“Kia, apa Sehan di dalam?”
Keduanya menghentikan kegiatan mereka dan menoleh ke arah pintu. Sehan langsung bangkit dari rebah dan meminta Saskia tidak bersuara.
“Kia, kamu di dalam, kan?”
Ani kembali berteriak. Saat itu, Sehan langsung memutar otak. Ia mendekati sang adik yang duduk di tepi ranjang dan mengusap pipi Saskia lembut.
“Jangan nangis lagi, ya. Aku akan keluar dari balkon saja,” kata pria itu.
Saskia mengangguk. Sebelum pergi, Sehan menyematkan kecupan di kening Saskia lembut. Lantas, buru-buru berlalu menuju ke balkon. Sementara gadis itu masih digeluti euforia. Sang kakak benar-benar memberikan apa yang ia mau. Dan itu sudah cukup.
“Kia,” panggil Ani lagi.
Saat itu, Saskia langsung tersadar. Gegas ia bangkit dan membuka pintu.
“Ya, Oma.”
“Kamu tidur?” tanya Ani.
“Iya.”
“Oh, ya, sudah. Oma pikir kakakmu ada di sini. Masak dia ninggalin Sinta sendirian di ruang tamu,” kata Ani yang kemudian berlalu sambil mengomel.
Sementara Saskia terus tersenyum seraya menutup pintunya. Gadis itu berdiri di belakang pintu dan menyandarkan tubuhnya di sana. Saat ia memejam, bayangan kejadian tadi terasa di pelupuk mata. Aah … ia tidak bisa melupakannya.
Sementara itu, Sehan yang melompat dari balkon kamar Saskia ke kamarnya langsung membuang tubuhnya ke ranjang. Lengan kanannya ia gunakan menutup mata demi mengurangi denyar yang masih terasa akibat ulah sang adik. Sial, ia tak bisa melupakannya begitu saja. Bagaimana Saskia memulainya hingga ia jadi terlena dan berniat mengulanginya.
“Kenapa tadi Kia nanya begitu, ya? Apa dia tau kalau aku ini bukan kakaknya?” bisik Sehan kemudian.
Pria itu membuka mata dan menatap langit-langit ruangan dengan nanar. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Saskia ketika tahu ia bukan kakak kandungnya. Apakah ia akan marah atau sebaliknya? Atau Saskia malah makin gila. Aah … Sehan paling suka rasa Cherry dari bibir sang adik. Apakah ia mulai tidak waras?
“Sehan!”
Panggilan sang Oma membuat pria itu terkesiap. Ia bangkit dari rebah dan langsung menemui tetua rumah itu yang berdiri di ambang pintu.
“Oma.”
“Kenapa kamu tinggalin Sinta sendirian?” tanya Ani.
“Maaf, Oma. Sehan kebelet tadi,” kata pria itu.
“Sudah Oma duga. Kamu itu kebiasaan. Lusa, kita akan ketemu sama keluarganya Sinta. Kamu siap-siap, ya,” kata Ani.
“Mau apa lagi Oma? Bukannya udah jelas semuanya, hah?” ucap Sehan.
Ani tersenyum kecil. Ya, semuanya sudah jelas. Sinta sudah bilang jika Sehan tidak sabar untuk menikah. Jadi, ia akan mempercepat semuanya.
“Ya, Oma tau. Jadi, kamu maunya langsung aja?” tanya Ani.
“Langsung apa?”
Sehan bertanya balik karena tidak paham dengan apa yang Ani katakan. Bukankah Sinta sudah bilang jika ia menolak perjodohan ini? Apa jangan-jangan ….
“Langsung nikah. Sinta bilang begitu tadi,” jawab Ani.
“Apa? Enggak Oma. Aku enggak mau nikah sama dia,” ucap Sehan.
“Hmm … Sinta bilang kamu akan bilang begitu, karena kamu masih malu. Sudahlah, jangan pikirkan apa pun. Biar Oma yang atur semuanya.”
“Tapi, Oma. Aku enggak mau nikah,” kata Sehan.
Saat itu, Ani sama sekali tak mendengar ucapan pria itu. Sehan langsung meradang. Sinta benar-benar membuatnya kesal. Wanita itu sengaja memutar fakta agar pernikahan tetap berlangsung. Sebenarnya apa yang gadis itu inginkan?
“b*****t!”
Sehan mengumpat kasar. Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan. Ia harus menemui Sinta demi membuat gadis itu jera dan mundur. Namun, bagaimana? Pria itu lantas masuk dan mengambil ponselnya. Ia mencari tahu di mana kantor gadis itu. Jadi, ia bisa menemuinya nanti untuk menegaskan bahwa ia tidak mau menikah dengannya.
Setelah mendapatkan alamatnya, Sehan bergegas pergi. Ia berharap bisa menemui Sinta dan menjelaskan semuanya dengan gamblang. Setidaknya, jika gadis itu yang bilang, sang Oma akan menurutinya. Dan, ya. Sinta rupanya berhenti di depan kantornya. Gadis itu mengambil ponsel dan hendak masuk ketika mobil Sehan menepi di halaman gedung itu. Ketika Sehan keluar, Sinta tersenyum semringah. Akhirnya, pria itu mengejarnya.
Sehan langsung mendekati Sinta yang menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil. Dengan wajah datar, pria itu langsung mengatakan apa yang ia inginkan.
“Batalkan perjodohan ini. Aku bilang, aku enggak mau nikah sama kamu,” kata Sehan.
“Bilang aja sendiri sama Oma,” kata Sinta.
“Kalau kamu masih nekat, aku jamin kamu tidak akan pernah bahagia,” ucap Sehan kemudian.
Ia hendak berlalu, tapi Sinta menahannya dengan melempar tanya.
“Kenapa, Han? Kenapa kamu sama sekali enggak melihatku? Apa kamu punya pacar?” tanya Sinta kemudian.
Sehan menghentikan langkah. Pria itu menoleh, lalu menjawab pertanyaan gadis itu.
“Itu bukan urusan kamu. Yang jelas, aku tidak bisa membangun rumah tangga bersama kamu. Cari saja pria lain yang bisa mencintai kamu,” kata Sehan yang kemudian masuk ke mobil.
Pria itu mengendarai mobilnya meninggalkan tempat itu dan Sinta yang begitu kecewa. Namun, gadis itu malah tersenyum kecil. Ia bersedekap lalu bergumam lirih. Itu hanya ancaman Sehan dan ia tidak gentar karena yang ia inginkan bukan cintanya..
“Aku hanya butuh harta kamu, Han. Dengan itu aku bisa membangun bahagiaku sendiri,” ucapnya.
Ya, hanya karena harta, Sinta tidak peduli dengan penolakan Sehan. Oma Ani berjanji akan memberikan mahar yang banyak ketika mereka menikah nanti. Fasilitas juga semua hal yang Sinta butuhkan tanpa perlu bekerja keras.
Sehan mengemudikan kendaraannya kembali ke kediaman Atmaja. Ia harus menemui sang papa demi meminta dukungan. Ya, ia masih belum mau menikah dan hanya pria itu yang bisa membantunya.
Sesampainya di rumah, Sehan segera menemui sang papa yang ada di kamarnya bersama mamanya. Sehan mengetuk pintu dan Sierra membukanya dari dalam.
“Ada apa, Han?” tanya sang mama.
“Papa mana, Ma?”
“Itu di dalam.”
Pram mendongak ketika namanya disebut. Sang mama lantas mempersilakan Sehan masuk. Saat itu, Sehan langsung menemui Pram yang duduk di belakang meja kerjanya.
“Ada apa, Han?” tanya Pram.
“Pa, bilang sama Oma. Sehan enggak mau nikah sama Sinta,” kata pria itu.
“Tapi kenapa? Sinta anak yang baik. Dia juga pekerja keras. Atau kamu punya calon lain?” ucap Pram.
Sehan tak langsung menjawab. Sejujurnya, ya. Ia menyukai gadis lain dan itu adalah sang adik. Namun, apakah ia harus mengatakan soal hal itu. Kedua orang tuanya akan sangat terkejut mendengarnya. Jadi, ia membuat jawaban lain.
“Sehan masih belum pengen nikah, Pa,” katanya.
Pram membuang napasnya dengan kasar, lalu bangkit dan menepuk bahu sang putra pelan. Pria itu tersenyum pada Sehan yang selama ini selalu manut dan tidak neko-neko. Jadi, ia akan berjanji membantu walaupun tetap saja, semua keputusan ada di tangan sang Oma.
“Papa akan coba bicara sama Oma. Tapi Papa enggak bisa janji. Kamu tau sendiri, kan, gimana Oma. Keputusannya harus selalu diterima,” kata Pram.
“Tolong usahain, Pa. Sehan benar-benar enggak bisa nikah sama Sinta. Sekarang atau pun nanti,” ucap pria itu.
“Iya, tapi Papa harap kamu bisa terima jika nanti Oma memutuskannya.”
Sehan membuang napasnya dengan gusar. Andai Opanya masih ada, pasti Omanya tidak akan seenaknya. Jadi, bagaimana jika Omanya tetap keukeuh?
“Sehan balik ke kamar dulu, Pa.”
Pria itu kemudian pamit untuk kembali ke kamar, sedangkan Sierra yang mendengar semua itu sejak tadi hanya bisa diam. Ia takut jika alasan Sehan menolak Sinta adalah karena Saskia. Ya Tuhan, bagaimana jika benar?
Setelah keluar dari kamar kedua orang tuanya, Sehan memilih berbelok ke kamar sang adik. Ketika ia membuka pintu, Saskia tampak sedang duduk di depan meja rias. Ia terkesiap ketika sang kakak datang dengan wajah suram. Apakah ada yang terjadi.
“Ada apa, Bang?” tanya Saskia.
Sehan tak berniat menjawab, tapi malah langsung menarik Saskia dalam dekapan. Kepalanya menunduk demi menghidu aroma tubuh sang adik perlahan. Aah … ia benci karena tidak bisa mengatakan pada Saskia jika ia bukan kakak kandungnya. Namun, ia ingin sekali memiliki gadis itu. Lantas, bagaimana ini?
Saat itu, Saskia tersenyum kecil. Ia mendorong tubuh Sehan hingga dekapannya terlepas dan pria itu terjatuh ke ranjang. Sehan masih terkesiap ketika kemudian Saskia naik ke atas tubuhnya.
“Kia–”
“Ssstts ….”
Saskia tak mengatakan apa pun. Namun, langsung merebah di d**a Sehan.
“Abang cemas soal apa?” tanya Saskia.
Sehan tak menjawab. Ia mencoba menenangkan dirinya dan mengusap ubun-ubun sang adik lembut.
“Kalau aku tetep nikah sama Sinta, bagaimana?” tanya Sehan kemudian.
Saskia langsung bangkit. Ia menatap wajah Sehan yang tampak kuyu. Entah kenapa Sehan berkata demikian. Apakah ini hanya guyonan?
“Bang–”
Sehan ikut bangkit dan kembali memeluk Saskia erat.
“Aku maunya kamu, Kia. Bukan yang lain,” kata Sehan kemudian.
Saat itu, seseorang yang berdiri di depan pintu kamar Saskia tergemap. Apakah mereka benar-benar sudah sejauh ini? Sierra berlalu sambil menangis.