"Asal lo tau! Sahabat yang bikin lo jadi hebat."
~Kevin~
Arial menoleh. Benar-benar menoleh dengan pandangan datarnya.
Elsa mengembuskan napasnya perlahan. Ada yang ingin ia tanyakan sejak Arial menabrak bahunya. TAPI antara yakin atau tidak. "Gue mau nanya," ucap Elsa masih ragu dengan keputusannya.
"Apa?" tanya Arial agak penasaran.
Elsa diamet untuk meyakinkan diri. "Al, apa gue bisa punya kesempatan lagi?" tanyanya menahan rasa gugup.
Maksudnya? Pertanyaan Elsa terlalu ambigu bagi Arial, sehingga membuatnya tidak mengerti atau Arial memang bodoh untuk mencerna kata-kata gadis di dalam.
Elsa diam diam. Menimbang pertanyaannya untuk membaca atau tidak. Udah lupain aja, putusnya cepat. Ia segera bangkit dari duduknya dan pergi. Namun dengan cepat tangan Arial meraih kemejanya.
"Mau kemana lo?" tanya Arial sarkastik. Ia sangat berhubungan jika harus digantung dengan pertanyaan yang belum selesai dilontarkan.
Elsa langkahnya. "Gue masih berharap sama lo," ucapnya berharap Arial akan mengerti. Lalu kembali melanjutkan langkahnya dan pergi dari hadapan Arial.
Arial terdiam. Memutar otaknya untuk mencari keputusan yang tepat, terutama agar Elsa tidak merasakan goresan luka di hatinya. Hatinya belum dapat menerima kehadiran detak cinta. Terlebih Arial masih merasakan bahwa pikirannya masih labil.
"Al." Angga muncul dari balik pintu UKS.
Arial wajahnya.
" Maaf , gue gak bermaksud ---" ucapan Angga terpotong.
"Udah, lupain aja. Nggak usah dibahas. Tadi gue cuma kalap," potong Arial memberikan penjelasan. "Nggak seharusnya juga gue mukul Gilang," tambahnya penuh sesal.
"Semoga Gilang bisa lebih ngerti," ucap Angga penuh harap.
"Al, lo nggak apa-apa?" Kini Kevin tiba-tiba muncul dengan sebuah pertanyaan.
"Nggak apa-apa," jawab Arial santai sambil mengembangkan sedikit senyuman.
“Alhamdulillah,” syukur Kevin.
"Lebih afdol lagi kalo lo sujud syukur, Vin," timpal Angga menyebalkan.
“Sholat aja sekalian,” tambah Arial.
"Sholat ghaib buat lo berdua ya?" sahut Kevin bete.
"Parah lo!" Angga menoyor kepala Kevin tanpa dosa. Ia merasa tersinggung dengan perkataan Kevin.
Sementara Arial hanya terkekeh geli melihat tingkah kedua.
***
Langkah Arial berhenti tepat di depan pintu rumah yang sudah terbuka lebar dan seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu. Amplop putih berada di lokasi. "Ini apa?" tanya Wulan dingin menyambut kedatangan anak hingga membuat Arial merasa kelu untuk menjawab pertanyaan Wulan. Ia melihat wajah anaknya benar-benar hancur dan dekil.
"Hobi sekali ya kamu bikin mama malu ?!" ucap Wulan penuh amarah.
"Bu-bukan gitu, Ma. Arial bisa jelasin," balas Arial menyiapkan seribu nyawa untuk membangun seribu tembok pertahanan atas omelan mamanya.
"Jelasin apa lagi? Kamu mukul Gilang, padahal dia cuma ngajak kamu bercanda!" ucap Wulan nyaris memekik.
"Ma, itu bohong! Gilang yang mulai dulu, Ma," tukas Arial tidak bisa menerima pernyataan yang dikatakan Wulan.
"Gilang nggak mungkin bohong, Arial!" tegas Wulan masih termakan cerita bohong Gilang.
"Pikiran Mama yang pake apa sama Gilang?" tanya Arial dingin. Emosinya begitu meluap hingga menggelapkan pikirannya sampai berani berbicara kasar pada Wulan.
Tanpa segan Wulan melayangkan tamparan keras pada Arial. Sampai kejadian terhuyung ke belakang karena kehilangan keseimbangan. "Mama kecewa sama kamu!" ucap Wulan kemudian pergi dari hadapan Arial.
Arial menyadari perkataannya yang ia biarkan terlontar begitu saja tanpa pikir panjang.
"Ma," panggil Arial berharap Wulan berhenti melangkah. Namun Wulan segera pergi bersama mobil sedan Civic-nya. Arial benar-benar menyesali perbuatannya.
Arial berjalan masuk ke dalam penjara lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Pikirannya hancur tak karuan. Gilang benar-benar keterlaluan! Ia mengembuskan napasnya dengan perlahan, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Hari yang benar-benar berat!
Arial bangkit dari duduknya kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Selintas bayangan Elsa masuk ke dalam otaknya tanpa ijin, terutama saat gadis itu berkata jujur padanya. Buru-buru Arial menutup pintu kamar dengan rapat.
***
Keesokan harinya bersama semburat mentari pagi, mobil yang ditumpanginya melaju dengan suasana begitu kaku. Untuk kedua kalinya Iskandar mengantar anak sulungnya ke sekolah setelah terlibat dalam perkelahian bersama sepupunya --- Gilang --- di sekolah.
"Bayangin aja. Kalo nggak ada Tantemu, pasti kamu sudah mati, Arial!" ucap Iskandar penuh pengendalian dan menahan rasa malu terhadap keluarga Gilang akibat ulah Arial.
Arial memilih diam.
Ingat. Kamu hutang nyawa sama Tante Lidya! " peringat Iskandar kemudian. Laju kendaraannya berhenti di depan gerbang sekolah.
Arial masih diam di tempatnya.
Iskandar menoleh menatap Arial.
"Maaf, Pa. Arial kebawa emosi," ucap Arial rilis seatbelt Bersiap untuk keluar dari mobil Iskandar. "Ya udah. Arial sekolah dulu," tambah Arial mencium punggung tangan papanya.
Ingat. Jangan bikin keributan lagi, "ingat Iskandar sebelum Arial benar-benar keluar dari mobilnya.
Arial mengangguk singkat. Entah apa yang membuatnya seperti ini dan kembali menjadi cukup brutal setelah dua tahun keluar dari dekaman sekolah asrama.
Tepatnya empat tahun yang lalu, Arial pernah terlibat dalam aksi brutalitas antar pelajar dari beberapa sekolah. Sampai melanjutkannya melanjutkan sekolah di sekolah asrama dengan pendidikan kemiliteran oleh Iskandar.
Dulu usianya masih empat belas tahun, sudah cukup mengerti bagi anak seusia SMP untuk bergabung dengan geng besar di kotanya. Geng yang selalu terlibat dalam aksi perkelahian bahkan pembunuhan hanya karena masalah sepele. Beberapa teman perkumpulan meski lebih tua dua tahun sampai empat tahun harus mendekam di dalam penjara selama bertahun-tahun.
Arial berdiri di depan gerbang sekolah. Menatap mobil Iskandar yang melaju menjauh setelah mengantarnya ke sekolah. Rasa sesal selalu menderanya tanpa henti.
"Arial." Suara itu lembut. Arial Membalik tubuhnya mencari si pemanggil namanya. Ternyata Elsa, gadis itu berdiri di depan bangunan mungil dekat gerbang.
"Al." Dari arah luar gerbang Angga berjalan Arial.
"Nyokap lo jadi dateng?" tanya Arial basa-basi mengenai surat panggilan orang tua.
"Iya. Lo?" jawab Angga lanjut bertanya.
Arial hanya mengangguk.
Siap-siap aja kalian kena ceramah para Bunda, timpal Elsa menyebalkan. Ia ikut berjalan sejajar di samping Arial.
Arial menoleh datar ke arah gadis itu. Gadis yang tingginya hanya sebahu.
"Heh, pendek. Diem lo!" sentak Angga kesal.
Elsa terkekeh. Canda Abang, ucapnya menggelikan.
"Najis gue dipanggil Abang sama lo!" balas Angga jutek.
Elsa mendesis. "Segitunya lo benci sama gue," ucapnya berlalu. Galagatnya terlihat berbeda, mungkin merasa sakit hati karena ucapan Angga.
Menyadari akan hal itu, Arial menoleh pada Angga.
"Apa?" tanya Angga tidak mengerti.
Arial tidak menjawabnya, ia mempercepat langkahnya pergi meninggalkan Angga dan menyusul Elsa.
"Yaelah, tuh bocah labil amat sih! Kemaren-kemaren suka sama si Nita. Sekarang yang dikejar malah si Elsa," gerutu Angga kesal sendiri.
***
“El, udah nggak usah ngambek. Masih pagi,” bujuk Arial berusaha menyejajarkan langkah cepat Elsa.
Elsa praktis langkahnya membuat Arial ikut serta langkahnya. Lalu menatap Arial dengan serius. "Lo ngebujuk gue?" tanya Elsa dingin.
Arial diam. Eng-Gak. Gue takut aja lo marah, "jawabnya jujur.
Elsa tertawa meledek jawaban Arial. "Marah?" ulangnya tidak yakin dengan jawaban Arial.
Arial mengembuskan napasnya. "Ya udah. Gue minta maaf karena Angga ngomong yang nggak enak sama lo," ucapnya langsung tanpa basa-basi.
"Nggak. Gue nggak mau maafin," balas Elsa jutek dan pura-pura kesal. Padahal sebenarnya ia merasa senang dengan tindakan Arial untuk meminta maaf padanya meski demi Angga --- manusia menyebalkan.
"Terserah", ucap Arial datar dan langsung pergi.
Elsa terbengong dibuatnya melihat Arial yang pergi begitu saja tanpa membujuknya lagi sampai ia memaafkan kesalahan Angga. Elsa mendengus kasar melihat kepergian Arial. Emang bener, usaha gue buat dapetin lo itu sia-sia, batin Elsa kembali lanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam ruang kelasnya.
***
Tepat pukul sembilan!
"Panggilan kepada Arial Bima Pradipta kelas XII IPA 1, Angga Pratama kelas XII IPA 1 dan Gilang Arya Hadiantara kelas XII IPA 2. Untuk segera menuju ruang bimbingan konseling. Terima kasih," panggil Pak Rahmat melalui radio sekolah.
Arial memperingati kegiatan menyalin tulisan dari papan tulis di hadapannya. Angga membawa ke depan tepat ke arah Arial. Arial rekamannya hanya meliriknya sekilas kemudian bangkit dari tempat duduknya dan pamit kepada sang guru idaman, Bu Amanda. Guru Biologi paling cantik di sekolah, karena hanya beliau guru wanita satu-satunya yang mengajarkan mata pelajaran biologi.
Angga menyusul Arial sedetik kemudian. "Kok gue gugup ya, Al?" tuturnya setelah keluar dari ruang kelas dan berjalan menyusuri lorong koridor menuju ruang bimbingan.
Arial mengedikkan bahunya. "Gue juga rada lesu," sambil menatap balasnya Angga.
"Tapi gue khawatir kalo si Gilang bakal lebih banyak lagi," ucap Angga mengungkapkan spesifikasi manusia seperti Gilang.
"Maksud lo?" Ternyata tidak semua manusia yang memiliki tingkat IQ yang melampaui 170 mengerti dengan spesifikasi sederhana yang Angga lontarkan. Lebih tepatnya Arial terlihat bingung.
“Gue khawatir si Gilang manfaatin orang tua lo di depan Bu Susi. Cita-cita dia kan bikin lo ancur,” jelas Angga tanpa sensor.
Arial nampak terdiam.
"Rencana lo apa, buat ngantisipasi ulah si Gilang?" tanya Angga menatap Arial lurus.
Arial diam diam. "Gilang lagi suka ya sama Nita?" tanyanya seperti orang bodoh.
"Seperti yang lo duga, Al," jawab Angga yakin.
"Kalo gitu gue mau berhenti suka sama Nita. Biar Gilang bisa perjuangin dia," ucap Arial tulus.
"Lo mau ngelepas Nita?" simpul Angga.
Arial mengangguk.
Angga menggeleng-gelengkan sebuah kepalanya. Ia menilai risiko lain, jika Arial berhenti memperjuangkan seorang gadis. "Kalo bokap lo tau. Yakin dia nggak marah?" tanya Angga ragu dengan keputusan Arial.
Arial mengedikkan bahunya lagi. "Gue nggak peduli. Daripada si Gilang dendam mulu sama gue," jawabnya enteng.
"Terus?" Angga masih bingung dengan jalan pikiran anak jenius yang disampingnya.
"Cari yang lain. Biar bokap gue nggak ngoceh mulu," jawab Arial tepat.
Angga mengangguk-anggukan sebuah kepalanya. Mulai mengerti dengan keputusan Arial.
Langkah mereka berakhir di ruang bimbingan serta disambut tatapan ganas oleh dua wanita paruh baya dan satu pria yang duduk saling bersampingan di sofa. Tatapan mereka suka memancarkan penuh rasa kekecewaan dan amarah. Wulan saat melihat kehadiran Arial.
Arial berjalan menyalami mamanya dan dua orang yang duduk di samping Wulan. Lalu duduk di sofa set tiga sebelah kanan meja. Sementara Angga duduk di tengah-tengah yang menghalangi Gilang dan Arial. Meski sudah pasti Arial enggan duduk tepat di samping Gilang.
"Sudah siap semuanya?" tanya Bu Susi memulai persidangan.
"Iya. Jadi bagaimana ceritanya sampai anak saya terlibat perkelahian di sekolah?" Mama Angga memulai pertama membuka mulutnya.
"Silahkan, kalian ceritakan kronologisnya." Bu Susi mempersilahkan tiga anak manusia di lapangan untuk membuka mulutnya.
"Jadi gini, Bu. Persis yang saya lihat, Gilang melempar bola dengan tepat mengenai punggung Arial dan setelahnya berteriak memaki Arial tim Arial terpancing emosi ---" Penjelasan Angga tiba-tiba terputus begitu saja.
"Maaf, Bu. Saya tidak percaya, karena anak saya tidak mungkin melakukan hal semacam itu," potong Ramlan --- Papa Gilang --- yang sudah pasti akan mundur anaknya.
"Maaf, Om. Gilang nggak semanis saat di depan Om. Dia busuk di belakang, Om," tandas Angga menahan rasa kesal.
Bu Susi berusaha melerainya. Meminta Ramlan untuk bijak mendengarkan penjelasan Angga. Lanjutkan, pinta Bu Susi kepada Angga.
"Emang Gilang bilang apa ke kamu, Al? Sampe kamu tega mukul Gilang," interogasi Wulan pada anaknya.
Masalah lama, Ma, jawab Arial tidak ingin menjelaskan panjang lebar, karena Wulan sudah pasti akan mengerti maksudnya.
"He will be issue big antara keluarga Ibu dan keluarga Bapak," terka Bu Susi pada Wulan dan Ramlan.
Wulan dan Ramlan terlihat tak bergeming.
"Iya. Semacam masalah keluarga," jawab Arial datar.
"Jika masalah keluarga. Mohon maaf saya tidak bisa ikut campur dan hanya bisa melerai masalah perkelahian antara Angga, Gilang dan Arial. Sebaiknya kalian bertiga saling meminta maaf dan memaafkan," ucap Bu Susi yang bijaksana.
"Tapi mengenai pengakuan Gilang kepada Bu Susi. Maaf, saya tidak bisa menerimanya, Bu," balas Angga meminta maaf kepada Gilang sebelum Gilang menceritakan yang sebenarnya.
Bu Susi menatap Gilang. "Gilang. Kamu termasuk siswa teladan. Apa pengakuanmu benar? Katakan yang sejujurnya," tegas Bu Susi ucapannya tertata-tata sangat rapi membuat Gilang sedikit gusar mengenai kebohongannya.
"Nggak mungkin saya melakukan seperti yang dikatakan Angga, Bu," jawab Gilang sesantai mungkin. Ia masih tidak mau mengaku hanya karena masalah gengsi keteladanannya di sekolah.
Coba ceritakan kepada Ibu, "pinta Bu Susi ingin mendengarkan lebih detail mengenai pengakuan versi Gilang.
Gilang diam diam. Membuat situasi seakan nyata bahwa Arial lah yang salah. "Jadi gini, awalnya saya hanya ingin bercanda. Tapi saya tidak sengaja nendang bola dan mengenai Arial. Saya mencoba untuk meminta maaf berulang kali kepada Arial. Tapi Arial malah mukul saya. Untung saja Angga datang dan mencoba melerai kami, meski sudah Angga harus mukul Arial agar berhenti memukuli saya, "jelas Gilang penuh memanipulasi cerita.
"Bohong!" tandas Angga cepat. "Al. Coba lo ceritain yang sebenarnya!" pintanya gemas.
Arial menarik nafasnya. "Iya. Bener yang dikatakan Gilang," ucap Arial tak terduga.
Semua mata di ruang bimbingan nyaris copot. Wulan yang tidak menyangka dengan pengakuan versi Gilang dan Angga yang ternyata sia-sia menyebut Arial.
"Kamu yakin?" tanya Bu Susi sedikit ragu.
Arial hanya mengangguk singkat.
Wulan terlihat lemas mendengar pengakuan anaknya. Ia benar-benar kecewa pada Arial. Meski ia tidak mempercayai ucapan Gilang.
"Baik. Atas pengakuan dan penjelasan mereka bertiga. Klarifikasi masalah ini selesai," ucap Bu Susi menyudahi persidangan. "Untuk keadilan dalam penghukuman. Pihak sekolah menjatuhkan hukuman pembinaan di basecamp , untuk Arial satu minggu, untuk Angga lima hari dan untuk Gilang tiga hari," lanjut Bu Susi bijak memberikan keputusan jatuhan.
Wulan menatap Arial dengan tajam. Wanita paruh baya itu menggeleng-gelengkan sebuah kepalanya. Hatinya terasa diremas keras oleh tangan mungil malaikat kecilnya.
"Terima kasih atas waktunya, Bapak dan Ibu bantu keluar," ucap Bu Susi dengan sopan mempersilahkan tiga wali murid itu keluar dari ruang bimbingan.
Terima kasih, balas tiga wali murid itu bergantian.
Arial wajah menatap langkah Wulan yang menjauh dan keluar dari ruang bimbingan tanpa sepatah kata apapun. Kedua, menopang dagu. Keputusannya memang gila, Arial tahu. Ia paham!
Tidak hanya Wulan, Angga juga ikut kecewa dan segera meninggalkan Arial untuk menyusul mamanya. Gilang, laki-laki itu tengah membentangkan spanduk kemenangan di atas senyum penuh rasa puas meski detik berikutnya ia ikut pergi meninggalkan ruang bimbingan bersama papanya. Sedangkan Bu Susi, kembali ke aktivitasnya semula.
Arial bangkit, ia berjalan pelan menuju ruang kelasnya. Kedua negara, kekayaan, ke dalam saku celana abu-abu. Pikirannya melayang tak karuan. Ma, Pa. Maafin Arial. Arial menengadahkan kepalanya ke atas.
***
Istirahat pertama berbunyi. Langkah Arial berbelok ke dalam ruang loker. Memasukkan kuncinya lalu memutarnya. Arial open door loker, disana ada beberapa surat warna warni yang berisi tentang perasaan antara suka dan benci. Tapi Arial enggan memungutnya, ia hanya akan di dalam kaleng bekas yang ia buat seperti celengan atau semacam kotak amal. Dan akan membacanya jika sedang benar-benar niat.
BRUK !!!
Angga datang dan langsung mendorong tubuh Arial hingga nyaris mencium lemari loker yang lain. "b**o ya lo ?!" tajam Angga penuh amarah.
Arial Membalikkan tubuh dan menatap Angga.
"Ini balasan lo setelah gue bela-belain lo dan lo lebih memilih ngebela si j****k itu ?!" geram Angga menarik kerah kemeja Arial dengan kasar.
" Maaf , Ga. Gue bisa jelasin," ucap Arial terdengar lemah.
"Jelasin apa lagi? Jelasin kalo lo b**o ?! Jelasin kalo IQ 170 lo ternyata hasilnya lebih t***l dari udang ?!" runtut Angga tak sanggup lagi menahan emosinya.
Arial benar-benar lemah saat ini. Kevin yang berdiri di ambang pintu ruang loker segera menutup pintu rapat-rapat. Perlahan Arial menjatuhkan dirinya ke lantai. Tatapannya kosong. Napasnya terdengar hampa. Keputusan gue bikin kalian kecewa. Gue cuma nge-iya-dalam ucapan Gilang. Gue pengin tau mau sampe mana tindakan Gilang, "jelas Arial memandang lantai.
"SAMPE LO ANCUR, AL!" teriak Angga mengangkat wajah Arial dengan kasar. Ia berjongkok di depan Arial.
Sementara Arial yang berusaha tetap tangguh, tapi Angga yang terbakar emosi.
"Gue nggak habis pikir sama lo. Denger, Gilang nggak akan puas sebelum ngeliat lo ancur. Dia nggak bakal kasian sama lo yang memasang sodara sepupu," tegas Angga tajam.
Arial mengembuskan napas beratnya. Keputusannya memang terlalu beresiko.
Angga berdiri tegak lalu meninju negeri sendiri ke lemari loker dengan gemas. Sementara Arial masih terduduk pasrah dan lemah di bawah.
"Udah, Ga. Mending kita cari cara lain," saran Kevin berusaha meredam emosi Angga.
"Nyesel gue," ucap Angga pergi meninggalkan Arial dan Kevin.
Arial menekuk dengkulnya, lalu meluruskan di atas lutut. Kevin duduk di samping Arial, duduk seperti di posisi Arial. Tapi kesepuluh jarinya saling tertaut. Arial menundukkan kepalanya di antara kedua dengkul dan amat sangat.
"Gue gak tau harus berpihak sama siapa. Gue cuma berharap, kalian cepet baikan," ucap Kevin terdengar penuh harap. Ia menepuk pundak Arial lalu bangkit dan pergi.