudah. Lebih baik ia sudahi kegilaan ini dan memisahkan mereka. Setidaknya, untuk hari ini. Ia akan memikirkan solusinya setelah ini. “Kembali ke kamar kamu, Sehan. Cepat pergi dari sini,” titah sang mama. “Ma–” “Sehan. Dengarkan Mama!” Sehan membuang napasnya dengan kasar, lalu mengangguk lemah. Ia mengambil kemeja dan sepatunya. Lantas, keluar dari kamar Saskia dengan mengendap. Sierra langsung mengunci pintu dari dalam usai pria itu berlalu, kemudian menatap anak gadisnya lekat-lekat. “Ma ….” “Ceritakan semuanya, Sayang. Apa yang terjadi?” tanya Sierra seraya mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Saskia mengusap air mata di pipinya. Gadis itu lantas mulai bercerita mengenai ulang tahun sang rekan. Ya, ia kemarin pagi pamit untuk pulang telat dan pergi ke pesta ulang tahun di sebuah kafe. Nyatanya, kejadian tak terduga terjadi. Ia diberi minuman yang membuatnya jadi gila. Untunglah Sehan datang tepat waktu. Sang kakak bahkan membawanya pulang tanpa ketahuan papa dan mamanya semalam. Sialnya, obat itu bekerja melebihi apa yang dibayangkan keduanya. “Kami enggak melakukan hal itu, Ma. Bang Sehan enggak menodai Saskia sama sekali,” katanya seraya mengusap air matanya. Sang mama sedikit lega mendengar hal itu. Namun, apakah itu benar? Mereka tertangkap basah dalam satu ranjang dan Saskia tidak memakai apa-apa. Walaupun Sehan hanya melepas kemejanya, tapi siapa yang tahu? “Kamu yakin, Sayang?” tanyanya. “Yakin, Ma. Mama bisa periksakan Saskia kalau tidak percaya.” Sierra membuang napasnya dengan kasar. Ia harus percaya kepada kedua anaknya. Ya, Sehan tidak pernah membuatnya kecewa. Semoga saja kali ini ia juga tidak membuat kesalahan. Sementara itu di kamarnya, Sehan membuang tubuhnya ke ranjang dengan kasar. Ia tak tahu jika kejadiannya akan seperti ini. Harusnya semalam ia langsung kembali ke kamar dan tidak mencemaskan apa pun. Nyatanya, ia tak bisa meninggalkan Saskia seorang diri karena takut gadis itu akan kembali berulah. Dan akhirnya sang mama memergoki mereka berdua. Namun, bukan hanya itu yang membuat Sehan tak bisa tenang. Ini adalah tentang dirinya. Bagaimana mungkin ia sempat menganggap Saskia sebagai seorang wanita, bukan gadis kecil yang harus ia lindungi. Ia berdebar ketika sang adik menikmati permainannya dan sialnya ia juga merasakan hal yang sama. “Jangan gila, Han. Saskia itu adikmu,” bisik pria itu. Sehan memilih memejamkan mata. Nyatanya, yang terlintas adalah kecantikan Saskia yang tampak nyata. Aah … sial. Mau tak mau ia harus mengakui, bahwa gadis itulah yang menyebabkan Sehan enggan dekat dengan wanita mana pun. Ia tak tahu, tapi rasanya sang adik adalah gadis yang harus ia jaga lebih dari siapa pun. *** “Ma, mana dasiku?” tanya Pram yang sibuk mencari dasinya sejak tadi. Sierra baru saja dari kamar sang putri. Wanita itu tampak sedikit linglung karena kejadian tadi. Ralat, sebenarnya Sierra hanya tidak menyangka jika Sehan dan Saskia akan terjebak dalam situasi semacam itu. Walaupun Saskia mengaku tidak sampai melakukannya, tapi tetap saja ia merasa cemas. Mungkin, ia perlu membicarakan hal ini pada suaminya pagi ini. “Ini, Pa,” katanya seraya memberikan dasi pada Pram. Pria itu menyadari ada sesuatu yang aneh pada sang istri. Jadi, ia menahan bahu Sierra dan mulai bertanya apa yang terjadi. “Pa, sebenarnya aku cemas mengenai Sehan dan Saskia,” katanya. “Cemas kenapa?” “Mereka terlalu dekat. Mama takut kalau hubungan mereka lebih dari kakak dan adik. Maksudnya Pa, mereka pasti memiliki ketertarikan satu sama lain karena mereka lawan jenis. Mama takut hubungan persaudaraan mereka akan rusak jika itu terjadi,” jelas Sierra. “Kamu tenang aja. Aku sudah bilang kepada semua orang yang tau mengenai Sehan untuk tidak bilang jika dia bukan anak kandung kita. Rahasia itu akan terpendam selamanya. Dan selamanya mereka akan tetap jadi kakak dan adik. Jangan cemaskan apa pun,” kata Pram meyakinkan sang istri. Sialnya, saat itu Sehan yang hendak menemui sang mama mendengarnya. Ia mematung di depan pintu kamar kedua orang tuanya dengan banyak pertanyaan dalam kepala. Benarkah ia bukan anak kandung kedua orang tuanya? *** Pagi itu, Saskia memilih untuk tidak pergi kuliah. Ia mengurung diri di kamar dengan alasan tidak enak badan. Sebenarnya, itu hanya bualan saja. Gadis itu belum siap bertemu dengan Sehan lagi setelah kejadian itu. Sementara semua orang sedang berkumpul untuk sarapan di meja makan. Sehan datang paling akhir dan memilih duduk di samping sang papa. Sebenarnya, ia masih merasa tidak enak hati usai mendengar pembicaraan Pram dan Sierra tadi. Ia masih tidak menyangka jika keluarga yang ia sayangi dan lindungi selama ini bukan keluarga kandungnya. Lantas, bagaimana ia harus bersikap? Ani–sang nenek–tersenyum kecil ketika melihat Sehan yang tumbuh menjadi pria gagah dan tampan. Ia menjeda acara menyuapnya ketika melihat pria itu mengambil roti bakar untuk sarapan. “Han, gimana perusahaan?” tanya Ani. “Aman, Oma.” “Bagus. Oma percaya sama kemampuan kamu. Papamu pasti sudah mengajarkan banyak hal mengenai bisnis,” ucap Ani. “Iya, Oma,” sahut Sehan kemudian. “Sekarang, sudah waktunya kamu menikah. Oma sudah pilihkan gadis yang pas untukmu,” kata Ani. Saat itu, semua orang langsung terkejut. Bukan hanya Sehan, bahkan Pram dan Sierra juga tidak menyangka jika Ani mempunyai rencana demikian. “Ma, apa, sih? Kenapa tiba-tiba membicarakan pernikahan? Sehan masih muda. Dia bisa me–” “Sudahlah. Ini sudah menjadi keputusan Oma. Sehan akan menikah secepatnya.” Prank! Semua orang menoleh ke arah benda pecah yang terjatuh ke lantai. Saskia tampak syok mendengar ucapan Omanya mengenai sang kakak. “Kia,” panggil Sehan yang langsung panik melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Buru-buru Saskia mengusap sudut matanya yang berembun, lalu tersenyum. “Abang ma–u menikah?” katanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD