Mikha menghembuskan nafas pasrah, “Ayah dan Ibu sudah terlanjur mengenalkanmu ke semua keluarga sebagai pacarku.”
Raya mundur lalu mengangguk, “Lalu apa masalahnya?”
“Masalahnya adalah kalau kamu tidak muncul tadi, maka Ayah dan Ibu akan dianggap pengarang dan pembohong,” ujar Mikha.
Raya cukup kaget mendengarnya.
“Karena itu sekali lagi terima kasih. Kamu tidak hanya menyelamatkanku tapi juga keluargaku,” ujar Mikha.
Raya tersenyum membuat Mikha terpana melihatnya. Keduanya berada cukup dekat sehingga Mikha dapat melihat wajah Raya dengan lebih jelas.
Tiba-tiba saja, Mata Mikha menangkap sesuatu yang dia benci.
“Kecoak!” Mikha menghindar dengan cepat, dia panik. Raya berbalik dan melihat ke arah kecoak itu.
“Kamu takut kecoak?” tanya Raya.
“Bukan takut. Geli!” Mikha semakin mundur.
“Semua penakut mengatakan hal yang sama,” cibir Raya sambil mengambil sebuah kain lap dan dengan cepat dia melemparkan kain itu untuk menutupi kecoak itu. Dengan santainya Raya mengambil serangga itu dan pergi melemparkannya ke tempat sampah.
Aksi Raya itu cukup membuat Mikha kaget sekaligus kagum. Dia tidak menyangka Raya akan seberani itu dan merasa agak “kalah” karena dia seorang laki-laki.
Mikha berdeham saat Raya kembali, “Ibu gimana sih. Kok bisa ada kecoak?.”
“Kamu yang harusnya bantu Ibu untuk bersih-bersih,” ujar Raya, dia melipat tangannya di d**a.
Mikha tersenyum kikuk sambil menggaruk kepalanya.
“Eh.” Tangan Mikha terulur untuk mengambil sesuatu yang sepertinya menempel di telinga Raya. Wajahnya agak maju untuk melihat benda apa yang ada di situ.
“Bang Mikha!!”
Suara teriakan itu membuat Raya dan Mikha terkejut. Di depan pintu salah satu sepupu Mikha berdiri sambil menutup mulutnya. Setelah itu semua orang datang dan menatap ke arah Mikha dan Raya yang menatap mereka dengan kebingungan.
“Kenapa Mikha?” tanya Ibu.
“Bang Mikha ... sama pacarnya ... ciuman,” ujar sepupu Mikha itu.
Raya dan Mikha kaget, ini itu tidak terjadi.
“Eh, gak! Bukan gitu!” Mikha mencoba menjelaskan.
“Oh ... gitu.” Semua orang yang awalnya terkejut jadi biasa-biasa saja.
“Mikha sudah gak polos lagi.”
“Mikha ‘kan sudah dewasa.”
“Sebentar lagi udah mau nikah berarti. Bang Markus harus siap-siap lamaran, mari saya kasih tahu apa saja yang dibutuhkan.”
Berbagai komentar mengiringi bubarnya kumpulan para keluarga Mikha.
Ibu berjalan mendekat ke arah Mikha dan juga Raya, “Ditahan dong, Abang.”
Sebuah tamparan kecil mengenai lengan Mikha. Ibu menatap ke arah Raya.
“Maaf, Bu.” Raya menundukkan kepalanya.
“Jangan dilakukan di sini, nanti saja kalau kalian sudah berduaan. Tapi ingat, jangan dulu kebablasan,” ucap Ibu.
“Ta-tapi itu gak—” kalimat Mikha tidak selesai karena Ibu sudah berjalan kembali ke ruang tamu dan meninggalkan Raya dan Mikha berdua di dapur lagi.
“Abang!” Kini Mitha yang muncul.
“Abang beneran cium cewek? Wah, sejak kapan Abang jadi nakal begini? Iya sih Mitha tahu pacar Abang ini hot banget, tapi gak di dapur juga dong nyosornya!” omel Mitha semakin membuat Mikha kesal.
“Gak gitu! Itu tadi tuh—“
“Pokoknya gak boleh! Ingat kata Ayah, jaga diri dan diri pasangan kita.” Mitha juga berlalu tanpa mendengarkan penjelasan Mikha.
“Ini kenapa gak ada yang mau dengar penjelasan aku sih? Hei!!” Mikha kesal.
Raya tertawa.
“Kenapa kamu ketawa?” tanya Mikha.
Raya berhenti tertawa dan memandang Mikha, dia mendekat ke arah Mikha membuat lelaki itu mengambil langkah mundur.
“Kamu belum pernah pacaran ya sebelumnya?” tanya Raya.
“Hah? Tahu dari mana kamu?”
Raya tersenyum miring, “Kamu terlalu polos untuk ukuran pria tampan. Hanya ada dua kemungkinan, antara penyuka sesama jenis atau jomblo seumur hidup?.
Mikha mencebik, “Aku jomblo karena aku punya komitmen dengan diri aku sendiri.”
Raya kembali tertawa, “Kamu benar-benar lucu.”
“Kamu ... pasti banyak berkencan dengan para laki-laki ya?” tanya Mikha.
“Kamu menghakimi aku?” tanya Raya.
“Tidak juga.” Mikha tersenyum miring.
“Aku ... cukup banyak kenal laki-laki,” ucap Raya.
Mikha semakin tersenyum lebar.
“Karena pekerjaanku,” sambung Raya.
Mikha terkejut, “Kamu ....”
“Aku bukan wanita seperti dalam pikiranmu, tuan m***m!” bantah Raya.
“Enak saja, aku tidak m***m!” Mikha membela diri.
“Kamu tahu dari mana aku mengenal kamu?”
“Benar juga. Dari mana kamu tahu aku? Bahkan datang dan mengenalkan diri sama Ibu dan Ayah?” Mikha hampir lupa tentang hal ini.
“Ini.” Raya menyerahkan selembar kartu nama pada Mikha.
“Modern Life? Playboy Trap?” Mikha membaca tulisan di kartu itu.
“Naraya Cabello? Nama kamu Naraya?” tanya Mikha.
Raya mengangguk, “Aku kerja di Modern life.”
“Sebagai ... CEO?” mata Mikha membesar.
Raya mengangguk lagi, “Kami mengelola sebuah aplikasi bernama Playboy Trap.”
Mikha mengangguk, “Lalu apa hubungannya denganku?”
“Kami dapat target yang katanya seorang playboy kakap,” ujar Raya sambil menatap Mikha.
“Aku? Playboy?” Mikha tertawa kesal.
Raya mengangguk, “Kami ... aku hanya mengerjakan permintaan klien.”
“Siapa klien kalian? Siapa yang kurang ajar menuduhku sebagai playboy?” tanya Mikha.
“Itu rahasia perusahaan,” jawab Raya.
Mikha mencebik, “Aku ini korban. Harusnya kalian aku tuntut.”
Raya mengangkat bahunya tidak peduli, “Aku tahu. Tidak mungkin orang sepertimu menjadi seorang playboy.”
“Memangnya kenapa?” Mikha merasa sedikit tersindir.
“Bang Mikha, Kak Raya, dipanggil tuh.” Mitha muncul di depan pintu.
Raya dan Mikha saling berpandangan.
“Aku juga tidak tahu,” ujar Mikha setelah Raya menatapnya dengan penuh tanda tanya.
“Nah itu mereka. Sini, duduk sini!” Ayah memanggil keduanya.
Raya dan Mikha berjalan menuju ke tempat Ayah dan duduk di samping beliau.
“Nah, menurut eyang, apakah mereka berdua cocok?” tanya Ayah pada seorang Kakek yang sudah sangat tua sekali.
“Siapa dia?” tanya Raya sambil berbisik.
“Dia Eyang dari Ayah. Kakek buyutku,” jawab Mikha.
“Masih hidup?”
“Hush!!” Mikha menepuk pelan tangan Raya.
Kakek buyut Mikha itu memajukan wajahnya untuk menatap Raya dan Mikha secara bergantian.
“Aku rasa dia sudah gak bisa melihat lagi,” ujar Raya masih dengan berbisik.
“Diam saja!”
“Tapi, lihat saja dia—“
“Berhenti bergerak. Aku jadi kesulitan melihat kecocokan kalian,” ujar Kakek buyut Mikha membuat Raya kaget dan langsung diam.
“Makanya diam dulu,” ujar Mikha pada Raya.
Kakek buyut itu memundurkan kembali wajahnya dan kali ini dia memandang ke arah loteng dan tidak berapa lama dia memandang semua orang di sana.
“Mereka cocok. Tapi wanita ini seperti burung liar, kalian harus segera menangkapnya dan memasukkannya ke kandang agar dia menjadi jinak,” ujar Kakek Buyut Mikha lagi.
“Aku? Burung liar?” Raya tidak terima dirinya disamakan dengan binatang.
Dia melihat ke arah Mikha yang menahan tawanya ketika mendengar kalimat Kakek buyutnya.
“Iya kah? Berarti kita harus segera melamar Raya,” ujar Ayah.
“APA??” Raya dan Mikha berteriak dengan kompak.
“Kamu dengar sendiri kata Kakek buyut. Harus cepat biar Raya tidak pergi. Ini mungkin kesempatan terakhir kamu, Mikha. Jangan sampai terlewat,” ujar Ayah.
“Raya, nanti pulang sampaikan pada orang tuamu bahwa kami akan datang untuk melamar kamu,” lanjut Ayah.
“Hah? Ta-tapi aku belum mau menikah,” ujar Raya membuat semua orang di ruangan itu terkejut.
“Kakek buyut memang hebat. Dia tahu kepribadian seseorang hanya dengan melihatnya.”
“Dia benar-benar seperti burung liar.”
“Ya Tuhan kasihan sekali Bang Markus dan Bu Maya. Mereka mungkin tidak akan melihat anak laki-laki mereka menikah.”
Raya terkejut dengan komentar-komentar yang keluar dari para anggota keluarga yang lain. Dia menatap ke arah Ibu dan Ayah Mikha yang langsung menunduk sedih, dia melirik Mikha dan lelaki itu tampak frustrasi.
“Ayo, aku antar kamu pulang!” Mikha berdiri sambil menarik tangan Raya.
Raya diam saja mengikuti Mikha menuju mobil.
“Alamat rumah kamu di mana?” tanya Mikha.
“Ah, itu. Di perumahan Grand residence,” jawab Raya.
“Orang kaya. Pantas saja.” Mikha menyalakan mobil dan mulai menjalankan mobilnya.
“Aku minta maaf kalau aku melakukan kesalahan,” ujar Raya setelah merasa situasi yang canggung dan tidak mengenakan.
“Tidak masalah. Itu hak kamu,” ucap Mikha, lelaki itu tidak menatap Raya, dia menatap jalanan dengan pandangan lurus.
“Apa Ayah dan Ibu akan baik-baik saja?” tanya Raya.
Mikha menghembuskan nafas kasar lalu menggeleng.
“Aku—“
“Tidak perlu merasa tidak enak, itu bukan urusan kamu.”
Raya terdiam.
“Dan mulai sekarang, kita tidak usah saling menghubungi lagi. Hubungan bohongan ini berakhir sekarang. Terima kasih untuk bantuannya.”