PHY 16 - Menepis rasa

2143 Words
"Gue sadar. Ada lo yang pantang menyerah." ~Arial~ Arial memutar tubuh, menatap jam dinding yang terletak di belakang. Lalu kembali menghadapkan tubuhnya ke depan. Namun tatapan itu bertemu, pandangan Nita terlihat jelas sedang menoleh ke arahnya membuat Arial seketika pandangan pandangan itu dengan tatapan yang teramat dingin. Nita segera memalingkan wajahnya kearah depan, dia bergidik ngeri dengan tatapan Arial. Tumben Arial aneh banget , batin Nita merasakan keanehan dalam diri Arial. Arial kembali fokus pada perhatiannya pada papan lebar berwarna putih di hadapannya. Benar-benar membosankan! "Masih lama, Al," seletuk Angga pelan seakan tahu yang Arial lakukan barusan. Ia melirik Arial sekilas tanpa membalikkan tubuhnya. Arial hanya mendengus pelan. Bel pulang sekolah masih satu setengah jam lagi. Arial menundukkan kepalanya di atas meja. "MAMAAAAAAAAAA !!!!!!!" Sesosok anak laki-laki yang berlari cepat menunggu kobaran api yang semakin besar. Tapi seorang pria paruh baya segera menjembanya dan menerapkannya untuk menenangkannya. Tangisannya begitu pilu. Terdengar jelas bahwa enggan kehilangan sesuatu yang berharga. Sementara, dirinya hanya mematung menatap kobaran api tanpa banyak yang bisa ia lakukan. "Seharusnya aku yang mati," begitu kata hatinya. "Bukan orang baik seperti Tante Lidya," lanjutnya. Sekonyong-konyong banyak orang membawa wadah apa saja asal bisa menyimpan udara untuk memadamkan api. Dia masih mematung. Arial mendesis. Merasakan nyeri pada d**a kanannya. Detak jantungnya menjadi dua kali lebih cepat. Peristiwa yang sudah terlewat belasan tahun seketika tanpa ijin mampir ke dalam ingatannya. Tanpa sadar Arial kumpulan-ngetukan informasi pelan lalu menggeleng cepat. Berusaha mengenyahkan semuanya yang nyaris gila. Akhirnya bel pulang berbunyi. Arial segera membereskan semua peralatannya lalu meninggalkan ruang kelasnya. Namun dengan cepat Angga dan Kevin menyusul langkahnya. "Muka lo pucet. Lo sakit?" tanya Kevin sedikit cemas. Arial menggeleng cepat. "Serius lo?" tambah Angga tidak yakin. Arial mengangguk singkat. Gue duluan, pamitnya terburu-buru. Berjalan cepat ke arah toilet. Angga dan Kevin saling melempar pandangan bingung. Kevin mengangkat kedua bahunya bertanda tidak tahu apa-apa. Angga meresponnya langsung menyusul Arial, namun jejak Arial sudah menghilang begitu cepat. Padahal tidak lebih dari dua menit mereka saling melempar pandangan penuh kebingungan. "Ke mana dia?" tanya Kevin begitu datang di belakang Angga. Angga menggeleng. Lalu segera masuk ke dalam sebuah ruang. Perasaannya mengatakan bahwa Arial berada di sana. Kevin berjalan mengekor Angga. *** Arial menggeleng cepat saat melihat pantulan wajah di cermin. Sesekali membasuhkan air kewajahnya. Angga muncul dari balik pintu. "Al," panggilnya. Arial menoleh dan memutar tubuhnya lalu menyandarkan bokongnya di wastafel. "Cara ngejauhin Nita gimana ya?" polos tanyanya. Kevin berdecak. "Saran gue sih gak usah lo jauhin. Lo cukup biasa aja," jawab Kevin. "Ya gimana lo ngejauhin Elsa aja, gitu," tambah Angga cukup bernapas lega. Arial mengangguk-anggukan sebuah kepalanya. "Kalo gue gak bisa gimana?" tanya Arial lagi betah g****k. Coba cintai Elsa, saran Kevin menyakitkan. Angga tertawa kecil. "Seenggaknya lo ngebales perasannya lah," ucapnya seenak jidat. Arial berdecak. "Daripada lo meletakkan mati sama bokap lo," tambah Angga ingat dengan larangan Iskandar yang akan dilepas pada Arial jika masih menjomblo. "Demi sepupu lo juga. Biar dia gak bunuh diri nyusul nyokapnya," jeplak Kevin tanpa pikir panjang. Sedetik kemudian mendapat pukulan yang mendarat bebas di pelipisnya. Angga menaboknya dengan tega. "Udah sono lo pulang!" usir Angga sengit. Kevin merengut. " Dedek Atut , " keluhnya Sambil menautkan kedua jari telunjuknya. Rautnya seperti penyandang autis. Angga bergidik melihat kelakuan teman gilanya. "Najis," bisiknya tajam. “ Hyung jahat,” balas Kevin sok imut tapi menjijikkan. Tangan Arial terangkat lalu penyelidikan dahi Kevin. "Rada panas, Ga," informasinya dengan seaktual mungkin. "Nih udara. Siram aja," perintah Angga gemas. Kevin mendesis kesal dan menepis tangan Arial dari dahinya. "Awas lo berdua," ancamnya hanya untuk main-main. "Apa lo? Balik sono!" usir Angga melebarkan matanya. Kevin menunjukkan pantatnya ke arah wajah Angga, sedetik kemudian dia segera mengayunkan seribu langkahnya Cipta kilat agar terhindar dari terkaman buas Angga. Arial hanya tertawa kecil melihat tingkah laku kedua. "Kapan ya lo berdua waras?" ucapnya keras seakan mengeluhkan kondisi mental Angga dan yang paling utama Kevin. Angga mencibikkan bibirnya kesal. "Udah cepet! Sepuluh menit lagi harus balik ke basecamp ," gertaknya. Arial tertawa sambil melenggang santai keluar dari toilet. "Mana sisa toples gue," sambut Elsa dengan tiba-tiba. Nadanya datang penuh pesan dan ekspresinya terlihat sedang serius. Arial langkahnya tepat di samping Elsa. Dia menaikkan alisnya. "Toples," ulangnya. "Lo b***k?" ketus Elsa. Arial berdecih dan sedikit tertawa. "Gini ya, El? Abis pelatihan di basecamp gue bakal bawa semua tuh toples lo. Jadi minggu depan gue bawa semua tanpa ada yang tertinggal," janji Arial serius. Elsa memicingkan matanya. "Serius lo?" ketajamannya. Arial mengangguk singkat. "Oke," setuju Elsa melipat kedua di depan d**a. Angga menepuk bahu Arial. "Gue duluan ya?" pamitnya. Arial mengangguk. Angga pasti mengerti bahwa ada yang ingin Arial bicarakan dengan Elsa dan hanya empat mata. Angga sudah berlalu menjauh, Arial melihat jam di arloji yang dia kenakan lalu beralih pada Elsa yang masih asyik menyandarkan punggungnya di tembok. "Lo gak masuk?" tanya Elsa datar. Pura-pura tidak peduli. "Lima menit lagi gue masuk ke basecamp . Gak ada yang mau lo omongin?" tanya Arial berharap kalau Elsa akan mengatakan sesuatu. "Omongin apa lagi?" sahut Elsa merasa agak aneh dengan tingkah Arial yang menurutnya sangat tiba-tiba berubah. Arial menggelengkan sebuah kepala. Lalu tersenyum simpul. “Ya udah gue duluan,” pamitnya kemudian. "Oh iya, Arial," panggil Elsa menegakkan tubuhnya. Arial langkahnya yang baru selangkah berjalan. "Gue denger, lo naksir nita ya?" ceplos Elsa tak sabar. Menyadari hal itu dia segera memejamkan matanya rapat-rapat. Merutuki kebodohannya di dalam hati. Bukankah dia sudah menanyakan hal ini pada Arial? Arial terdiam tanpa membalikkan tubuhnya menghadap Elsa. "Aduh! Maaf , Al. Gue nggak bermaksud," keluh Elsa menyesali pertanyaannya. "Iya nggak apa-apa. Itu cuma gosip," sahut Arial Membalikkan tubuhnya menatap Elsa. Elsa merasakan seluruh oksigen di atmosfer sekitarnya mulai menipis. "Ya udah gue mau balik ke laboratorium biologi. Bu Amanda udah nunggu," dalihnya segera pergi dari hadapan Arial karena mulai merasa canggung. Namun dengan cepat tangan Arial merangkulnya dengan hangat begitu. Ia berharap dengan caranya dapat menepis perasaan yang terus menderanya tanpa ampun, semacam mencintai Nita meski belum lama dan harus segera dibebaskan demi perasaan Gilang. Seharusnya Arial tidak sadar, perasaan emosi Elsa jauh lebih baik menumbuhkan sebuah rasa yang baru ia kenal. "Maaf," ucap Arial lemah. Elsa terpaku. Ia merasakan desiran darahnya begitu cepat mengalir ke seluruh tubuhnya namun dengan seketika tubuh di tubuh. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Semua di sekujur tubuhnya terasa kaku. Dengan cepat dia dapat menerapkan dekapan Arial di tubuhnya. “Hati gue bukan mainan,” tegas Elsa segera beranjak pergi dari hadapan Arial. Jika harus berkata sejujurnya, Elsa begitu harapan balasan dari sosok datar yang selama ini dia kejar. Arial meremas menatap menatap kepergian Elsa. Perasaannya seperti benar-benar dipermainkan oleh keputusan gila. Tanpa sadar dia meninju tembok yang berada di sampingnya dengan keras. Gila, Arial ?! Teriaknya dalam hati. *** Arial berjalan lunglai masuk ke dalam kamar basecamp dan terduduk lemas di atas karpet. Arial menyandarkan tubuhnya pada dipan jati di belakangnya. Beberapa menit lagi dia harus mengikuti pelatihan fisik di sore hari. "Why, bro?" tegur Gio mulai sok akrab. Arial menggeleng. "Nggak," jawabnya singkat lalu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari pakaian, handuk mengambil setelah menyimpan peralatan sekolahnya dengan rapi. Dia kembali berjalan menuju kamar mandi. Jangan deket-deket si Arial lo, Gi. Ntar ketular virus gila, mulai Gilang menyulut api permusuhan. Arial hanya menganggap Gilang tidak ada. "Dasar lo. Sepupu durhaka!" gertak Gio sengit. Gilang berdecih. "Najis," ucapnya penuh kontrol. "Bener-bener lo ye ?!" Gio menggeleng-gelengkan kepalanya penuh rasa prihatin dengan kesaudaraan moral yang Gilang punya. Angga muncul di balik pintu. Melenggang masuk dengan postur menatap Gilang. "Denger ya, Lang? Selama niat lo buruk. Lo gak akan bahagia," sambungnya tidak main-main. "Denger, gue nggak ada urusan sama lo!" balas Gilang sengit lalu segera pergi. Pandangan Angga yang sempat mengikuti langkah Gilang beralih pada Gio. Gio hanya mengangkat kedua bahunya. "Arial mana?" tanya Angga saat matanya tidak melihat sosok datar. "Mandi," jawab Gio singkat. Angga hanya mengangguk-anggukan kepalanya. *** "ARIALLLLL !!!! Gue cinta sama lo. Please jadi pacar gue !!!" teriak Elsa tidak tahu malu kala itu. Arial memejamkan matanya. Suara Elsa begitu nyaring di telinganya. Ia meletakkan penanya hingga terdengar bunyi khas yang timbul dari benturan antara pena dan meja. Angga dan Gio menoleh. Kenapa lo? " tanya Gio tidak merasa tidak terganggu karena konsentrasinya harus pecah oleh suara yang Arial timbulkan. Arial menggeleng. Lalu mengusap posisinya dengan bangga. "Mama kecewa sama kamu, Arial!" teriak Wulan seperti tepat di telinga Arial. Arial menggeleng lagi. Berusaha mengontrol emosinya. Angga menatapnya dengan heran. "Lo nggak apa-apa, Al?" "Pembunuh !!!!" Suara teriakan anak laki-laki berumur empat tahun ikut bergema di telinganya. Arial mendesis sebal dengan keadaannya yang tiba-tiba selalu mendengar suara yang paling tidak diinginkannya. "Heh, lo baik-baik aja kan?" Gio ikut-ikutan panik. Arial menggeleng. Ngantuk gue, dalihnya pandangannya pada jam dinding yang terpasang di gazebo kayu palang. Tepat pukul sepuluh malam. "Ye, baru juga setengah jam belajar!" protes Gio merasa rugi. "Besok lagi aja. Gue udah nggak kuat nahan," balas Arial seakan-akan ia benar-benar sedang dilanda rasa kantuk yang sangat berat. Meski sebenarnya adalah hatinya yang sedang diserang kegalauan. Lantas segera bangkit dari duduknya. Taman halaman depan basecamp yang semakin membuat Arial merasa dihantui dengan banyak kejadian buruk di masa lalunya. Terutama kematian Lidya demi menyelamatkan nyawanya. Arial memang harus benar-benar berterimakasih. Namun perlakuan Gilang terhadapnya tetap saja membuat Arial semakin merasa tertekan serta Iskandar yang terkadang selalu menyalahkannya tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Harusnya gue yang mati! Batin Arial setiap teringat buruk itu. Namun sekelebat senyuman manis muncul dalam ingatannya. Senyuman manis milik seorang gadis yang berhasil menarik perhatiannya. Arial mendesis lagi. Segera menepis bayangan seorang gadis yang hinggap dalam ingatannya. Senyumnya merekah, wajahnya merona indah dan auranya cerah namun tingkahnya bisa terbilang konyol bahkan gila. "Arial." Arial menoleh. Pak Anwar sedang berjalan mendekat. "Jam segini masih keluyuran?" lanjut Pak Anwar. “Aduh, tadi saya abis belajar bareng di taman pak” jelas Arial. "Bareng siapa?" tanya Pak Anwar. "Gio sama Angga," jawab Arial singkat. "Ya sudah. Cepat tidur. Sudah malam," kata Pak Anwar. Arial mengangguk saja. Pak Anwar berlalu melangkahkan kakinya kearah gazebo yang terletak di tengah taman halaman depan basecamp . Arial menghembuskan napasnya perlahan lalu masuk ke dalam sebuah ruangan lebar. *** Keesokan harinya setelah pelatihan tatar, Arial merekomendasikan untuk segera menemui Elsa di ruang kelas. Pukul tiga sakit kurang lima belas menit. Ruang kelas sudah mulai gaduh dengan murid yang sudah tidak sabar mendengar suara nyaring panjang dan menyenangkan. Arial mengedarkan pandangannya keseluruh sudut ruang. Berharap gadis yang dicarinya ada di antara sekumpulan siswi yang tengah merumpi. Kosong dua jam pelajaran membuat para murid memanfaatkan waktu itu dengan berkumpul sampai berkelompok di sudut ruang kelas. "El," panggil Arial setelah menemukan Elsa. "Mau apa lagi lo?" ketus Elsa pergi cepat keluar dari kelas. "El, please ," mohon Arial agar Elsa langkahnya. Elsa langkahnya. Lalu menatap Arial dengan tajam. "Mau mainin hati gue ?!" ketajamannya. Arial menggeleng. "Lo yang bilang, kalo ada apa-apa, gue harus cerita sama lo," balas Arial. "Tapi gak gini caranya, Arial!" tegas Elsa merasa bahwa Arial hanya datang ketika butuh saja. Kedua matanya mulai terasa panas dan mulai basah. Arial mengerti. Pasti sangat menyakitkan bagi Elsa. Lembut hati. "Ikut gue ya? Kita omongin baik-baik. Gue pengin masalah ini cepet selesai," pintanya lembut. Pandangannya pun meneduh. Dia mengulurkan berkat untuk Elsa. "Apa sih ?! Maunya dipegang-pegang!" galak Elsa menepis tangan Arial. Arial tersenyum. "Ya udah duluan gih, ketempat yang menurut lo paling nyaman," ucap Arial mempersilahkan Elsa berjalan mendahuluinya. Elsa berdecih. "Tempat paling nyaman buat gue itu rumah!" ucapnya lalu mengawali langkah sesuai anak. Rooftop sekolah dekat gudang di lantai tiga. Arial tidak menyahutnya karena memang sepertinya Elsa tidak butuh balasan dari ucapannya. Tanpa banyak tanya Arial hanya mengikuti langkah Elsa sampai ditujuannya. Hening. Hangatnya angin senja menerpa wajah lembut Elsa. Tidak ada senyum di wajahnya cantiknya. Arial ikut berdiri di sampingnya, terhukum tenggelam ke dalam celana saku. Menunggu Elsa yang akan memulai pembicaraan. "Gue—" Elsa menggantung kalimatnya. Arial diam. Menunggu Elsa melanjutkan ucapannya. "Maaf. Gue berhenti," lanjut Elsa mengungkapkan perasaannya yang lebih terasa pedih hari kemarin. Untuk kesekian kali dihari yang sama Arial menghembuskan napasnya. Rautnya yang datar berubah terlihat tenang. "Gimana kalo sekarang gue yang berharap sama lo?" Elsa terkesiap. "Maaf iya? Selama ini gue gak sadar sama perasaan istimewa lo ke gue," tambah Arial. "Santai, gue udah biasa kok," balas Elsa mencoba untuk tetap biasa saja. Namun tanpa sadar air matanya jatuh. Kedua tangan Arial bergerak memantau dua sisi lembut di wajah Elsa lalu menghapus air matanya. Dia menghembuskan napasnya. Mungkin ini akan terlalu cepat untuk dinyatakan dinyatakan. "Jadi, mau gak lo jadi gadis istimewa di hidup gue?" Namun mendengarnya, Elsa merasakan seperti ada seribu dentuman besar masuk kedalam lubang telinganya. "Tapi, perasaan lo sama Nita?" balas Elsa keputusan keputusan Arial. "Udah gue hapus," sahut Arial singkat. Kenapa? “Gue sadar. Ada lo yang pantang menyerah buat dapetin perhatian gue dan emang udah sepantasnya semua itu harus gue balas,” jelas Arial. Elsa menundukkan kepalanya. Menyembunyikan debaran dadanya yang mudah terbaca di wajahnya. "Jadi?" Arial ikut menurunkan tatapannya. Elsa mengangguk malu-malu. "Gue gak denger," pancing Arial. "Iya gue mau," ucap Elsa pelan. "Mau apa?" Jahil Arial. "Jadi gadis istimewa di hidup lo. Pastinya kedua setelah nyokap lo," jelas Elsa pelan dan masih menundukkan kepalanya. "Lo ngomong apa sih? Gak jelas," jahil Arial masih ada. Tepat, khas manusia datar nan kaku. "Gue—" ucapan Elsa terhenti begitu saja. Arial mendekapnya hangat untuk kedua kalinya. "Gak usah lo jelasin. Gue udah paham semuanya," bisik Arial di telinga Elsa. "Terus tadi apa?" tanya Elsa sedikit kesal. "Iseng." BRUKKK !!!! Pendaratan yang sangat mulus bagi p****t Arial. "Ngeselin lo ya!" pekik Elsa melebihi sirine polisi usai mendorong Arial hingga terjerembab ke belakang. "Jahat lo ya!" kesal Arial bangkit sambil memegangi bokongnya yang terasa nyeri. Dia segera berlalu meninggalkan Elsa. "Heh, ARIAL !!!!" teriak Elsa kesal. Arial tidak menggubrisnya. Dia berlalu begitu saja. Kisah romantis yang baru saja dia ukir hancur dalam sekejap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD