Mikha memandang keluarga-keluarganya yang sudah banyak datang walau ini masih satu jam sebelum acara. Mikha berkali-kali menelan salivanya karena gugup yang dia rasakan, dia bingung bagaimana akan mengatakan bahwa “pacarnya” itu tidak akan datang.
“Raya mana?” tanya Ibu.
“Hah?” Mikha kaget.
“Raya mana? Kok kamu belum jemput?” tanya Ibu lagi.
“Ah, itu di—“
“Mikha! Mana pacar kamu?”
Belum sempat Mikha menjelaskan keadaannya pada Ibu, sosok Tante dan Omnya sudah muncul.
“Belum datang, nanti dijemput Mikha,” jawab Ibu.
“Iya kah?” tanya Tante Mikha.
“Ah, iya,” jawab Mikha yang sedetik kemudian dia sesali.
“Ayo masuk dulu,” ujar Ibu sambil mengajak Ipar-iparnya itu untuk masuk ke dalam rumah.
Mikha menghembuskan nafas pasrah dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia benar-benar bingung sekarang.
Di tengah kebingungannya itu tiba-tiba saja ponselnya bergetar membuat Mikha langsung mengeluarkan benda pipih itu dari kantongnya. Mikha mengerjap beberapa kali saat melihat nama pemanggil yang muncul di layar ponselnya itu.
“Ha-halo?” sapa Mikha terbata-bata.
“Apa acaranya sudah mulai? Kamu bisa jemput aku sekarang?” tanya Raya.
“Hah?” Mikha tentu saja kaget mendengarnya.
“Ah iya. Kamu di mana? Aku jemput sekarang,” ujar Mikha lagi.
“Aku kirim alamatnya,” ujar Raya sebelum memutuskan panggilan telepon.
Mikha dengan cepat berlari masuk ke dalam rumah mengambil helm dan juga kunci motornya.
“Mau ke mana?” tanya Ibu.
“Jemput Raya,” jawab Mikha sambil berlari menuju keluar.
“Abang ke mana?” tanya Mitha yang sedang membantu mengatur meja kue.
“Mau jemput pacarnya,” jawab Ibu.
Mitha lalu mendekat ke arah Ibunya, “Abang beneran punya pacar?”
“Iyalah, ‘kan waktu itu sudah ketemu sama Ayah sama Ibu,” jawab Ibu.
“Tapi—“
“Sudah. Kamu bantu ambil piring kue tuh,” potong Ibu membuat Mitha yang masih penasaran harus kembali ke dapur.
“Eh bentar. Dia tadi bawa kunci motor ya?” tanya Ibu.
Mitha mengangguk.
“Aduh! Anak itu!!” Ibu kesal.
Mitha tersenyum, “Bentar lagi ada yang mau jomblo lagi tuh.”
***
Mikha tiba di alamat yang dikirimkan oleh Raya, ternyata tempatnya adalah sebuah restoran yang sepertinya sudah ada sejak lama karena bahkan bentuknya masih seperti di tahun 90-an.
Tidak sabat menunggu di parkiran, Mikha memutuskan untuk masuk dan mencari Raya. Dia berdoa dalam hati semoga saja wanita itu tidak menipu dirinya. Karena pengunjung yang sedikit, dengan cepat Mikha menemukan keberadaan Raya walau hanya lewat tasnya.
Mikha berjalan mendekat ke arah meja yang berisi seorang laki-laki dan juga perempuan yang sepertinya suami-istri.
“Mikha!”
Langkah Mikha terhenti dan dia mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara di mana sudah ada Raya yang kini berjalan ke arahnya.
“Kenapa masuk?” tanya Raya.
“Memangnya tidak boleh?” tanya Mikha tidak paham.
“Siapa dia, Raya? Mama gak pernah lihat sebelumnya,” ujar wanita yang tadi dilihat oleh Mikha.
“Kamu tidak boleh bergaul dengan sembarang orang,” tambah si pria.
Mikha langsung paham, dia lalu sedikit membungkuk untuk menunjukkan hormatnya pada orang tua Raya.
“Kenalkan Om, Tante. Saya Mikha, pacarnya Raya,” ucap Mikha yang sukses membuat Ketiga orang itu terkejut bahkan si pria sampai memuntahkan kembali kopi yang sudah dia seruput.
“Pa-pacar?” Mama Raya tampak terkejut.
Senyum lebar Mikha perlahan-lahan menghilang menyadari kalau mungkin saja dia sedang melakukan kesalahan.
"Pacar? Pacar kata kamu?” Si pria itu bangkit dan menuju ke arah Mikha.
Mikha menelan salivanya lalu mengangguk. Wajah pria itu semakin menunjukkan rasa tidak suka pada Mikha membuat Mikha bingung harus berbuat apa.
“Aku mau pergi dulu.” Raya bertindak cepat dengan langsung mengambil tasnya dan menarik Mikha untuk pergi dari restoran itu sebelum kemungkinan Mikha diamuk Papa.
“Kamu mau ke mana?” tanya Mama.
“Pergi sebentar. Kalian pulang saja,” ujar Raya sambil berlalu.
“Mana mobil kamu?” tanya Raya begitu mereka sampai di parkiran restoran itu. Dia tidak membawa mobil karena tadi dia dijemput oleh Papanya.
“Hah? Mobil?” Mikha yang sekarang kebingungan.
“Iya. Memangnya kamu ke sini naik apa?” tanya Raya.
Hati Raya semakin kesal begitu Mikha menunjuk ke arah sebuah motor.
“Kamu bercanda ‘kan?” Raya benar-benar kesal sekarang.
***
Kuping Mikha panas karena omelan Raya yang tidak berhenti saat mereka dalam perjalanan menuju ke rumah Mikha.
“Kamu benar-benar pria paling buruk yang pernah aku kenal. Bisa-bisanya kamu jemput aku pakai motor, aku gak pernah naik motor sebelumnya,” omel Raya.
Mikha diam saja, dia tahu dia tidak bisa membantah apa pun kata-kata Raya karena dia membutuhkan wanita itu. Hanya hari ini saja.
“Raya!” Ibu berteriak sambil berlari kecil menyambutnya.
Raya yang sedang memandang Mikha dengan tatapan kesal itu langsung berubah ramah dan tersenyum lebar begitu dia berbalik menghadap Ibu.
“Aku lama ya? Maaf, tadi ada urusan sebentar,” ujar Raya sambil mencium tangan Ibu membuat hati Ibu begitu senang.
“Gak apa-apa. Kamu datang saja, Ibu dan Ayah sudah senang sekali,” ujar Ibu lagi.
Hati Mikha begitu lega mengetahui keluarganya tidak jadi dipermalukan oleh keluarga mereka yang lain hari ini.
“Raya,” panggil Ibu.
“Iya?” sahut Raya.
“Ibu minta maaf, ya. Mikha jadi jemput kamu Cuma pakai motor. Abisnya kata Abang biar cepat sampai,” ujar Ibu sambil memegang tangan Raya membuat hati Raya tersentuh.
“Nanti besok-besok, Ibu pastikan kamu akan naik mobil kalau lagi jalan sama anak Ibu,” lanjut Ibu.
“Iya, Bu.” Raya tersenyum.
Raya dapat merasakan ketulusan yang dipunya oleh Ibu Mikha ini. Dia bahkan minta maaf untuk anaknya hanya karena merasa tidak enak. Sungguh berbanding terbalik dengan kedua orang tuanya.
Raya diajak masuk ke dalam rumah kediaman keluarga Mikha yang tampak sederhana namun Raya dapat merasakan kehangatan di sana. Banyak sekali orang yang menurut Ibu adalah keluarga besar dari pihak Ayah Mikha.
Raya sangat iri dengan suasana keluarga seperti ini, sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan sejak dulu. Papa dan mama adalah anak tunggal begitu juga kakek dan nenek Raya. Hal itu membuat Raya yang juga adalah anak tunggal menjadi sangat kesepian setiap harinya.
“Oh, ini pacarnya Bang Mikha?” Seorang perempuan muda muncul dari ruangan lainnya.
Raya merasa dia menjadi pusat perhatian sekarang, membuatnya semakin menjaga sikapnya.
“Ini Mitha, adiknya Mikha.” Ibu memperkenalkan perempuan muda itu.
“Mitha?” Raya merasa familier dengan nama itu, namun dia tidak tahu apa.
“Raya?”
Raya berbalik dan menemukan Ayah Mikha tengah berjalan menuju ke arahnya. Raya menyambut Ayah dengan mencium tangan lelaki itu.
“Syukurlah kamu bisa datang. Ayah khawatir sekali karena Mikha bilang kamu sangat sibuk,” ujar Ayah.
“Ah, iya memang agak sibuk,” jawab Raya.
“Nanti kenalan dengan keluarga yang lain, ya. Semua yang di sini keluarga Mikha semua,” ujar Ayah.
“Iya.”
Tidak lama kemudian acara mulai berjalan dan Raya bisa mengambil langkah mundur dan dia pergi ke dapur untuk minum. Ternyata punya keluarga banyak tidak selamanya menyenangkan, Raya lelah tersenyum dan menyapa semua keluarga Mikha itu. Ya walaupun itu masih lebih baik daripada dia harus melihat Papa dan Mama yang selalu bertengkar.
“Kamu di sini rupanya.”
Raya menoleh ke arah pintu dapur dan menemukan Mikha berada di sana. Mikha berdiri di samping Raya, keduanya bersandar pada meja dapur yang dilapisi ubin itu. Ada keheningan beberapa saat di antara mereka.
“Terima kasih,” ucap Mikha.
Raya terdiam, dia juga harusnya berterima kasih pada Mikha karena sudah menyelamatkannya hari ini dari Mama dan Papa.
“Maaf kalau kesannya aku memaksa kamu. Aku tidak punya pilihan,” lanjut Mikha.
Raya menatap Mikha tidak mengerti.
“Semua kesalahpahaman ini, membuat keadaan semakin runyam. Kalau kamu tidak ada, sudah pasti keluargaku akan dipermalukan lagi hari ini,” ujar Mikha lagi. Dia tampak sedih saat mengucapkannya.
“Dipermalukan bagaimana?” tanya Raya.
Mikha menatap Raya lagi, dia baru sadar dia terlalu banyak bicara. Mikha lalu menggeleng.
“Kamu sudah menuang teh, kamu harus mengisi cangkirnya kalau begitu,” ujar Raya.