Bab 7. Meremas Lebih Keras

1445 Words
“Aku juga cuma mau sama Bang Sehan,” jawab Saskia kemudian. Tanpa permisi, Sehan mencium bibir gadis itu. Rasa kecewanya pada sang oma yang sudah mengatur pernikahannya lesap begitu merasakan kehangatan ranum bibir sang adik. Ya, Tuhan, ini salah, tapi Sehan sama sekali tidak bisa menahan diri. Sang adik adalah kegilaan baru di mana Sehan temukan setelah menutup hati pada wanita mana pun. Saskia adalah yang selalu ia sayangi dan cintai. Entah bagaimana awalnya. Mereka hampir saja larut dalam peluh bersama ketika kemudian Sehan mulai waras. Ia melepas kecupannya dan membentang jarak dengan sang adik. Ibu jarinya mengusap bibir Saskia lembut demi menghilangkan bekas air liurnya yang masih menempel di bibir sang adik. Saskia mengulas senyum semringah. Ia tak mau apa pun saat ini. Hanya Sehan yang ia pedulikan. Namun, bagaimana jika sang oma tetap memaksakan kehendaknya menikahkan Sehan? Saskia tak mungkin mengatakan pada pria di depannya jika ia bukanlah anak kandung mama papanya walaupun itu adalah cara satu-satunya yang Saskia bisa usahakan agar bisa bersatu dengan Sehan. Nyatanya, gadis itu sadar, jika rasa sayang Sehan kepada keluarga Atmaja sangat besar. Termasuk pada mamanya. “Bang, aku udah seneng, kok, kita begini,” ucap Saskia. “Mana bisa, Kia? Kalau aku menikah, aku pasti akan terikat dengan wanita itu.” “Asal hati Abang tetap buat Kia,” sahut gadis itu. Sehan membuang napasnya dengan gusar. Ia ingin sekali berteriak pada dunia jika ia mencintai Saskia. Namun, semuanya teredam karena sebuah status. Entah kenapa ia bisa hadir dalam keluarga ini jika bukan darah daging mereka. Sehan bertekad untuk mencari tahunya. “Pasti, Kia. Kamu tidur, ya. Ini udah malam,” ucap Sehan. Saskia mengangguk kasar. Gadis itu tersenyum dan melepas sang kakak pergi dari kamarnya. Sementara Sierra yang tidak bisa menahan semuanya sendirian mendatangi Pram yang duduk di balkon. Wanita itu langsung menangis usai sampai di hadapan sang suami. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Pram yang terkesiap ketika melihat sang istri datang dengan menangis. “Pa, ini sudah terlalu jauh.” “Apanya?” “Sehan dan Saskia, Pa. Mama ke kamar Saskia dan melihat mereka berpelukan,” kata Sierra. “Kan, biasanya mereka juga begitu.” “Enggak, Pa. Ini beda. Mereka saling suka. Bukan perasaan sayang sebagai kakak adik. Pa, kita harus bertindak,” ucap Sierra. “Di mana mereka sekarang?” “Di kamar Saskia.” Pram bangkit. Ia berjalan cepat menuju ke kamar sang anak gadis. Dengan tanpa permisi, Pram membuka pintu kamar itu dan melihat sang putri yang merebah seorang diri di kamar. “Ada apa, Pa?” tanya Saskia yang terkejut melihat sang papa datang. “Apa Sehan di sini?” Saskia menggeleng. Pram membuang napasnya dengan kasar, lalu kembali ke kamarnya menemui sang istri yang masih sesenggukkan. “Mama pasti kecapekan. Sehan enggak ada di kamar Saskia, Ma,” kata Pram. “Mama enggak mungkin salah lihat, Pa. Aah … Mama enggak tau apa yang terjadi. Kenapa semuanya jadi begini,” ucap Sierra. Pram langsung memeluk sang istri. Ia paham kecemasan Sierra. Bukankah ia jaga sudah mengatakan hal itu beberapa waktu yang lalu. Namun, bisa jadi itu hanya kekhawatiran semata. Sebab, keduanya telah beranjak dewasa sekarang. “Pa, bagaimana kalau kita bilang kepada mereka kalau mereka bukan saudara kandung. Mama enggak keberatan menerima mereka menjadi sepasang kekasih. Mereka juga pasti enggak akan terbebani dengan perasaan mereka,” jelas Sierra. “Mama ngomong apa? Kita harus bilang ke Sehan kalau dia bukan anak kita begitu dan dia akan kembali kepada Sela? Papa enggak setuju. Sehan itu anak papa, Ma. Sampai kapanpun akan begitu. Jangan pernah sekali-kali kamu membahas hal itu lagi. Papa enggak akan mau dengar!” Pram meninggalkan Sierra yang masih menangis. Pria itu tak mau mendengar lagi mengenai Sehan dan Saskia yang jelas-jelas adalah kakak beradik. Walau apa pun yang terjadi, mereka akan tetap begitu. *** Sehan mengosongkan jadwalnya pagi ini demi pergi ke alamat yang waktu itu diberikan oleh sang sekretaris. Sebelum ia harus mengurus bisnis di luar kota. Sehan ingin membuktikan apakah benar, ia bukan anak dari mama papanya. Jika, ya. Ia bisa bilang pada sang oma untuk membatalkan pernikahan dan ia bisa bersama Saskia. Mobil yang ia tumpangi akhirnya menepi di halaman sebuah panti asuhan. Pria itu membuang napasnya dengan kasar, lalu keluar dari mobil dan berjalan mendekati tempat itu. Seorang perawat menyambut pria itu dengan ramah dan bertanya mengenai wanita bernama Sela. “Bu Sela? Ada. Silakan masuk.” “Terima kasih,” ucap Sehan. Pria itu diminta duduk dan wanita tadi pergi ke belakang demi memanggil Sela. Tak lama kemudian, Sela datang dan langsung terkesiap melihat sang putra ada di sana. Ya, pria yang waktu itu menabraknya. Wanita itu mencoba menahan tangis dan mengambil duduk di depan Sehan. “Ibu kenal saya?” tanya Sehan. “Kamu seharusnya tidak ke sini. Pram pasti akan marah besar,” ucap Sela. Sehan memejam sesaat. Kenyataan ini ternyata benar-benar menyakitkan. Mengetahui bahwa ia benar-benar bukan anak kandung dari mama dan papanya membuat Sehan putus asa. Lantas, bolehkah ia mengetahui apa alasannya? “Apa aku dibuang?” tanyanya. Sela langsung menggeleng kasar. Itu tidak benar. Tidak sama sekali. Sela menjelaskan bahwa Pram yang memintanya untuk tidak menemui Sehan sama sekali. Bahkan meminta Sela dan sang suami melupakan pria itu. “Tapi kenapa? Sebabnya apa? Kenapa aku tidak tinggal dengan Ibu dan malah tinggal dengan orang yang bukan siapa-siapaku?” tanya Sehan sedikit tidak sabar. “Semua karena salah ibu. Ibu … berselingkuh dan hamil dengan pria lain. Makanya Papamu murka. Tapi karena papamu sudah kadung sayang kepadamu, dia tidak mau kamu Ibu ambil. Maafkan ibu,” bisik Sela setelah itu. Air matanya meluncur deras membasahi pipi ketika mengakui semua kekhilafan dan penyesalannya. Itu sudah berpuluh tahun yang lalu. Namun, rasanya hukuman berpisah dengan Sehan tidak cukup. Dan sekarang ketika ia sudah besar, Sehan sendiri yang malah datang ke sini. Sementara itu, Sehan hanya bisa diam. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Kembali ke kediaman Atmaja dengan baik-baik saja tentu ia tidak bisa. Setelah kesalahan yang dilakukan kedua orang tuanya, lantas apakah ia masih pantas disambut baik oleh papa dan mamanya? Namun, alasan sang papa merawatnya memang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Tanpa kasih sayang Pram dan Sierra, ia tidak yakin jika Sehan bisa tumbuh dengan baik seperti sekarang. Lantas, apakah ia harus memastikan satu hal lagi? “Jadi, aku benar-benar tidak punya hubungan darah dengan adik-adikku di rumah?” tanya Sehan setelah hening cukup lama. Sela menggeleng, lalu menjelaskan semuanya. “Tidak, Nak. Aku pikir dulu Papamu mandul karena lama menikah dengan Ibu kami tidak kunjung mendapatkan keturunan. Jadi, ibu memilih jalan lain. Ternyata Papamu memiliki penyakit yang akhirnya sembuh dan menikah dengan Mama Sierra,” jelas Sela usai menyeka air matanya. Sehan membuang napas lega. Setidaknya ia tahu, jika ia dan Saskia bukan saudara kandung. Ia tahu, mereka bisa bersama suatu saat. Keduanya bisa saling memiliki tanpa takut hubungan sedarah yang haram. Usai mendengar penjelasan Sela, Sehan kemudian pamit. Ia tak mungkin tinggal karena sang papa pasti akan sangat murka. Cukup ia tahu masa lalu kelam orang tuanya dan ia harus kembali menjadi Sehan yang tidak tahu apa-apa. “Ibu senang kamu datang. Walaupun entah apa yang kamu pikirkan tentang wanita bodoh ini,” kata Sela. “Seburuk apa pun Ibu, aku tetap anak yang lahir dari rahim Ibu. Aku pamit.” Sela mengangguk, lalu permisi dari tempat itu. Semuanya sudah jelas. Jadi, ia bisa kembali sekarang. *** Sepekan setelah perjalanan dinasnya selesai, Sehan pulang ke kediamannya. Ia tak sabar bertemu dengan Saskia karena rasa rindunya sangat besar. Namun, ia terkesiap ketika melihat banyaknya hantaran yang ada di ruang tengah. Semua orang sibuk membungkus hadiah dalam kotak kaca yang indah. Menyadari ada yang tidak beres, pria itu langsung naik ke lantai atas. Ia tak menemui siapa pun kecuali Saski. Ia yakin gadis itu ada di dalam kamarnya. Ketika ia tanpa permisi membuka pintu, sang mama tampak sedang memarahi sang adik dengan tegas. “Jaga bicara kamu, Kia. Jangan sampai Sehan tau soal ini,” katanya. “Ma,” panggil pria itu kemudian. Sierra terkesiap ketika melihat sang putra telah pulang. Entah apakah tadi Sehan mendengar ucapannya. Yang jelas, ini hal yang tidak baik. “Kenapa Mama marahin Kia. Dia salah apa? Dan itu di luar, untuk apa itu semua?” tanya Sehan sedikit kesal. Sierra tak bisa menjawab. Namun, Saskia yang ada di sana buru-buru mengusap pipinya yang basah dan bangkit dari duduk. “Ini adalah hari lamaran Abang dengan Mbak Sinta. Selamat, Bang.” Saskia langsung berlari keluar usai mengatakan itu pada Sehan. Sementara pria itu masih mematung. Ia menoleh pada Sierra yang terisak dan menatapnya dengan geram. “Apa ini, Ma? Kenapa bertindak tanpa bertanya dulu kepadaku, hah?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD