Bab 35. Harimau

1752 Words
Bab 35. Harimau Terhitung sudah tiga jam lebih mereka berjalan, namun sampai sekarang mereka belum juga keluar dari hutan pohon talas raksasa itu. Bi Narti yang usianya paling tua di antara mereka sudah berulang kali meminta waktu untuk beristirahat. Ryan mengira penduduk Bumi dan Negeri Zalaraya berbeda, tapi ternyata sama saja. Orang-orang tua di sini juga mengeluhkan tulang mereka. Karena sudah dua tiga jam lebih berjalan tanpa henti, Adi memutuskan untuk beristiharat. Mereka semua langsung mendudukkan tubuh mereka di tanah tanpa alas sama sekali. Sudah tidak lagi terpikirkan hal demikian. Bisa duduk seperti itu adalah sebuah nikmat yang bisa dirasakan. Ryan mendengar sesuatu. Dia langsung membenarkan posisi duduknya, menajamkan pendengaran. Tidak terdengar lagi. Yang Ryan dengar hanya percakapan mereka yang bersamanya. Tak lama Ryan mendengar suara lagi. Suara itu kini semakin dekat, seperti mengarah ke tempat mereka. Karena suaranya sudah mengeras, yang lainnya bisa mendengar. Semua sudah berdiri sekarang. Bayu dan Farhan sudah memasang kuda-kuda mereka bersiap dengan segala kemungkinan. Bi Narti dan Ani saling mendekat. Adi berdiri siaga di depan mereka. Ryan menatap awas ke arah depan. Suara itu berasal dari sana. Keadaan jadi menegangkan. Sepanjang mata memandang ke depan, mereka hanya melihat batang pohon talas. Sudah lima menit, namun sosok yang menimbulkan suara tidak juga menampakkan diri. Dua detik kemudian seekor harimau berwarna hitam melompat ke arah mereka. Dengan sigap Ryan menghentakkan kakinya ke tanah. Muncul tangan tanah, menangkap harimau itu. Harimau tersebut pun mengaum. Adi menatap harimau itu lamat-lamat. Dia seperti mengenal hewan itu. “Lepaskan, Ryan.” Ryan menoleh ke arah pamannya tidak mengerti. “Paman tahu harimau itu.” Ryan menghentakkan kakinya ke tanah. Tangan tanah masuk kembali ke dalam tanah. Harimau itu tergeletak lemah, karena tangan tanah tadi cukup kuat mencengkram tubuhnya. Adi mendekati harimau itu perlahan. Adi menyentuh kepala harimau itu. Seketika harimau itu memejamkan matanya. Adi tersenyum. Benar. Harimau itu adalah harimau yang pernah menolongnya. Adi menyuruh Ani untuk mengembalikan staminanya. Awalnya Ani menolak, namun Adi berjanji akan menceritakan sebuah kisah kepada mereka setelah harimau itu pulih. Ani setuju. Ani meletakkan tangannya di tubuh harimau itu takut-takut. Adi mengangguk, meyakinkan Ani sekali lagi. Tangan Ani menyala. Yang tadinya napas harimau itu tidak teratur, perlahan mulai teratur. Tidak butuh waktu lama, harimau itu pun langsung berdiri. Ani keburu lari duluan karena takut. Adi terkekeh. Harimau itu langsung menyundul-nyundulkan kepalanya ke kaki Adi. Layaknya kucing yang sedang bermanja dengan tuannya, seperti itulah tingkah harimau tersebut. Adi menyejejarkan tubuhnya dengan harimau itu. Dia mengelus kepalanya. Ia menggereng seperti kucing. “Kenapa harimau itu jinak, Paman?” tanya Ryan. “Ini adalah harimau yang menolong paman dua puluh tahun yang lalu. Saat itu paman sedang mendapat tugas untuk membawa pasukan, memeriksa hutan. Tiba-tiba ada ular cobra yang hampir menggigit paman. Beruntung ada harimau ini, ia langsung mencakar ular tersebut menjadi dua. Ternyata saat itu harimau ini sedang lapar. Ia menolong Paman untuk diberi imbalan makanan.” Ryan mengangguk paham. Pantas saja harimau itu jinak, ternyata ia sudah menemukan tuannya lagi. Tapi masih ada yang ganjil. Bagaimana harimau itu bisa berwarna hitam. Di Bumi harimau berwarna oranye dipadukan loreng-loreng hitam, bukan? Tapi di negeri ini harimau justru berwarna hitam, bukan Sebagian, keseluruhan tubuhnya berwarna hitam legam. Ukurannya juga lebih besar daripada harimau di bumi. Taring, cakar, dan gagahnya harimau itu masih sama dengan harimau bumi, bahkan dua kali lipat. Harimau itu terus meringkuk di pangkuan Adi. Benar-benar laksana kucing manja. Adi terus mengelus kepala, leher, dan punggungnya. Beberapa meter dari Adi, Ani masih menatap ngeri harimau itu. Farhan dan Bayu duduk di samping Adi. Mereka berdua memandang ke atas. Masih sama, tidak ada apa pun melainkan daun talas lebar. “Silakan luruskan kakimu, Bi Narti. Kita istirahat sejenak di sini.” Tanpa disuruh dua kali, Bi Narti langsung meluruskan kakinya. Dari tadi dia memang sudah duduk, tapi belum menyelonjorkan kaki karena dia mengira itu tadi waktu reuni Adi dan harimaunya. Tidak ada petunjuk jam. Ryan melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Ryan baru tahu kalau benda itu sudah tidak berfungsi sejak tadi. Jarum detiknya tidak bergerak. Jarum panjang mengarah ke angka tiga dan jarum pendek mengarah ke angka 4. “Sebentar lagi malam. Kita harus mencari kayu bakar untuk menghangatkan tubuh.” Ryan menoleh. Pamannya barusan mengatakan sebentar lagi malam akan tiba. Bagaimana cara pamannya itu bisa tahu. Kalau dibilang berpatokan pada matahari, bola bersinar itu tidak terlihat sama sekali. Permukaan benar-benar tertutup oleh daun talas yang lebar. “Lihat.” Adi menunjuk ke depan. “Tanah di depan sana mulai redup, itu arah barat, Ryan. Artinya matahari sebentar lagi akan tenggelam. Tanah di barat sanalah yang pertama kali menerima cahaya senja oranye sehingga warnanya sedikit berbeda dengan tanah yang kita duduki saat ini. Ryan menatap lurus ke depan. Dias ama sekali tidak melihat perbedaan yang Adi sebutkan. Dia melihat kedua warna tanah di depan maupun yang dia duduki saat ini sama saja. Sama-sama berwarna abu-abu gelap. Adi terkekeh. Ryan mengerti. Mungkin karena dia baru pertama kali pergi ke negeri ini jadi dia kesulitan untuk melihat perbedaan sedikit pun. Adi berdiri, menepuk-nepuk pantatnya membersihkan noda tanah. “Ayo, Farhan, Bayu, kita mencari kayu bakar.” Mendengar namanya tidak disebut, Ryan berdiri. “Aku?” “Kamu tetap di sini saja Ryan, menjaga Bi Narti dan Ani.” Ryan mengangguk. Pamannya benar. Kalau semua laki-laki pergi mencari kayu bakar, siapa pula yang menjaga Bi Narti dan bibinya? Mereka bertiga pergi, berjalan ke depan, ke arah matahari tenggelam. Ryan kembali duduk, kali ini dia bergabung dengan Bi Narti dan Ani. Jangan lupakan harimau tadi. Adi melarangnya untuk ikut. Adi justru memerintahkan harimau itu tetap duduk manis di tempat, guna menjaga mereka bertiga. Ani masih menatap ngeri harimau itu. Lima belas menit berlalu begitu saja. Ryan masih memperhatikan sekelilingnya. Dia belum percaya kalau sekarang dirinya itu benar-benar berada di negeri kelahirannya, Negeri Zalaraya. Sepanjang mata memandang, lagi-lagi pohon talas raksasa yang dia lihat. Tapi tunggu. Bukankah pamannya tadi pergi bersama Farhan dan Bayu untuk mencari kayu bakar? Kayu bakar seperti apa yang dimaksud pamannya? Jika kayu bakar seperti yang ada di bumi, mau cari di mana? Bukankah hutan ini adalah hutan pohon talas? “Bagaimana perasaanmu setelah sampai ke negeri kelahiranmu, Ryan?” tanya Bi Narti. Ryan menoleh. “Entahlah, Bi. Aku masih belum bisa percaya kalau aku memang keturunan negeri ini.” “Itu pasti, Ryan,” sahut Ani. “Kamu pasti butuh waktu untuk terbiasa. Apalagi melihat hutan pohon talas raksasa ini. Di bumi tidak akan dijumpai pohon talas seperti ini.” Ryan mengangguk. Ani benar. Di Bumi rekor terbesar tinggi pohon talas hanya mencapai tinggi tiga meter saja. Tapi di sini, tinggi pohon talas mencapai sepuluh meter. Batangnya saja sama besarnya dengan ukuran tubuh Ryan. Daun-daunnya yang lebar mungkin melebihi atap kamarnya. Apakah di negeri zalaraya ini mereka memakan? “Tidak semua, Ryan.” Bi Narti tersenyum. “Bukankah di Bumi juga begitu? Tidak semua talas bisa dimakan. Di sini juga begitu. Hanya talas ratu yang bisa dikonsumsi, dan itu tidak akan kita temukan di sini. Seperti yang pamanmu katakan, tanaman talas ini hanya sebagai tempat berteduh bagi hewan-hewan hutan dan juga menyerap air untuk mencegah banjir.” Ryan mengangguk paham. Sudah satu jam berlalu. Adi dan rombongan belum kembali dari mencari kayu bakar. Harimau masih setia di posisinya. Binatang itu benar-benar patuh terhadap perintah Adi. Sekarang kucing raksasa itu tengah menjilati lengan dan tubuhnya. “Ke mana pamanmu dan rombongan, ya? Kenapa belum kembali juga?” Bi Narti menyentuh pundak Ani. “Tenang saja. Aku yakin sekarang Adi pasti tengah tersesat, makanya belum sampai. Sudah lama bukan dia tidak kemari? Dua puluh tahun lalu, itu cukup untuk membuatnya tersesat baru menemukan jalan pulang.” Tak beberapa lama, Adi, Farhan, dan Bayu muncul. Mereka membopong buntalan kayu berukuran pergelangan tangan orang dewasa. Masing-masing memikul kurang lebih sepuluh sampai lima belas kayu di pundak mereka. Ryan menghampiri, membantu menurunkan kayu dari pundak Adi, Farhan, dan Bayu. Ryan tidak mengerti. Bagaimana bisa ada kayu kering di hutan pohon talas. Ryan mengambil satu batang, memperhatikan. Kayu itu mirip dengan tumbuhan pohon-pohon yang biasa tumbuh di hutan yang ada di bumi. Bagaimana bisa? “Tunda dulu pertanyaanmu, Ryan. Sekarang bantu paman membangun tenda dan menyalakan api. Kita juga harus mencari makanan untuk malam ini. Ryan segera membantu yang lainnya menancamkan kayu-kayu ke dalam tanah. Ryan baru menyadari ternyata kayu yang dipanggul Adi lebih panjang daripada kayu yang Farhan dan Bayu bawa. Kayu yang panjangnya dua meter mereka tancapkan ke dalam tanah, memasang jarak dua meter dari masing-masing sisi, membentuk segi empat. Selesai satu. Mereka mengerjakan satu lagi. Adi mengambang di atas, memotong daun talas, mengambil beberapa untuk dijadikan atap dan dinding. Adi bilang malam nanti suhu akan melonjak naik, jadi mereka harus membuat tenda ala-ala agar tidak kedinginan. Meskipun Adi sudah memotong beberapa daun, tetap saja langit belum bisa dinikmati. Entah berapa lapis daun di atas sana. Adi dibantu Bayu memasang atap dan dinding daun talas. Dua tenda daun talas sudah selesai didirikan. Farhan juga sudah menyalakan api unggun. Adi menepuk dahinya. Bagaimana bisa dia lupa kalau ada satu lagi tanggung jawabnya. Harimau hitam itu. Bayu mengatakan kalau harimau itu tidak membutuhkan tenda seperti mereka. Namun, Adi menolak. Adi bilang kalau harimau itu butuh, karena dia juga bisa mengatakan dingin. Tidak heran. Adi seorang pecinta binatang, tentu dia akan peduli dengan harimau yang sekarang bisa dikatakan peliharaannya. Bayu dibantu Ryan membuat satu tiang tenda lagi. Adi memotong daun talas. Setelah semua daun dirasa cukup, Ryan membantu Adi melengketkan daun di tiang tenda. Selesai. Adi memanggil harimaunya, menyuruh binatang buas itu untuk masuk ke dalam. “Lalu apa yang akan kita santap malam ini? Tanya Bi Narti. Dia sudah duduk di depan tenda. “Entahlah.” Adi mengangkat bahu. Memang dia tadi yang mengatakan kalau sehabis membangun tenda, agenda selanjutnya adalah mencari makanan. Namun sampai pekerjaan itu selesai, Adi belum juga tahu menu apa yang akan mereka santap. “Talas ini jelas tidak bisa dikonsumsi, bukan?” tanya Farhan. Ryan mengangguk. Dia sudah tahu itu dari Bi Narti tadi. Sekarang dia menatap pamannya, menunggu. Adi menghela napas. “Apakah kalian semua lapar berat sekarang?” Ryan menggeleng. Disusul Farhan dan Bayu. Ryan masih bisa menahan sampai esok hari. “Tidak ada yang bisa kita makan di sini. Tidak ada apa pun.” “Ya sudah, kalau begitu kita beristirahat saja. Udara juga sudah berubah dingin.” Ani dan Bi Narti masuk ke dalam tenda. Bi Narti menurunkan daun talas yang berfungsi sebagai pintu. Adi menyuruh Ryan, Farhan, dan Bayu masuk lebih dulu. Dia ingin menutupkan daun talas tenda harimaunya terlebih dahulu. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD