"Sahabat, orang pertama yang akan lebih peduli dengan keadaan kita."
~Kevin~
Arial duduk di lantai menyandarkan tubuhnya di tepi ranjang. Sunyi dan remang. Angga muncul dari balik pintu disusul dengan kedatangan Gilang di belakangnya.
Suasana terasa kaku dan semakin dingin menusuk tulang. Gilang berdehem. "Ehm ... Kok diem-dieman?" pancingnya memulai.
Tidak ada yang menyahut. Arial maupun Angga memilih untuk diam.
"Bro!" Suara Gio memecahkan keheningan di ruangan yang berisi empat ranjang.
Arial dan Angga menoleh ke arah Gio. "Bukan lo. Maaf ," ucap Gio untuk Angga.
Arial menoleh pada Angga. Ia sendiri bingung dengan maksud Gio.
“Iya lo,” ucap Gio menunjuk Arial. Lalu menyelipkan bolpoin yang dipegangnya ke mulut, buka bergerak cepat membuka lembaran buku penuh angka.
Arial menatap Gio.
"Gue nggak ngerti tentang gelombang elektromagnetik. Bisa lo jelasin?" ucap Gio memberikan bukunya pada Arial.
Arial diam menatap buku Gio. "Lo kelas berapa?"
"Gue kelas XII IPA 3," jawab Gio.
Arial mengerutkan keningnya. Ia baru melihat laki-laki di penjara ini. Sepertinya Arial pernah mendengar tentang nama Gio sebelumnya, tepatnya Giorgino Almahendra. Ah, mungkin banyak nama yang sama. Cepat-cepat Arial menepiskan ingatan itu yang slow-lahan akan membawanya ke masa tiga tahun yang lalu. "Mana yang mau gue terangin?" tanya Arial kemudian.
"Semua," jawab Gio dengan enteng.
"Kayaknya lo perlu baca dulu deh." Arial mengembalikan buku Gio.
"Beneran. Semuanya gue nggak ngerti. Apalagi lambang-lambang kayak ginian," balas Gio sambil menunjukan banyak lambang-lambang fisika yang ia tulis di buku.
Arial mengembuskan napasnya perlahan. Ia menarik buku fisika milik Gio dan meminta permintaan bolpoin yang dipegang Gio. Lalu arti dari simbol-simbol fisika. "Sigma lo ngerti?" tanya Arial.
Gio menggeleng.
"Alfa?" lanjut Arial.
Gio menggeleng lagi.
"Delta? Eta?" tambah Arial.
"Gue musuh sama fisika," jawab Gio.
Arial meletakkan buku Gio dengan geram. "Terus ngapain lo minta gue buat nerangin ini semua?" Ia menatap Gio dengan sorot dingin.
"Sebentar lagi kan UN," balas Gio enteng.
Arial berdecak. Terlihat di matanya bahwa Gio adalah sosok pemalas sama sepertinya jika saja ia tidak dibesarkan oleh Wulan dan Iskandar. "Perhatiin." Arial mulai menjelaskan materi gelombang elektromagnetik dari awal. Perhatian dari pengertian sampai pembahasan materi dengan penuh kesabaran. Karena sesekali ia melihat Gio terpejam dan nyaris tertidur pulas jika saja ia tidak segera menepiskan tangan Gio sebagai penopang dagunya.
"Baru tau gue, ada pembunuh bisa ngajarin orang," celetuk Gilang tanpa dosa. Ia pura-pura sibuk membolak-balikkan buku catatannya.
Arial hanya diam. Mengacuhkan Gilang yang semakin menjadi-jadi untuk menghancurkannya.
"Kalo phi maksudnya gimana?" tanya Gio masih belum paham dengan apa itu ' phi ' sekaligus mencairkan suasana kaku.
"Yah, orang b**o diajarin sama orang b**o apa jadinya ya?" timpal Gilang.
Gio bangkit dari duduknya lalu menatap tajam Gilang. "Eh bangke!" teriak Gio pada Gilang. Kakinya sudah berancang-ancang untuk melangkah Gilang dan ingin segera melayangkan tinju di wajah Gilang. Namun Arial segera mencegahnya.
"Udah. Biarin aja. Anggep aja dia gak ada," ucap Arial penuh ketenangan.
"Awas aja lo! Belum tau siapa gue," ancam Gio geram.
Gilang hanya menyedikan bahunya dan mencibikkan bibirnya.
"Eh, Angga! Lo jangan deket-deket dia. Bisa-bisa kena virus," ucap Gio pada Angga.
Angga yang sibuk membaca buku dan ranjangnya tepat bersebelahan dengan Gilang hanya menganggukkan kepalanya.
"Lo niat belajar gak sih?" ketajaman Arial menatap Gio.
"I-iya," jawab Gio pucat melihat wajah tegas Arial.
Di atas ranjangnya Gilang yang menahan tawanya saat melihat ekspresi Gio yang mendapatkan sorot tajam dari Arial.
"Ya udah lanjut," pinta Gio takut-takut.
Kalau saja tidak ada kewajiban untuk menularkan ilmu yang bermanfaat pasti Arial sudah memilih untuk tidur.
Sampai semalaman suntuk ia mengajari Gio mengenai gelombang elektromagnetik sampai Gio benar-benar bisa mengerjakan soal dengan benar. Lagi pula, Gio sendiri yang memintanya.
***
Arial mengenakan sepatunya. Angga dan Gilang sudah lebih dulu keluar dari kamar asrama. Tapi Gio masih sibuk mengaitkan kancing kemejanya, sesekali ia meletakkan ke arah Arial.
" Bro! " Panggil Gio sambil berjalan Arial.
Arial kemudian menegakkan tubuhnya.
" Terima kasih ya buat semalem," ucap Gio basa-basi.
Arial mengangguk. "Iya," balasnya.
"Lo anak teladan kok bisa masuk basecamp sih, Bro? " Tanya Gio masih ada.
"Gue juga manusia, kali," balas Arial logis sambil berlalu.
Gio mengangguk-anggukan sebuah kepalanya. Benar-benar berlogika! Ia tertawa kecil lalu mengejar langkah Arial. "Gue udah dua tahun disini," ucap Gio bercerita.
Kasus apa? tanya Arial sekiranya penting.
"Bolos," jawab Gio.
Arial hanya diam. Menunggu Gio melanjutkan ceritanya.
"Gue sebenernya males sekolah. Buat apa sekolah kalo nggak ada yang bangga ngeliat gue?" pikir Gio.
Arial tertawa kecil. "Seenggaknya ada yang bisa lo banggain di diri lo sendiri," sahutnya menjadi bijak.
"Gue udah putus asa. Bokap gue kawin lagi, nyokap gue gila dan bunuh diri. Sodara-sodara gue yang lain juga lepas tangan," curah Gio mengenai kesakitannya.
Arial mengangguk paham. "Kalo lo mau. Lo bisa dateng ke rumah gue," balas Arial membagi kasih sayang Wulan atau Iskandar pada Gio.
"Lo kasian sama gue?" tangkap Gio memahami pemahamannya.
Arial hanya diam tidak merekomendasikan untuk menjawab pertanyaan Gio.
"Tentang Gilang. Gue juga gedeg sama dia," kata Gio pembicaraan pembicaraan.
Arial masih memilih diam dan tidak ingin membahasnya.
Gio ikut diam. Mereka menuruni tangga menuju lapangan basecamp .
***
Arial mengusap wajahnya yang berkeringat. Ia duduk di tepi lapangan basecamp setelah awal paginya dipenuhi dengan teriakan Pak Anwar selaku pembina di basecamp . Lima menit lagi menuju bel masuk di pelajaran pertama. Gio berjalan menghampirinya disusul dengan Pak Anwar yang langsung duduk di samping Arial.
"Tumben banget kamu jauh dari Angga?" tanya Pak Anwar.
"Lagi musuhan dia, Pak," sahut Gio polos.
“Yah, udah nggak jaman musuhan,” keluh Pak Anwar menganggap Arial ketinggalan jaman.
"Terus yang jaman apa, Pak?" tanya Gio terlihat lugu.
"Meminta maaf dan saling memaafkan. Kayak kamu ke Bapak," jawab Pak Anwar dilanjut menunjuk Gio dengan bangga.
Pak Anwar dengan Gio memang sudah terlihat seperti anak dan bapak. Pernah suatu hari, Gio lupa bahwa Pak Anwar adalah orang lain karena Gio sudah terlalu menganggap Pak Anwar sebagai orang tuanya.
Arial masih diam dan sesekali menyeka keringatnya lalu ia mengangguk singkat.
"Keputusan kamu menurut Bapak itu salah. Walaupun kamu merekomendasikan agar Gilang tidak membencimu," ucap Pak Anwar pada Arial.
Arial memilih diam dan mendengarkan ucapan Pak Anwar selanjutnya.
"Angga sudah rela membatalkan kamu sampai dia ikut turun tangan. Sementara kamu yang dibela Angga, malah kecewa," lanjut Pak Anwar diam yang didirikan. "Penjelasan Angga untuk membatalkan kamu itu benar dan menjelaskan Gilang untuk mengatakan dirinya sendiri itu salah. Nah, ketika kamu menyebutkan bahwa penjelasan Gilang adalah benar, itu sama seperti kamu menyebutkan bahwa penjelasan Angga salah," tambah Pak Anwar panjang lebar.
Arial mengembuskan napasnya yang panjang.
"Sebaiknya kamu segera meminta maaf pada Angga. Dia curhat ke Bapak kedengernya sedih banget," ucap Pak Anwar.
"Dia cerita ke Bapak?" tanya Arial mulai bersuara.
"Bapak yang nanyain dia," jawab Pak Anwar sedikit nyeleneh.
Arial memutar bola matanya.
"Jadi yang bener Angga, kan Pak?" Celetuk Gio yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
"Yang bener itu Tuhan," jawab Pak Anwar segera berlalu.
Gio mematung.
***
Bel berbunyi dengan sangat nyaring. Arial menutup buku catatannya setelah selesai menyelesaikan soal biologi dan harus segera ia mengumpulkan di atas meja Bu Amanda. Hilir mudik para siswa XII IPA 1 keluar dari ruang kelasnya. Arial menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Ia melihat Angga keluar kelas tanpa ajakannya. Untuk kesekian kalinya Arial mengembuskan napasnya dan memutuskan untuk menyusul menyusul langkah Angga.
"Ga," panggil Arial setelah langkahnya sejajar dengan Angga. Namun yang menoleh Kevin dan Angga tidak menggubris panggilan Arial, ia tetap melanjutkan langkahnya seolah Arial tidak ada.
Mata Arial menatap Kevin. Yang di tatap hanya mengangkat bahunya dengan singkat.
"Ga. Tolong , gue mau ngomong sama lo," bujuk Arial yang sebenarnya tidak pandai membujuk orang.
Angga masih diam dengan sikap cuek.
"Gue minta maaf," ucap Arial dengan jelas.
Mendengarnya Angga berdecih dan tertawa.
Kevin menatap kedua gambar bergiliran. "Gue cabut dulu," pamitnya menepuk bahu Angga kemudian Arial.
Angga diam. Arial hanya mengangguk.
“Maaf lo, nggak sebanding dengan rasa sakit gue,” tajam Angga menunjuk pada dadanya.
Arial diam diam. Baru kali ini melihat ekspresi tajam Angga. Biasanya laki-laki itu akan tetap hangat, ada kesalahan besar yang Arial lakukan dan akan menganggapnya seolah tidak pernah terjadi. Angga yang selama ini Arial kenal adalah sosok penikmat keadaan dengan segala rasa kesabarannya. TAPI tidak dengan sekarang ekspresi wajah Angga nampak sedang menindasnya.
Arial menarik nafasnya perlahan. "Gue bisa jel ---" ucapan Arial terhenti begitu saja. Ia merasakan lebih hangat. Tangannya kemudian meraba tubuh yang sedang mengerjakannya seakan tidak percaya dengan penglihatannya yang normal.
Angga menerapkannya dengan tiba-tiba dan sangat mengejutkan. Tapi dikejauhan Kevin tersenyum lega bersama puluhan pasang mata yang sedang menatap dua insan adam dengan aneh.
Menyadari akan hal itu, buru-buru Arial tubuh Angga yang menerapkannya dengan khidmat. "Gue masih normal," ucapnya dingin.
Pandangan Angga mengedar ke sekelilingnya. Memang benar! Banyak tatapan yang menatapnya dengan jijik.
"Ganteng, tapi sayang. Gay!" teriak salah satu siswi dikejauhan.
Dua sorot tajam mata Arial dan Angga tertuju pada sumber suara. Elsa.
"Pantesan lo nolak gue!" teriak Elsa lagi. Kesal.
Rahang Arial mengeras. Tapi tatapannya teduh dan mengarah pada wajah Angga. Sayang, panggilnya lembut pada Angga.
Angga. Tatapan Arial dengan hangat Seolah mendukung program Arial untuk menjadi seorang gay dadakan karena terlalu lama menjomblo. "Apa sayang?" balas Angga kemudian.
"Lain kali kalo mau pelukan jangan di sini," ucap Arial begitu terdengar halus.
"Terus di mana?" tanya Angga sedikit manja membuat beberapa mata yang melihatnya merasa jijik.
"Di kamar mandi aja, kita sekalian # $ & £ ¢ € ¥," jawab Arial sedikit lebih keras dan di akhir ucapannya ia membisikkan sesuatu kepada Angga.
"Nggak mau! Nanti aku hamil!" teriak Angga seolah panik sendiri membuat orang yang mendengarnya bergidik ngeri.
"Ya udah yuk? Di coba aja dulu," ajak Arial menggandeng tangan Angga dengan mesra.
Melihat kelakuan dua gambar yang semakin gila, Kevin seperti memiliki kewajiban dadakan untuk menyadarkan Angga dan Arial dari khilafnya.
"ANGGAAAAA !!!!!! ARIALLLLL !!!! GUE JIJIK NGELIAT LO BERDUA !!!!!!" teriak Elsa menyaingi suara sirine pada mobil polisi. Seketika semua mata tertuju padanya. Gadis itu segera berlalu.
"Lo apa-apaan sih?" tanya Kevin kedua alisnya nyaris tertaut.
Tawa Angga meledak disusul dengan tamparan pelan tangan Arial. "Ketawa lo ?!" ketus Arial. Namun sedetik kemudian ia ikut tertawa. Kevin juga ikut tertawa melihat cara Arial tertawa yang terlihat lebih luwes.
Pasang puluhan mata yang melihat adegan drama gratis Arial feat Angga, menggeleng-gelengkan kepalanya. Banyak cibiran, cemoohan dan bisik-bisik tetangga terdengar jelas oleh telinga ketiga anak manusia itu. Namun mereka mengabaikannya.
"KITA YANG GILA, LO YANG REPOT !!!!!! HAHAHAHA," teriak Angga terbahak-bahak.
"Ogah. Lo aja yang gila," Kevin merasa dirinya timpal normal.
Arial tertawa merangkul kedua deretan.
"Heh. Kamu lagi apa? Ini sekolah bukan hutan," tegur Pak Tora mengejutkan dari belakang.
Tawa Angga, Arial dan Kevin seketika lenyap saat mendengar suara bariton yang khas dan terdengar familiar.
Kenapa diam ?! " tanya Pak Tora lagi. Terdengar sangat mengintimidasi.
Perlahan Angga membawa ke belakang. Disusul dengan cengiran abstrak yang dimilikinya. "Eh, sayang," ucap Angga tanpa sadar.
Kevin dengan cepat menyenggol lengan Angga.
“M-maksudnya 'Bapak'. Hehehe,” ralat Angga terkekeh sendiri dan merasa malu setengah mati.
Sementara Arial tengah menahan asemnya kelakuan Angga hingga wajahnya berubah menjadi mengerut masam.
"Lari keliling lapangan. Lima kali!" tegas Pak Tora memberikan perlindungan seenak jidatnya.
Angga, Arial dan Kevin terperangah.
"Cepat!" pekik Pak Tora sudah habis kesabaran.
"I-iya, Pak." Mereka mengangguk kaku.
Angga kemudian berlari mengawali deret.
"Lo sih gila, Ga," protes Kevin pada Angga.
"Lagian ngapain lo ikut-ikutan gila?" balas Angga menyebalkan.
Arial tertawa kecil mendengar jawaban ajaib dari Angga.
***
BRUK!!!
Kevin menjatuhkan tubuhnya di atas lantai koridor ruang kelasnya. Diikuti oleh Arial dan Angga. Mereka menyandarkan tubuhnya di tembok.
"Gue baru tau, di kelas ini banyak gembel", celetuk Adit begitu saja melewati koridor kelas XII IPA 1.
“Ya udah sebut aja trio orang malang ,” sahut Gilang tak kalah keterlaluan.
"Anjing lo!" geram Kevin tidak terima lalu bangkit dan mendorong keras dua orang anak manusia di lapangan hingga terjerembab.
BRUKK !!!!
Gilang dan Adit meringis. Sontak membuat orang-orang yang melihatnya bersorak sorai hingga suara tertawaan mengalun riuh.
"Mampus lo!" teriak Bastian terbahak-bahak langsung mendapatkan sorot tajam dari Gilang.
"Awas aja lo!" ancam Adit tajam lalu segera pergi.
Angga menggeleng-gelengkan sebuah kepalanya menertawai Adit yang nampak konyol. Arial juga ikut menertawai Gilang dan Adit membuat laki-laki itu semakin merasa dendam padanya. Sedangkan Kevin sedang mengembangkan senyum penuh kebanggaan, kali ini dia berani terjatuh karena ulahnya.
"Gak perlu lagi deh kita jagain nih curut," ucap Angga melaporkan Kevin.
"Lebay lo!" balas Kevin sebal.
Arial terkekeh. Jika harus mengatakan yang sejujurnya, ia merasa cukup terbebani oleh Kevin karena dia tidak pandai berkelahi.