“Mikha?” Raya heran.
“Iya. Kalau kamu ingat, orang yang kamu aku-aku sebagai pacar kamu di depan orang tua aku,” ujar Mikha.
“Dapat nomor aku dari mana?” tanya Raya.
“Dari Ibu. Kamu ngasih nomor kamu ke Ibu ‘kan?” jawab Mikha.
Raya memutar bola matanya malas, dia baru memblokir nomor Ibunya sekarang malah anaknya yang menghubungi Raya. Raya merasa dia perlu melakukan pengecekan latar belakang keluarga itu dan memblokir semua akses mereka terhadapnya.
“Ada apa?” tanya Raya dengan malas.
“Aku butuh bantuan kamu,” ujar Mikha.
“Maaf, tapi aku sibuk,” tolak Raya.
“Tolong aku! Sekali ini saja,” ujar Mikha.
“Dengar, aku tidak begitu tertarik dengan kamu, jadi ... maaf.”
Mikha terkejut karena sambungan telepon yang putus. Mikha menggaruk kepalanya dengan kasar bahkan ingin membanting ponselnya namun untungnya dia cepat ingat bahwa itu adalah satu-satunya ponsel yang dia miliki.
“Hah! Wanita ini sungguh tidak punya hati.”
***
Raya berjalan menyusuri lorong sebuah pasar di daerah kumuh, dia benar-benar ditipu karyawannya sendiri. Elin mengatakan bahwa alamat ini adalah kawasan pertokoan elite, padahal nyatanya ini adalah kawasan pasar yang sepertinya sudah jarang digunakan. Ditambah lagi keadaan sekarang sudah mulai sore sehingga keadaan semakin sepi.
Raya melangkah dengan sepatu hak tingginya mencari tempat dari calon targetnya yang katanya adalah pemilik salah satu toko di tempat ini. Tiba-tiba saja seseorang asing dengan cepat menarik tasnya dan berlari dengan cepat.
“Hei!!! Copet!! Jambret!!” Raya berteriak. Beberapa orang melihatnya namun mereka lalu kembali berbalik seolah tidak peduli.
Raya dengan kesal menatap orang-orang itu dan memutuskan untuk mengejar orang yang sudah merampas tasnya itu. Dengan susah payah, Raya berlari dengan sepatu hak tingginya. Lelaki itu berlari sampai dia terjebak di satu lorong yang tidak ada jalan lagi.
Raya tersenyum miring, “Mau ke mana sekarang kamu? Kamu terjebak?” kata Raya.
“Serahkan tas aku. Aku akan kasih kamu uang,” lanjut Raya dengan nafas terengah-engah.
“Aku? Terjebak? Iya kah?” Lelaki itu berbalik dan berjalan menuju Raya yang membuatnya ketakutan dan berjalan mundur.
Raya memaki dalam hati saat dia sadar ada dua orang yang datang dari arah belakangnya. Dia baru sadar bahwa dia tidak menjebak lelaki itu namun lelaki itu yang menjebaknya.
“Dengar, kalian mau uang ‘kan? aku akan memberikan kalian uang yang banyak. Hanya serahkan saja tasku dan biarkan aku pergi,” ujar Raya mencoba kembali tenang.
Lelaki itu tidak menjawab apa pun, dia berjalan semakin mendekat ke arah Raya. Raya ketakutan, dia tidak mau berakhir seperti ini. Dia menutup matanya tepat sebelum lelaki itu menyentuh dirinya lalu tiba-tiba dia mendengar bunyi pukulan.
Raya semakin meringkuk, dia tidak berani membuka matanya. Dia cukup mendengar suara pukulan dan juga erangan juga makian.
“b*****t Lo!!”
“Hei, kamu baik-baik saja?” Suara seorang lelaki yang sepertinya berada di depan Raya.
“Raya?”
Raya langsung membuka matanya begitu mendengar namanya disebut. Lelaki yang berada di depannya ini juga sama terkejutnya dengan dia.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Mikha.
“Kamu yang ngapain ke sini?” tanya Raya.
“Aku ke sini untuk belanja bahan makanan untuk kafe aku. Kamu ngapain ke sini?” tanya Mikha lagi. Dia masih tidak paham kenapa wanita itu datang ke pasar dengan tampilan seperti akan pergi ke mal.
“Aku ... aku ... aku ada urusan di sekitar sini,” jawab Raya.
“Dengan penampilan kayak gini?” tanya Mikha lagi.
“Bukan urusan kamu!” ujar Raya.
Dia bersiap pergi karena merasa canggung sekali.
“Raya!” panggil Mikha.
Raya menahan langkahnya namun dia tidak berbalik.
“Tas kamu gak mau dibawa?” tanya Mikha.
Raya menggigit bibir bawahnya menyadari kebodohannya. Dia segera berbalik dan mengambil tasnya dari tangan Mikha.
“Terima kasih. Apa aku harus ... Hah!!!” Raya terpekik saat dia melihat wajah Mikha dengan jelas, sejak tadi dia memang berbicara dengan tidak menatap Mikha karena merasa malu.
“Kamu berdarah!” pekik Raya mencoba untuk menyentuh wajah Mikha membuat lelaki itu dengan cepat menahan Raya agar tidak menyentuhnya.
“Aku baik-baik saja,” ujar Mikha.
“Kamu harus ke rumah sakit. Ayo ke rumah sakit.” Raya menarik tangan Mikha namun lelaki itu bergeming di tempatnya.
“Ayo. Aku berhutang budi padamu, aku tidak suka berhutang,” ujar Raya.
“Daripada itu ... bisa kamu membalas hutang budi kamu dengan hal lain?” ujar Mikha.
“Maksud kamu?” Raya tidak mengerti.
“Bisa kamu datang ke acara keluarga aku?” tanya Mikha.
Raya mencebik, dia menonggak pinggangnya di depan Mikha.
“Dengar, aku mungkin salah karena sudah memperkenalkan diri sebagai pacar kamu di depan Ibu kamu yang awalnya aku kira sebagai selingkuhan kamu. Tapi ... aku juga tidak bisa dimanfaatkan seperti ini,” ujar Raya.
“Kumohon, satu jam saja. Kamu bisa pergi setelah satu jam,” tawar Mikha.
Raya menggeleng, “Maaf tapi aku gak bisa terlibat lebih jauh lagi.”
Mikha terdiam, dia bukanlah orang yang baik untuk membujuk seseorang apalagi membujuk seorang wanita dewasa. Mikha tidak tahu caranya karena dia tidak berpengalaman.
Raya merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kartu lalu menyerahkannya pada Mikha.
“Kamu pergi ke rumah sakit dan silakan pakai berapa pun untuk biaya pengobatan kamu. Nanti akan ku blokir kartunya kalau kamu sudah selesai berobat. Sekali lagi, terima kasih.” Raya tidak menunggu lebih lama, dia harus kembali ke kantor untuk memarahi Elin yang lagi-lagi tidak teliti saat menerima klien apalagi kali ini dia sampai hampir membahayakan Raya.
Mikha memandang Raya yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya. Dia menyentuh wajahnya dan baru terasa segala sakit dan juga pegal akibat perkelahian itu. Mikha menatap kartu yang diberikan Raya itu lalu menyimpannya di dalam kantong. Dia lalu menuju ke tempat dia biasa membeli tempe karena memang itulah tujuan utamanya datang ke pasar ini.
Dalam hati Mikha bersedih karena dia sudah gagal untuk membujuk Raya. Mikha sudah dapat membayangkan keluarganya terutama Ayah dan Ibu akan disindir oleh keluarga lainnya dan menahan malu mendengar sindiran mereka.
Tangan Mikha mengepal, merasa kesal karena dia tidak mampu untuk melindungi keluarganya dari keluarganya yang lain. Selama ini keluarganya selalu dipandang remeh oleh keluarga yang lain karena kondisi ekonomi mereka yang berada di bawah keluarga yang lain.
Ayah hanya seorang dosen dan Ibu hanya seorang Ibu rumah tangga, berbeda dengan keluarga lainnya yang rata-rata adalah pejabat dan juga abdi negara. Mikha tidak henti-hentinya menarik nafas panjang. Luka di wajahnya memang sakit, namun luka di hatinya masih lebih sakit.
***
Hari minggu Raya menjadi berantakan karena dia diseret oleh Ibunya untuk pergi ke sebuah restoran yang selalu dia kunjungi setiap tahun, setiap kali dia berulang tahun.
“Aku sudah bukan anak bocah, kenapa harus kemari setiap tahun?” protes Raya.
Dua orang di hadapannya langsung berpura-pura tidak mendengar apa pun dan sibuk dengan diri mereka sendiri. Raya memandang pemandangan itu dengan perasaan kesal yang teramat sangat.
“Buat apa ini semua?” Raya sudah mulai emosi.
“Raya! Pelankan suaramu,” tegur pria yang Raya panggil Papa itu.
Pria itu baru muncul lagi setelah lama menghilang, sejujurnya pria itu hanya muncul setahun sekali yaitu setiap Raya berulang tahun. Pekerjaannya sebagai pengusaha tambang batu bara membuat pria itu selalu berada di daerah pedalaman dan jarang muncul dan menjalankan tugasnya sebagai Ayah bahkan sejak Raya kecil.
“Jangan seperti Mama kamu yang tidak sopan ini,” sindir Papa Raya pada mantan istrinya yaitu Mama Raya.
“Eh, maksudnya apa ngomong begitu? Kamu jangan ngajak berantem ya?” balas Mama tidak mau kalah.
Raya memandang dua orang itu dengan tatapan nanar dan malas, dia bersyukur keduanya sudah bercerai. Jika boleh pergi ke masa lalu, hal yang ingin dilakukan Raya adalah membuat dua orang ini tidak bertemu untuk selamanya.
Ketika anak lain menjadi depresi setelah orang tua mereka berpisah maka Raya malah senang karena akhirnya orang tuanya berpisah. Meski hidupnya kerepotan karena harus bolak-balik rumah mama dan papanya setiap minggu, itu lebih baik daripada harus hidup serumah dengan orang yang tidak pernah membuat Raya tenang.
“Ya memang kamu kayak begitu. Kamu memberikan pengaruh buruk untuk Raya," ujar Papa.
“Ya daripada kamu yang tidak pernah ada untuknya?” balas Mama.
“Berhenti! Kalau kalian hanya ingin bertengkar, pergi sana ke ring tinju dan tunjukkan padaku siapa yang lebih kuat?” Raya berteriak kesal.
“Raya!!” Mama dan Papa berteriak kompak.
“Akhirnya kalian kompak juga,” sindir Raya.
Mama dan Papa Raya langsung kembali saling membelakangi dan berpura-pura tidak mengenal satu sama lain. Raya benar-benar tidak sanggup lagi, dia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Apa acaranya sudah mulai? Kamu bisa jemput aku sekarang.” Raya hanya ingin pergi dari tempat ini sekarang juga.