“Kita kasih surprise Sehan. Pasti dia kaget kalau kita sudah menyiapkan semuanya,” kata Ani menggebu-gebu.
Sierra dan Pram saling tatap. Sebenarnya, ini bukan keputusan tepat. Sebab, yang bersangkutan saja tidak ada di rumah. Sehan pasti kesal jika tidak dilibatkan dalam hal ini. Terutama ini menyangkut masa depannya.
Sierra sendiri telah memikirkan banyak kemungkinan ketika nanti Sehan pulang dan melihat banyak seserahan ini. Pria itu telah berkata pada Pram jika ia masih belum siap menikah dengan siapa pun. Sehan tidak menyukai Sinta dan itu akan menjadi masalah di kemudian hari.
“Ma, kita tunggu Sehan saja, ya. Pram takutnya dia enggak suka dan semuanya kurang sesuai dengan apa yang dia inginkan,” kata Pram.
“Mama tau, cucu kesayangan Mama pasti setuju. Sinta juga bilang. Waktu itu Sehan maunya langsung menikah. Jangan menunggu lama-lama. Sepertinya dia sudah langsung jatuh cinta pada Sinta sejak pandangan pertama,” kata Ani.
“Itu pendapat Sinta, Ma. Sehan belum tentu begitu,” sahut Sierra kemudian.
“Sudahlah, kalian berdua percaya sama Mama. Kalaupun Sehan tidak mau, dia tetap harus mau karena mama sudah memutuskannya. Sinta itu gadis baik-baik dari keluarga baik-baik juga. Mereka cantik dan tampan. Apalagi?”
Sierra membuang napasnya dengan kasar. Pram juga tidak bisa mencegah sang mama melakukan ini. Keputusan wanita itu seolah-olah menjadi sebuah perintah yang harus dituruti oleh semua orang yang ada di rumah ini.
Usai pembicaraan itu, Sierra dan Pram kembali ke kamar. Dengan wajah kusam, Sierra membuang tubuhnya ke ranjang. Ia tahu Sehan sejak kecil. Ia sama sekali tidak pernah melawan perintah orang tuanya. Sehan manut dan bisa mengendalikan keinginannya yang selalu ia pendam. Ia selalu mendahulukan apa yang diinginkan orang tuanya dan mengabaikan perasaannya. Namun, kali ini Sierra tak yakin. Waktu itu saja, Sehan dan Saskia sudah seperti itu. Lantas, bagaimana setelah ini?
Pram yang melihat sang istri begitu cemas mendekatinya. Ia mengusap punggung tangan Sierra dan menatapnya lekat. Sebagai ganti tanya mengapa ia begitu khawatir.
“Sehan pasti akan marah besar, Pa. Kita egois karena mengambil keputusan tanpa bertanya dulu padanya. Ini masalah rumah tangga yang akan ia hadapi ke depannya. Mana bisa hanya karena cantik dan baik kita memilihkan gadis untuknya. Sehan punya perasaan, Pa. Aah … Mama tidak bisa menghadapinya besok,” jelas Sierra.
“Aku tau, Ma. Tapi kamu juga paham bagaimana sikap Mama, kan? Kita saja bersama harus dengan cara yang tidak biasa. Jadi, mana mungkin kali ini Mama mau mendengarkan?” ucap Pram.
Sierra tak lagi mau berdebat. Sama saja, sang suami juga tidak bisa melakukan apa pun saat ini. Mereka hanya akan menunggu kemurkaan Sehan yang lagi-lagi diminta menuruti mau para tetua.
Pagi itu, Saskia yang memutuskan untuk cuti kuliah memilih turun ke meja makan untuk sarapan. Ia terkejut ketika melihat deretan barang-barang seserahan yang baru datang. Ia melihat petugas WO bergantian masuk dan meletakkan semuanya di ruang tengah. Perasaannya mulai tidak enak. Buru-buru ia menemui Sierra yang ada di dapur.
“Ini semua untuk apa, Ma?” tanyanya.
Sierra yang baru selesai mencuri peralatan masak menoleh. Ia membuang napas kasar dan menjawab sekenanya pertanyaan sang putri.
“Untuk lamaran Abangmu,” katanya.
Saskia terdiam. Bukankah Sehan bilang jika ia tak mau menikah dengan orang selain dirinya. Lantas, ini apa? Mata Saskia mulai berkaca-kaca. Gadis itu mendekati sang mama dan mengatakan apa yang ia rasakan.
“Mama benar-benar melakukan ini? Bang Sehan enggak mau nikah sama cewek itu, Ma,” kata Saskia.
“Mama enggak tau apa-apa, Kia.”
“Mama tau, tapi enggak bisa belain Bang Sehan di depan Oma,” sergah Kia.
“Kia!”
Sierra membentak sang putri yang sepertinya mulai keterlaluan. Oma memang orang yang paling tua. Jadi, bagaimana mamanya bisa menolak. Sama sekali tidak bisa. Bahkan sang suami juga tidak bisa berbuat apa-apa.
“Mama enggak pernah mikirin kebahagiaan Bang Sehan sejak dulu. Kalian semua sebenarnya tidak berhak karena Bang Sehan bukan anggota keluarga Atmaja,” kata Saskia seraya berlalu.
Sierra mematung. Apa tadi yang dikatakan oleh sang putri ? Apakah Saskia tahu jika Sehan bukankah kakak kandungnya? Sierra kemudian menyusul sang putri naik ke kamarnya. Ia menyusul Saskia demi bertanya mengenai apa saja yang gadis itu tahu soal Sehan. Termasuk mengenai statusnya yang memang bukan anak kandung keluarga ini.
“Apa yang kamu katakan tadi, Kia?” tanya Sierra usai sampai di dalam kamar gadis itu.
Saskia yang sudah sesenggukkan di tepi ranjang kemudian mendongak. Gadis itu menatap sang mama tajam. Entahlah, ia tadi sempat keceplosan dan sepertinya itu benar. Sebab, sang mama langsung menyusulnya ke sini sekarang.
“Benarkan, Ma. Bang Sehan itu bukan kakak kandung Saskia. Aku dan Bang Sehan bukan saudara kandung. Mama enggak perlu menutup-nutupinya lagi,” kata gadis itu.
Sierra terdiam. Habis sudah semuanya. Saskia sudah tahu jika Sehan bukan kakak kandungnya. Hubungan mereka pasti makin erat karena hal itu. Ya, mereka tidak berdosa saling cinta jika bukan saudara. Jadi, bagaimana ini?
“Dari mana kamu tau itu semua, Kia?” tanya Sierra dengan suara yang makin serak.
“Jadi benar, kan, Ma? Kenapa masih menutupinya?”
“Jangan bicara kamu, Kia. Sehan tidak boleh tau soal ini,” bentak Sierra kemudian.
Tanpa keduanya sadari ternyata Sehan ada di ambang pintu. Pria itu langsung murka ketika melihat kesayangannya dibentak oleh sang mama. Belum lagi masalah seserahan yang ada di ruang tengah. Mereka semua benar-benar membuat Sehan murka.
“Kenapa Mama marahin Kia? Dia salah apa?”
Mendengar Sehan berteriak hati Sierra terasa nyeri. Ini kali pertama pria itu berkata kasar kepadanya. Padahal Sehan tidak tahu apa yang terjadi. Saat itu, Saskia yang juga merasa sedih langsung berlari keluar usai mengucapkan selamat pada Sehan atas lamaran yang akan dilaksanakan. Padahal hatinya yang tidak terima. Pria itu langsung mengejarnya dan memilih mengabaikan sang mama yang terduduk lemas di lantai.
“Ya, Tuhan, bagaimana ini?”
Sementara itu, Sehan berhasil menangkap tangan Saskia ketika gadis itu hampir sampai di gerbang utama. Tanpa pikir panjang, pria itu langsung memeluk sang adik yang terus menangis. Sehan mencoba menenangkan gadis itu agar tak terus merasa bahwa Sehan bahagia dengan keputusan ini. Pria itu tak senang sama sekali.
“Kia, tolong percaya sama aku. Aku enggak pernah mau begini,” ucap Sehan.
“Tapi ini yang semua orang mau, Bang,” kata gadis itu.
“Kita bicara di tempat lain.”
Sehan lantas membawa gadis itu dengan mobil meninggalkan rumah. Saat itu, Ani melihat keduanya dari beranda rumah mereka. Ani membuang napas dalam berlalu ke dalam rumah.
Sementara itu, Sehan mengajak sang adik ke sebuah restoran. Ia ingin membuat Saskia percaya bahwa ia tidak akan pernah menikah dengan Sinta. Namun, ketika keduanya pulang, rumah sangat sepi dan Bik Darmi langsung mencegat keduanya.
“Semua orang ke rumah sakit, Mas,” katanya.
“Kenapa, Bik?”
“Mama Sierra pingsan.”
Keduanya langsung panik. Mereka lantas pergi ke rumah sakit demi melihat keadaan sang mama. Sesampainya di sana, Ani yang duduk di ruang tunggu langsung mencegat Sehan dan Saskia yang datang dengan bergandengan tangan.
“Oma, gimana keadaan Mama?” tanya Sehan.
“Ini salahmu, Sehan. Mamamu itu jantungnya lemah. Dan kamu malah membuat penyakit itu bertambah karena tidak mau menikahi Sinta. Kamu mau Mamamu kenapa-napa?” ucap Ani.
Sehan langsung merasa bersalah karena tadi membentak sang mama. Jelas ini salahnya. Sementara Saskia langsung melepas genggaman tangan sang kakak dan mundur sejenak. Sepertinya, ia harus merelakan sang kakak menikah. Ketimbang melihat mamanya sakit begini. Ia tak akan sanggup.
Saat itu, Sehan langsung menoleh ke arah sang adik yang melepas pegangan tangannya dan menatap gadis itu lekat. Saskia mengangguk lemah, lalu membuka suara.
“Turuti apa mau Mama, Bang,” bisiknya dengan hati berdarah-darah.