Bab 36. Pisang

1528 Words
Entah pukul berapa saat ini, Ryan tidak tahu. Dia membuka matanya, beranjak duduk. Ryan melirik ke sebelah kanan. Farhan dan Bayu terlihat nyenyak tidur mereka. Dalam posisi telentang, keduanya menderukan napas teratur. Di sebelah kiri, Adi sedang tidur merentangkan kedua tangannya, dijadikan bantal. Pamannya itu juga menderukan napas teratur. Beberapa jam berjalan sepertinya membuat mereka kelelahan. Ryan membunyikan ruas tulang belakangnya. Terdengar renyah bunyi yang dihasilkan. Entah berapa jam dia sudah tidur, tiba-tiba terbangun, perutnya bergetar—kelaparan. Ryan berdiri, menyibak pintu atau lebih tepatnya tirai yang terbuat dari daun talas. Dia menatap sekitar. Ini jelas masih malam. Meskipun dia tidak bisa melihat ke atas, menatap langit yang biasanya dipenuhi bintang-gemintang, tapi Ryan segera tahu kalau itu masih malam. Terlihat jelas. Jarak pandangnya terkikis sangat banyak. Dia sama sekali tidak bisa melihat ke depan, menilik ada apa di sana. Gelap gulita. Ryan berjalan beberapa langkah. Perutnya kembali berbunyi. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Ryan jelas tidak mengenali hutan daun talas ini. Bahkan tadi sebelum tidur pamannya itu sempat bilang bahwa alasan mereka terlambat karena Adi salah memilih belokan. Dua puluh tahun, ditambahkan 17 tahun berada di Bumi membuat Adi lupa tata letak hutan daun talas—tempat mereka berada sekarang. Lantas bagaimana pula dengan dirinya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di negeri kelahirannya? Baiklah. Tidak ada jalan lain, sepertinya Ryan memang harus menahan laparnya hingga esok hari—kembali tidur. Baru membalik badan, dia mendengar suara tirai daun talas tersibak. Ryan kembali menoleh. Harimua hitam keluar dari tenda, menjilat kakinya. “Apakah Pangeran lapar?” Ryan termangu. Dia tidak bergerak barang seinchi pun. Suara siapa barusan? Ryan tidak pernah mendengar suara itu. Suaranya terdengar serak basah, berwibawa, dan juga penuh karisma. “Ini aku, Pangeran, harimau hitam” Ryan balik badan. Dia mundur beberapa langkah—kaget. Harimau hitam hanya berjarak satu meter darinya sekarang. Harimau itu menatap intens Ryan. “Kenapa…?” Ryan terbata-bata. “Namaku Narunta, Pangeran. Aku seorang pemburu yang dikutuk oleh Penyihir Hyunfi.” Ryan belum merespon. Dia masih mencoba mencerna kalimat ‘Narunta’ barusan. Dia seorang pemburu? Disihir oleh Penyihir Hyunfi? “Benar, Pangeran. Panjang ceritanya. Aku akan menceritakannya nanti. Apakah Pangeran lapar?” Rasa terkejut Ryan berangsur hilang. Jelas dia kaget mengetahui kalau harimau hitam itu bisa berbicara. Ryan mengangguk. “Kalau begitu, mari ikuti aku. Kita akan mencari makanan.” Harimau hitam itu memimpin jalan. Semakin berjalan ke dalam, Ryan semakin tidak bisa melihat apa pun. Kini dia senantiasa memegangi ekor harimau hitam itu. Bahkan harimau hitam itu pun sudah tidak lagi terlihat. Gelap gulita. Ryan hanya bisa mengetahui posisi kepala harimau itu jika binatang tersebut menoleh—terlihat bola matanya yang berpendar-pendar. Setengah jam berlalu. Mereka berdua terus membelas hutan daun talas. Ryan tidak banyak bertanya. Entahlah. Dia biasanya selalu waspada atau pun menjaga jarak dari siapa pun yang baru dikenalknya. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, Ryan merasa aman berada dekat seseorang yang mengaku sebagai ‘pemburu’. Setengah jam lagi berlalu. Harimau itu berhenti, Ryan menendang pelan kaki belakang harimau hitam—tidak tahu kalau harimau itu berhenti. “Kenapa berhenti?” tanya Ryan. Lagi-lagi dia mencoba menatap sekitar—berniat memeriksa. Sia-sia. Belum ada tanda-tanda pagi datang. Sekeliling masih gelap. Harimau itu mengaum. Aumannya menggetarkan dedaunan talas. Ryan bergidik. Mendengar auman itu membuat bulu kuduknya berdiri. Belum pernah Ryan mendengar auman harimau sebegitu kencangnya. Kalau diadu, mungkin harimau bumi akan mundur lebih dulu sebelum berhadapan dengan harimau hitam yang sekarang ada bersamanya. Terdengar suara kerihan. Apa tidak salah? Ada monyet juga di hutan daun talas ini? Di ujung sana, puluhan meter di depan terlihat rombongan cahaya datang ke arah mereka. Awalnya terlihat kecil, seperti gerombolan kunang-kunang. Tiga menit, berubah. Tidak lagi seperti kunang-kunang, melainkan mirip lightsaber, namun yang itu berubah bentuk, elastis. Lima meter. Ryan bisa melihat rombongan apa yang mendekatinya. Itu segerombolan monyet dengan ekot menyala. Ukurannya tidak berbeda dari monyet pada umunya. Bulu, wajah, tidak ada yang berbeda. Hanya saja ekor mereka menyala. Ryan mengucek matanya, memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Harimau itu mengeram, seperti berbicara dengan monyet-monyet itu. Hampir lima puluh ekor, bergelantungan di batang pohon talas. Mereka semua menatap takzim ke arah Ryan. Separuh dari mereka balik badan, pergi entah ke mana. Separuh lagi turun, mendekati Ryan. “Jangan takut, Pangeran. Mereka hanya ingin menyapa.” Tidak semudah itu. Ryan tentu butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Di Bumi biasanya monyet yang hidup di hutan tidak sejinak monyet yang hidup di kebun binatang. Monyet yang hidup bebas di hutan umunya ganas dan suka menyerang. Satu dua monyet menarik-narik celana dan tangan Ryan. Yang mulanya Ryan mencoba menghindar, kini menikmati permainan. Dia sekarang duduk, bergantian mengelus kepala monyet yang duduk di sekitanya. Satu-dua monyet naik di pundak Ryan, tangan monyet itu menari-nari, mengacak rambut Ryan. “Tapi dari mana monyet-monyet ini berasal?” tanya Ryan—masih menikmati bermain bersama puluhan monyet. “Mereka hewan asli penghuni hutan ini, Pangeran. Inilah habitat mereka.” Jika hutan pohon talas ini habibat mereka, lantas kenapa dari tadi—sejak mereka jatuh ke hutan ini, tidak ada satu monyet pun terlihat? “Karena mereka bersembunyi, tidak berani menampakkan diri.” Ryan mengangguk paham. Sekarang sekitarnya tak lagi gelap seperti tadi. Kini jarak pandang Ryan pun semakin bertambah. Dia bisa menatap sepuluh meter ke depan. Cahaya dari ekor monyet itu membuat suasana jadi hangat. Terlihat lucu sebenarnya. Monyet ini mirip seperti kunang-kunang. Ekor dua binatang itu menyala. Di Bumi, saat kecil dulu setiap kali Ryan melihat kunang-kunang dia pasti menangkap dan memasukkan hewan kecil itu ke dalam toples kaca. Indah menatap hewan itu. Tapi monyet itu tidak akan muat dimasukkan ke dalam toples kaca. Setengah jam berlalu. Kembali terlihat rombongan monyet dari kejauhan. Mereka membawa satu tandan pisang. “Berikan kepada Pangeran.” Tiga monyet turun, memberikan satu tandan pisang, berisi kurang lebih 10 sisir ke depan Ryan. “Silakan dinikmati Pangeran.” Ryan menatap pisang itu lamat-lamat. Dari mana pula asalnya pisang ini? Dia sedang berada di hutan pohon talas bukan? Atau jangan-jangan pohon talas ini berbuah pisang? “Monyet-monyet ini menanam pohon pisang di bawah tanah, Pangeran.” Ryan memetik satu, mencicipinya. Rasanya mirip pisang di Bumi. “Entahlah. Aku sendiri pun sebenarnya tidak tahu bagaimana bisa monyet-monyet ini menanam pohon pisang di bawah tanah.” Itu tidak susah untuk dipahami. Monyet sendiri adalah hewan primata yang cerdas. Minimnya makanan pasti membuat mereka menemukan inovasi-inovasi baru guna mendapatkan makanan yang lebih. Ryan sudah selesai memakan satu pisang. Dia tersenyum menatap monyet-monyet di sekitarnya dan juga yang masih bergelantungan di pohon talas. “Perintahkan mereka untuk berbarik, harimau.” “Baik, Pangeran.” Setelah mendengar geraman harimau—hanya para monyet itu yang paham. Monyet-monyet berbaris rapi memanjang. Ryan memetik, memberi masing-masing dua untuk satu monyet. Mereka merikih senang menerima pemberian Ryan. Makan bersama berlangsung. Semua monyet sudah mendapat jatah masing-masing. Hanya harimau hitam itu yang tidak makan. Ryan kira harimau di negeri ini tidak suka makan daging, ternyata sama, makanan mereka masih daging. Ryan tertawa. Lima belas menit berlalu. “Sepertinya kau harus kembali ke tenda, Pangeran. Sebentar lagi matahari terbit, mereka akan kalang kabut melihatmu tidak ada di tenda.” Ryan mengangguk, berdiri. Monyet-monyet kembali bergelantungan, kembali ke rumah mereka. Tiba di tenda, Ryan tidak tidur. Rasa mengantuknya sudah hilang. Saat Ryan meminta harimau itu untuk bercerita, harimau menolak. Dia mengatakan akan menunggu waktu yang tepat. Ryan tidak bisa memaksa, meskipun dia sangat berharap bisa mendengar kisah itu. Jelas Ryan butuh informasi, kisah-kisah dari para penduduk negeri yang akan dia pimpin, bukan? Ibarat sedang berada di sekolah, Ryan butuh banya sekali informasi dan pelajaran agar dia bisa naik kelas. Begitu juga sekarang. Tentu dia harus memantaskan diri agar dirinya layak untuk merebut tahta—menjadi raja selanjutnya. Bi Narti, Ani, Adi, Farhan, dan Bayu sudah bangun. Mereka semua sudah keluar dari tenda masing-masing. Bayu dan Farhan masih menyipitkan mata. Sepertinya Adi memaksa mereka bangun. Walau pun memiliki kekuatan, jelas stamina mereka berdua masih kalah jauh dari Adi. Bi Narti dan Ani, wajah mereka segar. Tidak terlihat sedikit pun aura kelelahan di sana. Baiklah, perjalan harus dilanjutkan. 40 menit berjalan, terdengar suara perut keroncongan. Tanpa diberitahu, mereka semua menoleh ke arah Farhan—menatap sambil tertawa. Tentu saja Farhan lapar. Terakhir kali perutnya diisi kemarin, sebelum tiba di negeri zalaraya. Sekarang pasti dia tengah keroncongan. Ryan menatap harimau hitam, mengangguk. Dia teringat pesan harimau tadi malam agar jangan lupa menyisihkan bagian untuk rombongan. “Kita berjalan sebentar lagi, makanan sudah menunggu di sana.” “Makanan?” Farhan yang pertama kali berseru riang. “Benar.” Ryan mematri langkah. “Ayo, kita harus segera sampai di sana untuk sarapan." Mereka semua ragu dengan Ryan. Tidak ada yang tahu kalau Ryan dan harimau itu pergi tadi malam, bertemu dengan monyet ekot menyala. Dua puluh menit. Harimau mengorek tanah, tempat Ryan menyimpan pisang yang sudah disisihkan malam tadi. Semua menatap tidak percaya. Bagaimana bisa ada pisang di sini? Ryan hanya terkekeh melihat wajah termangu mereka semua. Tanpa menjelaskan, Ryan membagi pisang sama rata. Ryan mengatakan agar melupakan dari mana pisang itu berasal. Silakan dinikmati terlebih dahulu. Mereka harus bergegas sampai di rumah Grenta—mengetahui, untuk segera membahas apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Bersambung...

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD