8. Lari dari Kenyataan

1518 Words
Mobil Mikha akhirnya berhenti di depan rumah Raya, pria itu masih memandang ke arah depan dengan tatapan sendu. Raya masih menatap pria itu. “Kamu tidak mau turun?” ujar Mikha tanpa menatap ke arah Raya, pandangannya masih lurus ke depan. “Eh, iya.” Raya masih diam di tempatnya. Hal itu membuat Mikha akhirnya mengalihkan pandangannya pada Raya. “Silakan turun, Nona.” “Ehm, Mikha ... apa Ibu dan Ayah kamu akan baik-baik saja?” “Memangnya kenapa? Apa pedulimu? Itu bukan urusan kamu jadi sebaiknya kamu lupakan saja semuanya.” Mikha mendengus kesal. “Aku hanya khawatir dengan Ibu dan Ayah kamu,” ujar Raya. “Dengar ya, Ray.” Mikha mengalihkan pandangannya lagi pada Raya. “Ini bukanlah urusan kamu. Aku berterima kasih kamu telah membantu aku dan keluargaku sejauh ini, tapi sudah cukup,” ujar Mikha lagi. Mikha keluar dari mobilnya, dia menuju pintu penumpang dan membuka pintu dan menyeret Raya keluar. “Apa kamu kesal karena aku tidak menerima lamaran keluarga kamu?” Nada suara Raya meninggi. Mikha kembali menatapnya dengan tajam, dia bersiap membalas perkataan Raya saat tiba-tiba pintu gerbang rumah Raya terbuka lalu muncul dua orang keluar dari gerbang itu. “Naraya!” “Ma-Mama? Papa? Kalian ngapain di rumah aku?” tanya Raya. “Kamu!” Papa Raya menunjuk ke arah Mikha. “Apa-apaan ini? Kamu sudah dilamar?” tanya Mama Raya. Raya terdiam. “Kamu! Kamu melamar anak saya tanpa memberitahu dan meminta ijin pada saya dulu?” Papa Raya maju ke arah Mikha. “Hah? Ah ... tidak begitu. Jadi ... itu ... begini.” Mikha kesulitan untuk menjelaskannya ditambah dia gugup sekarang. “Ya gimana pacar anaknya mau minta ijin ke kamu kalau kamu gak pernah pulang dan nengokin anak kamu sendiri?” ujar Mama Raya mengonfrontasi mantan suaminya. “Lah kamu sendiri juga tidak tahu ‘kan? Berkaca sedikit,” balas Papa Raya. “Siapa nama kamu?” tanya Papa Raya pada Mikha. “Mikha, Om,” jawab Mikha. “Kalau kamu serius untuk melamar anak saya, datangi saya dulu dengan keluarga kamu,” ujar Papa Raya. “Hah?” Mikha masih tidak paham. “Mau tidak? Jangan hanya Hah-Hih-Hah begitu,” balas Papa Raya. “Eh, iya.” Mikha bersumpah dia juga tidak tahu kenapa dia menjawab iya. “Eh, main iya-iya aja. Kita bahkan belum tahu dia anak siapa? Seperti apa keluarganya? Kerjanya apa? Kita harus tahu apakah dia layak untuk Raya atau tidak?” sahut Mama Raya. “Hah? Ya sudah pasti dia yang terbaik kalau sampai Raya sudah menjadikan dia pacar, kamu tahu sendiri Raya selalu memilih yang terbaik, dia sama sepertiku,” ujar Papa Raya. “Enak saja! Tetap saja, jangan dulu ada pernikahan sampai aku mengenal anak ini dan setuju dengannya,” balas Mama. “Kamu itu egois!” Papa Raya menunjuk ke arah Mama Raya. “Aku? Egois? Aku ingin yang terbaik untuk anakku! Bukan seperti kamu yang tidak mau tahu tentang anak kamu!” balas Mama Raya. “Apa kata kamu?” papa Raya bersiap untuk memulai perang bersama Mama Raya. Mikha memperhatikan pemandangan di depannya dengan pandangan terpaku. Seumur-umur dia baru kali ini melihat pemandangan seperti ini, sampai sebuah tangan menyentuh lengannya. Dia menghadap ke samping dan menemukan Raya yang menggenggam lengannya, matanya berkaca-kaca dan tetap memandangi pemandangan kedua orang tuanya yang sedang beradu mulut. “Bawa aku pergi!” ucap Raya dengan suara yang tercekat. “Hah?” “Bawa aku pergi! Ke mana saja, aku tidak ingin berada di sini!” Kini air mata Raya sudah mengalir. Raya lalu masuk ke dalam mobil membuat Mikha kebingungan. “Mikha! Cepat!” perintah Raya. Mikha menurut, dia juga kemudian masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobilnya membuat dua orang mantan suami-istri itu kaget dan kebingungan. Mereka berteriak memanggil nama Raya dan juga marah-marah pada mobil yang melaju itu. Sepanjang jalan keduanya hanya diam, hanya suara mesin yang samar beradu dengan suara pendingin udara mobil. Raya masih terisak, dia berkali-kali mengusap air matanya namun air matanya masih saja mengalir. “Nih.” Mikha menyerahkan sapu tangannya. Raya menggeleng, masih mengelap air matanya dengan tangan. “Jangan keras kepala dan ambil saja sapu tangannya. Yang ada mata kamu akan sakit jika hanya pakai tangan,” ujar Mikha. Raya perlahan-lahan mengambil sapu tangan itu dan mengusap air matanya. “Kamu sudah baikkan?” tanya Mikha. “Kamu bisa minum alkohol?” tanya Raya membuat Mikha kaget. “Kenapa kamu tanya begitu?” “Oh tidak bisa. Kalau begitu antarkan saja aku di salah satu klub malam. Aku ingin minum hingga mabuk,” ujar Raya. “Oke.” Mikha melirik jam ternyata sudah jam sebelas malam. Dia lalu mengemudikan mobilnya menuju sebuah club malam dan berhenti di depannya. “Oke, makasih,” ucap Raya sambil turun dari mobil Mikha. Mata Mikha mengikuti pergerakan Raya yang sedang mengantre untuk masuk ke dalam klub. “Toh yang penting aku sudah mengantarnya. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi padanya lagi,” ucap Mikha pada dirinya sendiri. Raya mengeluarkan KTP-nya dan menyerahkannya pada petugas keamanan. “Sendirian Nona?” tanya seorang pria yang berada tepat di belakang Raya. Raya hanya tersenyum untuk menjawab. Pria itu semakin berani karena Raya tidak melawan, dia mendekatkan badannya pada Raya sambil berpura-pura melihat daftar tamu. “Mas, bisa mundur sedikit gak?” ucap Raya. “Loh kenapa? Ada yang marah? Kamu sendirian ‘kan? Bagaimana kalau sama aku? Aku traktir deh,” ucap pria itu. “Minggir, dasar laki-laki m***m!” bentak Raya sambil mendorong tubuh pria itu sehingga tubuhnya menjauh dari Raya. “Cih, wanita sepertimu saja sok jual mahal,” ucap pria itu merendahkan Raya. “Apa katamu?” Raya kesal sekali sekarang. “Raya!” Tangan Raya yang berada di udara ditahan oleh seseorang dan ternyata itu adalah Mikha. “Mau minum alkohol? Jangan di sini! Aku tahu tempatnya dan akan aku temani kamu!” ucap Mikha. Mikha lalu menyeret Raya kembali ke dalam mobilnya. “Aku pikir kamu sudah pergi. Kenapa kembali lagi?” tanya Raya. “Tidak apa-apa. Tiba-tiba saja aku juga ingin mabuk malam ini. Rasanya hari ini aku benar-benar kesal.” Ujar Mikha. “Lalu kita ke mana?” tanya Raya. “Tempat yang aman untuk minum-minum,” jawab Mikha lalu menjalankan mobilnya. Raya tahu jalan ini, dan ketika mobil Mikha berhenti Raya kembali menatap Mikha. “Ini ‘kan kafe kamu,” ujar Raya. Raya memandang kafe yang sudah gelap karena sudah tutup itu. “Ya. Memang. Kamu pikir di mana lagi tempat kita bisa minum-minum dengan aman?” Mikha turun dari mobilnya diikuti Raya. Mereka masuk melalui pintu belakang. “Kamu ke atas duluan, ruanganku ada di atas. Aku akan ambil alkoholnya dan juga camilan,” ujar Mikha. Raya menggeleng cepat. “Kenapa?” tanya Mikha. “Aku takut gelap dan hantu,” jawab Raya. “Hantu itu tidak ada, Raya.” Mikha dengan cuek berjalan menuju ke dapur. Raya memilih mengikuti Mikha daripada harus pergi ke ruangan asing sendirian. “Kamu mau ngapain?” tanya Raya. “Membuat camilan. Katanya kalau mau minum alkohol paling enak kalau ada camilannya,” jawab Mikha. Mikha mengambil daging dan juga sayuran dari kulkas, meletakkannya di atas meja. Mikha lalu berjalan menuju ke arah pintu dan mengambil apron koki berwarna hitam miliknya. “Kamu mau pamer padaku, ya?” ujar Raya. “Kenapa kamu berpikir begitu?” tanya Mikha. “Kamu memakai apron kamu,” jawab Raya membuat Mikha tertawa. “Apron tidak digunakan untuk pamer, Raya. Ini juga untuk melindungi kamu saat berada di dapur,” jawab Mikha. Tangannya dengan lincah mulai memotong sayuran dan mencincang daging. Wajah Mikha berubah menjadi 100 kali lebih serius saat dia berada di dapur. Gerakannya sangat lincah membuat Raya terpana, dia tidak tahu melihat pria memasak itu menyenangkan. Warna api terpantul pada wajah Mikha membuatnya tampak lebih bercahaya, tangannya bergerak untuk mengaduk dan juga mencampurkan bumbu. Dia menaruh sedikit minyak masakannya lalu membawanya ke arah Raya. “Coba cicipi,” ujar Mikha sambil mengarahkan tangannya. “Hah?” Raya bingung. “Coba cicipi. Aku akan mengikuti seleramu,” ujar Mikha. Raya memandang tangan Mikha yang berada di depannya, lelaki itu menatapnya untuk meyakinkan Raya. Akhirnya dia memajukan wajahnya dan mencicipi masakan Mikha langsung dari tangan Mikha. “Ini enak.” Mikha tersenyum. *** Mikha menatap Raya yang sudah tertidur, kepalanya berada di atas meja. Kepala Mikha pusing sekali, matanya juga mendadak berat. Badannya panas membuatnya harus melepas beberapa kancing kemejanya karena kepanasan. “Hei! Bangun, tidur di sofa sana,” ujar Mikha untuk membangunkan Raya. Raya terbangun, namun kondisinya sama seperti Mikha. “Kau!! Kau menyebalkan! Tapi kau tampan seperti tipeku!” ujar Raya yang hampir tidak dapat dimengerti Mikha. “Ayo sana pindah ke sofa!” Mikha mencoba mengangkat tubuh Raya namun wanita itu menahan tubuhnya membuat Mikha jatuh dan kini menindih tubuhnya. Detik berikutnya keduanya hanya dapat saling menatap, mata keduanya saling terkunci seolah tidak ingin berpisah. Pengaruh alkohol dan juga suasana membuat Raya menjadi lebih berani, dia memegang wajah Mikha dan mendekatkan wajahnya ke wajah Mikha. “Kamu tampan sekali!” ujar Raya. Sedetik kemudian, Raya mendaratkan bibirnya ke bibir Mikha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD