Bab 9. Membungkam Perasaan

1406 Words
“Aku akan pindah kuliah ke luar kota. Abang harus menikah sesuai dengan apa yang Mama mau,” kata Saskia ketika mereka berada di ruang tunggu. Tangan keduanya masih saling menggenggam. Mereka belum masuk ke ruangan rawat sang mama sejak tadi. Keduanya masih sibuk merenungi apa yang harus dilakukan setelah ini. Aah … Sehan tidak tahan. Ia ingin berteriak saja dan mengatakan perasaannya saat ini. Namun, semuanya tidak bisa ia lakukan. Banyak hati yang harus Sehan jaga. Termasuk gadis yang kini ada di sampingnya. “Apa ini udah final, Kia? Abang enggak bisa nikah sama Sinta. Abang enggak cinta,” ucap Sehan seraya menyugar rambutnya sembarangan. “Demi Mama, Bang. Kia benar-benar merasa bersalah. Tadi, Kia marah-marah dan kasar ke Mama. Padahal Mama enggak salah,” kata gadis itu. Sehan mengangguk lemah. Ia juga sama. Jadi, rahasia benar-benar akan terkubur selamanya? “Iya. Demi Mama,” bisik Sehan. Keduanya masih menunduk ketika Pram keluar. Ia langsung duduk di sebelah Sehan dan menepuk bahu pria itu pelan. “Mama udah enggak apa-apa. Kalian enggak mau masuk?” tanya Pram. Sehan dan Saskia mengangguk. Keduanya bangkit seraya masih berpegangan tangan. Pram sempat melihatnya. Ia yang awalnya ragu dengan apa yang dikatakan sang istri mendadak ingat hal itu. Pram mengerutkan kening. Mau tak mau, ia jadi penasaran dengan hubungan keduanya yang memang dekat sejak kecil. Jadi, apakah ia perlu mencemaskannya sama seperti sang istri? Ani ada di dalam ketika keduanya masuk. Sang mama sudah sadar, tapi masih belum bisa berbicara seperti sebelumnya. Wanita itu terbaring lemah di brankar dengan wajah pucat. “Mama.” Saskia berlari memeluk sang mama. Ia tak pernah melihat wanita tangguh itu jadi selemah ini. Sierra pucat dan tidak berdaya sama sekali. Namun, ia masih bisa mengusap punggung Saskia dengan lembut. “Mama enggak apa-apa,” katanya lirih. Sierra berpindah menatap Sehan. Pria itu menunduk dalam. Tanpa berani mendekati. Aah … Ya Tuhan, Sierra tak sampai hati jika memaksa pria itu menikahi gadis yang tidak ia cintai. Namun, dengan Saskia, apakah semua orang bisa menerimanya? “Sehan.” Pria itu kemudian mendongak. Sang mama memintanya mendekat demi bisa mengusap punggung tangan pria itu lembut. Sehan adalah anaknya. Bocah kecil pertama yang memanggilnya mama waktu dulu ia masih jadi baby sitternya. Sekarang, setelah semuanya dewasa, segalanya benar-benar berubah. Rasa cinta itu agung, lantas bagaimana jika pada waktu dan tempat yang salah. “Ma. Maafin Sehan,” bisik pria itu. Sierra hanya menggeleng. Ini bukan salah anaknya. Ia saja yang lemah. Begini saja ia langsung dirawat. “Bukan salahmu. Mama yang lemah, Sayang. Sebentar lagi juga mama akan sembuh,” ucap Sierra. Saat itu, Sehan.menoleh ke arah sang adik. Ketika Saskia mengangguk, pria itu mendekat dan mengambil tangan sang mama perlahan. “Sehan akan nikah sama Sinta,” katanya. Sierra terkesiap. Entah kenapa tiba-tiba sang anak berkata demikian. Bukankah tadi Sehan menolak keras pernikahan itu. Bahkan ia sampai membentaknya karena tidak setuju. Jadi, ini apa maksudnya? “Sehan, kenapa kamu–” “Sehan enggak mau liat Mama sakit begini,” katanya menyahut ucapan Sierra. Saat itu, air mata wanita itu luruh. Entah kenapa, hatinya mendadak sakit karena tiba-tiba sang putra merelakan keinginan terbesarnya demi dirinya. Tidak, pasti ada yang membuat Sehan berubah pikiran. Sementara itu, Ani merasa sangat lega usai mendengar ucapan sang cucu. Sehan adalah kesayangannya walaupun bukan darah dagingnya. Pria itu akan mewarisi perusahaan milik keluarga Atmaja dan mengembangkannya menjadi lebih besar lagi. Ya, Ani yakin hanya Sehan yang bisa melakukannya. *** Setelah Sierra sembuh, keluarga Atmaja akhirnya datang ke kediaman Sinta demi melangsungkan lamaran. Itu hanya selang sehari setelah Sierra pulang dari rumah sakit. Ani tak mau menunggu lama-lama karena takut Sehan akan berubah pikiran. Saat itu, Saskia juga ikut hadir. Saat hendak masuk ke rumah Sinta, Sehan menggenggam jemari sang adik yang berdiri di sampingnya erat. Saskia menoleh saat itu. Ia menunjukkan senyum demi membuat sang kakak tenang. “Aku enggak bisa, Kia,” bisik Sehan. “Bisa, Bang. Bisa. Demi Mama,” sahut Saskia. Sehan memejam. Sungguh, ia benci seperti ini. Namun, ia tak punya pilihan lain. Sinta tersenyum kecil ketika melihat calon suaminya masuk ke rumah. Ia puas sekali melihat pria yang telah menolaknya itu tetap tunduk dan akhirnya mau menikahinya. Terserah jika Sehan mengacuhkannya. Yang jelas, harta kekayaan Atmaja sudah ada di depan mata. Acara itu akhirnya dimulai. Setelah ramah tamah, acara selanjutnya adalah tukar cincin. Sehan dan Sinta mengikis jarak demi bisa melakukan sesi itu. “Sehan, ambil cincinnya,” kata Ani mengarahkan sang cucu. Sehan manut, ia mengambil cincin dalam kotak beludru merah dan menyematkannya di jadi manis Sinta. Sinta juga demikian. Ia juga memasang cincin perak di jari manis Sehan dengan penuh kebahagiaan. Semua orang bersorak. Namun, Sehan malah diam saja dan menatap Saskia dengan nyalang. Ya, Tuhan. Ia benci seperti ini. Setelah tukar cincin, semua keluarga menyantap hidangan yang disediakan. Sementara Sinta mengajak Sehan menyisih ke beranda demi bisa mengobrol dengan pria itu. “Akhirnya, hati pangeran Atmaja luluh juga. Aku seneng banget, Sehan. Akhirnya kamu mau menikah denganku,” kata Sinta. Sehan tersenyum getir. Wanita ini tak akan puas sebelum merebut hidupnya. Entah apakah itu cinta atau sekadar obsesi. Namun, Sehan sama sekali tak melihat ketulusan di dalam mata Sinta. Bahkan sedikit saja. “Enggak ada yang berubah selain status kita nanti. Aku tidak akan pernah bisa mencintaimu,” kata Sehan acuh. Sinta melindapkan senyum. Ia kesal sekali mendengar jawaban calon suaminya. Namun, terserah saja. Sinta tak akan ambil pusing dengan semua itu. “Enggak apa-apa. Aku akan tunggu waktu di mana kamu bisa membuka hatimu untukku,” sahut Sinta. Sehan membuang napasnya dengan kasar. Wanita itu benar-benar keras kepala. Entah apa motivasinya menjadi istri pria itu. Yang jelas, Sehan tidak akan pernah luluh sama sekali. Acara itu pun selesai. Keluarga Atmaja pamit pulang dan mereka akan bertemu pada akad dan resepsi pernikahan Sehan dan Sinta di hotel nanti. “Sehat-sehat, ya, Oma,” kata Sinta manja. “Tentu saja, Sayang. Siapkan diri kamu dengan baik. Sampai ketemu di acara pernikahanmu,” kata Ani pada Sinta. Sinta mengangguk manja. Sementara Sehan sama sekali tak tertarik untuk berbicara. Pria itu berlalu begitu saja hingga membuat kedua orang tua Sinta heran. “Sehan sama sekali tidak perhatian, Sayang. Apa kamu yakin akan tetap menikahi orang seperti itu?” tanya sang mama. “Tenang aja, Ma. Sinta enggak butuh perhatian Sehan. Yang Sinta butuh hanya uangnya,” ucap gadis itu sembari tertawa. Sang mama juga demikian. Mereka benar-benar berniat mengetuk harta Atmaja saja. *** Sesampainya di rumah, Saskia langsung berkemas. Beberapa waktu lalu, ia telah mendaftar di universitas lain di luar kota dan sudah diterima. Sore itu juga, ia akan berangkat dan melihat rumah kecil yang disewa sang papa untuk tempat tinggalnya nanti di sana. Saat itu, Sehan masuk ke kamarnya tanpa permisi. Pria itu menutup pintu dan langsung memeluk sang adik dari belakang. Dagunya ia letakkan di bahu gadis itu dan menghidu tengkuk Saskia perlahan. “Kenapa harus jauh sekali?” tanyanya. “Biar Abang bisa mulai belajar cinta sama Mbak Sinta.” “Aku enggak mau. Aku enggak bisa, Kia.” Saskia membalik badan. Tangannya yang putih menangkup pipi Sehan dengan lembut. “Bisa. Abang bisa,” katanya. Sehan masih menggeleng. Ia benar-benar tak mau seperti ini. Tidak bisa bersama Saskia saja sudah menyiksa. Apalagi berjauhan. Apa yang bisa Sehan lakukan? “Abang harus coba dulu,” kata Saskia kemudian. Sehan membuang napasnya dengan gusar, lalu mengangguk lemah. Setelah Saskia selesai berkemas, rencananya Sehan yang akan mengantar. Saat itu, ia membantu sang adik membawa koper ke mobil. Ketika Ani kemudian datang dan menegurnya. “Biar sopir aja yang antar Saskia,” katanya. “Sehan aja, Oma.” “Kamu itu calon pengantin. Enggak bisa pergi ke mana-mana begitu saja. Lagi pula, itu jauh Sehan. 3 jam dari sini. Pokoknya kamu enggak boleh pergi,” ucap Ani. “Tapi, Oma. Aku–” “Bang, Kia sama sopir aja. Abang pasti juga capek nanti. Enggak apa-apa,” kata gadis itu. Sehan membuang napasnya dengan gusar. Ia tak bisa lagi memaksa. Kehidupannya mulai terkekang dan ia benci seperti itu. Ketika hendak kembali ke kamar, Sehan melewati sang Oma yang kemudian menghentikan langkahnya. “Sehan, dengarkan Oma! Oma cuma mau kamu menikah dengan Sinta. Urusan belakangan itu bisa diatur. Oma mau kamu fokus dulu dengan pernikahan ini. Setelah itu, kamu bisa ketemu lagi sama Saskia,” jelas Ani. Sehan membuang napasnya dengan kasar, lalu menoleh pada sang Oma dan tersenyum. “Pegang kata-kata Oma,” katanya seraya berlalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD