Seorang gadis dengan kemeja kerjanya memunguti lembaran kertas di atas meja. Wajah yang biasa ayu itu tampak sedikit cemas dengan keringat dingin yang membasahi dahi.
"Mengapa setiap kehidupan selalu saja diawali dengan telat berangkat kerja!" gerutunya meraih sepatu yang berada di sisi pintu.
Annelis memasangkan sepatu berhak tinggi itu, meraih kembali kertas-kertas berisi data yang semalam dia selesaikan. Gadis berbaju merah itu melirik dirinya dari pantulan cermin, lalu membuang napas dengan kasar.
"Astaga, aku bahkan tidak mempunyai waktu untuk menyisir rambutku." Sekali lagi Annelis menggerutu. Gadis itu meraih tas kecilnya lalu berlari untuk mencari taksi.
Hari ini tidak ada yang istimewa. Langit mendung, jalanan macet, dan asap kendaraan sukses menghancurkan moodnya. Annelis berdiri di pinggir jalan, berharap akan segera ada taksi atau setidaknya angkutan umum yang bisa membawanya pergi ke kantor. Gadis itu melirik arloji kecil yang melingkari pergelangan bagian kiri, lalu menghela napas.
Dia sudah menghabiskan lima menit untuk berdiri di sini, tapi tak kunjung mendapatkan tumpangan. Dengan malas Annelis memutuskan berjalan kaki, sembari berharap di depan sana dia bisa mendapatkan taksi.
Mendadak ponselnya berdering. Dengan kasar gadis itu merogoh tas kecilnya, lalu menarik ikon berwarna hijau yang terpampang pada layar utama.
"Kau telat, hari ini ada banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan." Suara Aarav terdengar dari seberang sana. Sekali lagi Annelis hanya bisa mengembuskan napas, mau tergesa-gesa pun dia akan tetap telat. Lima menit atau sepuluh menit akan sama saja, lebih baik dia tidak perlu terburu-buru.
"Saya sedang menuju ke sana, selamat pagi." Annelis mematikan sambungan teleponnya. Dia harus segera mendapatkan taksi atau Aarav akan mengomel di kantor nanti. Meskipun pria itu terkesan baik, tapi tidak menutup kemungkinan sisi buruknya akan terlihat nanti.
Tinn!
Annelis menoleh. Mobil seseorang berhenti tepat di belakang tubuhnya, tapi siapa dia? Tak lama sosok pria keluar dari dalam mobil, berjalan menghampiri Annelis dengan senyum simpul.
"Pak Aarav baru saja menghubungiku untuk menjemput salah satu data analyst baru, kebetulan sekali aku selalu melewati daerah ini ketika berangkat kerja," ucapnya dengan senyum yang selalu lekat pada bibir tipis itu.
Annelis bergeming, memperhatikan sosok yang berada di hadapannya itu. Sejak kapan Aarav menghubungi pria itu, padahal Aarav baru saja selesai menghubunginya? Bagaimana bisa secepat itu?
"Ah ... mungkin kau merasa sedikit asing. Baiklah, perkenalkan aku Danish, asisten pribadi pak Aarav. Kau bisa memanggilku dengan nama yang sama, tidak usah sungkan," sambungnya.
Annelis mengangguk pelan. Pria yang mengaku bernama Danish itu cukup meyakinkan, apalagi dengan penampilan dan juga mobil yang digunakan.
"Kalau begitu, mari ... biar kuantar sekalian." Danish mempersilakan Annelis untuk memasuki mobilnya, membukakan pintu lalu berlalu untuk duduk di bangku kemudi.
Mobil itu melaju dengan tenang, membuat Annelis yang duduk bersebelahan hanya bisa memandang ke luar. Lagi pula, dia merasa canggung bila harus membuka percakapan dengan pria yang tidak dikenal, apalagi dengan status Danish yang merupakan asisten pribadi Aarav. Pria itu tentu saja mempunyai level obrolan yang sangat berbeda dengannya.
Tak butuh waktu lama, mobil yang Danish kendarai melesat memasuki kawasan kantor. Lalu berhenti di aula parkir yang cukup terbilang luas itu.
Annelis turun, tidak membiarkan Danish membukakan pintu untuknya. Bagi gadis itu jika sesuatu bisa dilakukan seorang diri, tidak etis meminta orang lain untuk melakukannya.
"Rapat akan segera dimulai sepuluh menit lagi!" Tiba-tiba saja Aarav datang dan mencengkram lengan kirinya. Pria itu menatap dengan mata melebar, membuat sesuatu dalam darah Annelis berdesir.
"A—apa?" Gadis itu tersentak saat atasannya menarik lengan miliknya dengan kasar, membawanya menuju ruangan rapat yang terletak di lantai tiga.
"Pak, sebenarnya ada apa ini? Rapat apa? Kita bahkan tidak pernah membicarakan soal rapat!" seru Annelis melepaskan cengkraman tangan Aarav ketika keduanya berada dalam lift. Hanya mereka berdua, membuat Aarav bisa bebas berbicara tanpa harus menjaga kesopanan.
"Data Analyst lain sedang tidak masuk karena sakit, dan hari ini kepala direksi ingin mendengar laporan langsung mengenai data sebulan terakhir. Kau harus menggantikannya ...."
Mata Annelis melebar. Gadis itu menatap Aarav dengan tidak percaya. Hei, ini semena-mena. Dia bahkan tidak tahu apa yang akan dibahas nanti, akan memalukan jika dirinya salah menyampaikan laporan. Lagi pula, ini bukan tugasnya. Tidak seharusnya Aarav memaksa begitu.
"Apa anda sudah tidak waras? Saya bahkan tidak mengerti apa yang harus disampaikan, rapat ini akan berakhir memalukan jika anda memaksa saya harus menggantikan orang lain," protes Annelis merasa dirinya tidak sanggup.
Aarav menoleh, menelik manik hitam yang tengah menatapnya dengan sengit. "Kamu hanya tinggal membaca dan menyampaikan pendapatmu. Salah satu tugas staf training adalah siap menerima tugas kapan saja, jadi saya harap kamu tidak berbicara macam-macam. Baca saja apa yang tertulis di sana, ayo!" Pria itu lantas menarik lengan Annelis ketika pintu lift terbuka. Sementara yang ditarik hanya bisa mengembuskan napas dengan lemah. Hari ini, harga dirinya sedang dipertaruhkan, dan itu semua berkat ide gila tuan Aarav-nya.
***
Pria dengan lengan kemeja yang disingkap itu terlihat sangat kesal, sesekali dirinya menekan keyboard laptopnya dengan kasar. Bagaimana tidak, Annelis, data analyst baru yang seharusnya membantu dia dalam rapat hari ini justru membuat Aarav tidak berkutik di depan kepala direksi bagian. Gadis itu dengan bodohnya terus saja mengajukan pernyataan gila yang bertentangan dengan apa yang sudah Aarav siapkan dari jauh hari.
Aarav meraih gelas berisi bir di depan mejanya, lalu menegak minuman itu hingga tak bersisa. Tatapan tajam dilayangkan ke arah laptop yang sedang menampilkan laporan posisi keuangan.
"Anda meminum bir di dalam kantor, Pak." Suara Danish membuat pria yang sedang diliputi emosi itu mendecih. Aarav melempar gelas kecil ke arah asistennya, beruntung Danish dengan sigap menangkapnya. Jika tidak, mungkin gelas itu sudah bertubrukan dengan lantai marmer di bawah sana.
"Aku merekrut data analyst untuk membantu pekerjaan kantor, bukan untuk membunuhku secara perlahan," gumamnya mengepalkan kedua tangan.
Melihat itu Danish hanya menghela napas. "Lagi pula dia data analyst baru, Pak. Belum mengerti apa yang anda dan kantor inginkan. Menjadikannya sebagai pengganti Fiona dalam rapat penting bukan keputusan yang tepat." Sekali lagi Danish bersuara. Namun, kali ini suaranya membuat Aarav terdiam. Pria itu memang benar, menjadikan Annelis sebagai pengganti Fiona bukanlah hal yang tepat. Mereka itu berbeda, Annelis belum menguasai apa yang seharusnya semua karyawan miliki, yaitu kepatuhan.
Aarav menutup laptopnya, berikut membetulkan lengan kemejanya yang disingkap. "Aku akan menemui gadis itu dan memberikan sedikit pelajaran supaya dia tidak berlaku seenaknya."
Danish mengembuskan napas pelan saat atasannya beranjak pergi dan membanting pintu. "Hahh ... dia selalu saja emosional," gumamnya menyandarkan punggung.
To Be Continued